Membisniskan Pengawalan Lalu Lintas
Saat ini di Jakarta semakin marak pengawalan oleh Polri dari kesatuan lalu lintas: entah patroli dan pengawalan (patwal), entah detasemen pengawalan (denwal). Anggota patwal atau denwal dipakai untuk mengawal pejabat, pengusaha, artis, atau orang yang membayar agar meminggirkan pengguna jalan raya. Contoh terbaru ialah kasus Dewi Persik yang menerobos jalur transjakarta.
Ini menjadi bisnis kesatuan atau anggota perorangan? Hampir setiap hari mobil-mobil mewah dikawal melebihi RI 1. Dengan sirene kencang dan lampu strobo, anggota Polri itu memberhentikan serta meminggirkan pengguna jalan hanya karena mengawal seorang pengusaha, istri pengusaha, pejabat, atau istri pejabat yang tidak mau terlambat menghadiri acara atau hendak ke bandara, bahkan artis yang mau kejar tayang tampil di studio.
Saya harapkan Kepala Polri, Kakorlantas, dan Kapolda Metro Jaya dapat menertibkan bisnis pengawalan semacam ini. Jangan hanya alasan diskresi lalu bisa mengorbankan pengguna jalan. Juga jangan beralasan masyarakat boleh minta pengawalan, tetapi apa konteksnya? Minta pengawalan untuk mengantar jenazah, konvoi tertentu mungkin masih bisa ditoleransi.
Seharusnya anggota patwal/denwal dioptimalkan mengatur lalu lintas dalam jam-jam sibuk, bukan malah meminggirkan pengguna jalan. Perlu diingat, mobil dan sepeda motor besar itu dibeli dengan uang rakyat dari pajak. Apa nanti ada aplikasi daring pengawalan lalu lintas sesuai dengan jarak?
Mohon ada tindak lanjut dari pemimpin Polri.
Fristi Mandey, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Melawan Arus di Pondok Bambu
Lokasinya di simpang empat Jalan Kolonel Soegiono dan Jalan Pahlawan Revolusi, keduanya di Jakarta Timur, tepatnya di bilangan Pondok Bambu. Di sana ada jembatan layang yang menghubungkan Jalan Soegiono dan Jalan Basuki Rahmat. Di sisi utara jembatan layang itu ada pemandangan yang tetap: sepeda motor tanpa beban dan tanpa merasa melawan aturan hukum seenaknya melawan arus. Pagi, siang, sore, malam, pemandangan itu rutin.
Sekali pagi kami melihat polisi mengintai dari jauh. Pesepeda motor sebagian kocar-kacir, tetapi ada yang kepergok. Pagi itu amanlah mobil yang memutar balik di bawah jembatan layang itu. Sayangnya, polisi lalu lintas jarang mengawasi kawasan itu. Jangan-jangan yang kami lihat pagi itu satu-satunya adegan polisi mengawasi pesepeda motor yang melawan arus lalu lintas.
Melawan arus sangat berbahaya. Saya sudah kehilangan akal untuk memberi solusi mengatasi masalah ini. Apakah Polri punya resep?
Pejalan Kaki dan Balai Sidang Jakarta
Balai Sidang Jakarta (BSJ), yang entah kenapa lebih dikenal sebagai Jakarta Convention Center, menjadi pusat penyelenggaraan pameran. Dulu pintu gerbang menuju BSJ itu dari arah Jalan Gatot Subroto ditutup dan hanya dibuka sedikit untuk pejalan kaki. Setelah kini dibuka, pintu gerbang tersebut menjadi jalan masuk bagi mobil.
Ada dua jalan masuk ke sana: sebelah kiri menuju Hotel Sultan, sebelah kanan menuju BSJ dengan pembatas di antara keduanya.
Jalan masuk mobil menuju BSJ dibuat dua jalur, yaitu masuk dan keluar. Jalan masuk ini masing-masing hanya cukup untuk satu mobil.
Kita tahu pengunjung pameran tidak saja datang dengan mobil. Sebagian datang dengan kendaraan umum dan tentu mereka masuk ke BSJ dengan jalan kaki. Akibatnya, pejalan kaki dikorbankan. Mereka harus sering mengalah, harus mepet ke pinggir, dan—bila perlu—menaiki pembatas antara got dan jalan yang ada di sisi paling kanan saat berpapasan dengan mobil.
Mohon pengelola memperhatikan hal ini dengan menghormati hak pejalan kaki.
Ranjau Paku di TB Simatupang
Saya mahasiswa perguruan tinggi di kawasan Lenteng Agung yang bekerja di salah satu perusahaan ojek daring di Jakarta. Suatu hari, ketika saya hendak mengantarkan paket ke kawasan Pasar Minggu, ban sepeda motor butut 110 cc yang saya kendarai kempis mendadak. Sepeda motor sempat oleng, untung saya bisa menyeimbangkannya kembali. Kalau tidak, bisa saja saya menabrak pembatas jalan.
Ketika menepi dan berhenti, saya lihat ban terkena paku. Entah siapa orang tak bertanggung jawab yang menyebarkan paku di sekitar Jalan TB Simatupang, tepatnya berdekatan dengan Jalan Warung Jati Barat.
Sepeda motor saya tuntun sambil berharap segera mendapat bantuan. Setelah berjalan kurang lebih 200 meter, saya menemukan seorang tukang tambal ban. Di situ sudah ada seorang anggota pasukan baju oranye yang sedang menambalkan bannya. Dalam amatan saya, penyebab kebocoran ban anggota pasukan baju oranye itu sama dengan yang terjadi pada ban sepeda motor saya.
Saya tidak ingin menuduh siapa pun, apalagi tukang tambal ban itu, tetapi ada pelbagai bukti dan pengamatan yang condong mendukung kecurigaan saya. Karena itu, saya mengimbau polisi lalu lintas membantu kami memberantas ranjau paku di jalan. Semoga tak ada lagi pengendara yang jadi korban.
Dhika Agus, IISIP, Jakarta
Antrean Transjakarta di PGC Dalam
Saya naik bus transjakarta dari UKI dengan jurusan Pusat Grosir Cililitan (PGC) Luar, tetapi hampir saban hari tersendat oleh antrean panjang bus jurusan PGC Dalam. Ini sangat mengganggu penumpang yang akan melintas di selter BKN (Badan Kepegawaian Negara). Penumpang dengan tujuan Kampung Rambutan (reguler), PGC Luar, dan lain-lain yang harus melalui selter BKN mesti menunggu cukup lama untuk dapat keluar dari antrean tersebut.
Apakah tidak ada solusinya?
Penumpang yang menggunakan bus transjakarta menginginkan lekas sampai di tujuan, tetapi justru terhambat cukup lama, seperti yang saya alami pada Selasa (19/12): BKN ke PGC Luar yang mestinya 5 menit menjadi 30 menit. Luar biasa!
Saya sering menelepon Layanan Transjakarta 1500102 meminta perbaikan pelayanan, tetapi selalu tidak ada jawaban yang pasti. Sering mereka mengatakan bahwa mereka hanya bertugas di lapangan dan tidak tahu mengenai hal yang saya keluhkan.
Sulitkah pengelola transjakarta menerapkan aturan FIFO (first in first out) di PGC Dalam Mal? Mungkinkah beton pembatas setelah selter BKN dibuka saja supaya bus dengan jurusan-jurusan lain bisa langsung melanjutkan perjalanan tanpa harus ikut dalam antrean PGC Dalam Mal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar