Di tengah hiruk pikuk perebutan kekuasaan di Tanah Air, terbetik berita memprihatinkan dari tanah Papua. Akibat gizi buruk dan campak, sedikitnya 63 anak usia di bawah lima tahun (balita) di Kabupaten Asmat meninggal akibat terserang campak dan gizi buruk. Puluhan anak lainnya dikabarkan belum juga memperoleh penanganan medis (Kompas, 14/1/2018).

Kenyataan itu tidak bisa dimungkiri adalah bukti konkret buruknya pelayanan publik untuk pemenuhan hak dan kebutuhan dasar warga di daerah terpencil seperti Papua. Suatu masalah klasik yang dihadapi warga bangsa di timur Indonesia itu.

Kita masih ingat tragedi gizi buruk di Kabupaten Yahukimo (lebih dari 10 tahun lalu) yang korbannya juga anak balita. Ironisnya, pemerintah tidak kunjung bertindak mencegah.

Faktor kondisional

Setidaknya ada tiga faktor kondisional yang membuat mereka tidak terlayani. Pertama, posisi keterisolasian lokasi yang ekstrem, sulit dijangkau. Jangankan para pengambil kebijakan atau pemimpin negara di Jakarta, para pejabat (politisi dan birokrat) di Provinsi Papua—bahkan Kabupaten Asmat—kemungkinan akan tidak bersemangat berkunjung ke lokasi seperti itu.

Masalah utamanya memang sulitnya aksesibilitas karena sarana dan prasarana transportasi yang buruk plus biaya mahal.

Para pejabat lokal di daerah itu akan sangat bergairah mondar-mandir ke Jakarta atau ke kota-kota besar lainnya, menghabiskan uang negara dalam jumlah besar, ketimbang berkunjung ke lokasi terpencil. Maka, masalah sosial di kawasan terpencil tidak teridentifikasi baik.

Setelah korban berjatuhan dan terungkap ke publik seperti sekarang, barulah pejabat lokal dan pusat ramai-ramai berkunjung ke sana, mengirim misi bantuan.

Kedua, kebijakan anggaran yang tidak fokus pada penanganan masalah sosial dan atau pelayanan kebutuhan dasar di daerah terpencil. Basis alokasi anggaran Indonesia memang selalu merugikan warga di daerah terpencil. Pasalnya, perhitungan pengalokasian selalu berdasarkan jumlah penduduk. Daerah terpencil di Papua sama sekali tidak masuk dalam hitungan kebijakan politik anggaran yang ideal untuk pelayanan yang layak bagi masyarakat.

Dengan kata lain, politik dan kebijakan anggaran di negeri ini cenderung diskriminatif, berupa pengabaian warga di pedalaman yang jauh terpencil.

Untuk memastikan sentuhan pelayanan terhadap masyarakat yang layak dan prima di daerah- daerah terpencil, hitungannya bukan satu sektor seperti bidang pendidikan atau kesehatan saja. Daerah terpencil harus dibangun secara terintegrasi (integrated development for remote areas) sehingga memerlukan anggaran memadai. Perhitungan alokasi harus bersifat afirmatif.

Otonomi khusus

Bagi warga Papua, memang, sudah ada kebijakan khusus untuk alokasi anggaran, diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Sejak pemberlakuan UU Otsus Papua (2002-2017), sudah digelontorkan dana hampir Rp 68 triliun (termasuk melalui APBN 2017 yang mencapai lebih dari Rp 8 triliun untuk Provinsi Papua dan Papua Barat).

Program pembangunan kesehatan merupakan salah satu fokus utama dana otsus, di samping untuk program pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan infrastruktur. Pemerintah Papua sebenarnya sudah meluncurkan Kartu Papua Sehat (KPS), tetapi mengapa masih ada saja warga yang mengalami masalah kesehatan serius? Ini yang perlu dievaluasi secara khusus.

Ketiga, pelayanan kesehatan yang buruk di pedalaman Papua juga dirasakan warga daerah terpencil lain di negeri ini. Di samping sarana dan prasarana yang tidak memadai, juga ada keengganan petugas untuk bekerja dan sekaligus tinggal di sana.

Para dokter lulusan dari perguruan tinggi ternama di negeri ini tidak banyak yang siap bertugas di daerah-daerah seperti itu. Bukan sekadar soal insentif yang dianggap masih rendah, melainkan juga faktor karakter dedikatif yang masih rendah—jarang yang berwatak voluntaristik dan berorientasi pada pengabdian—selain mungkin juga keamanan.

Oleh karena itu, yang banyak menjalankan tugas pengabdian di daerah-daerah terpencil dan serba terbatas seperti itu adalah para aktivis dari lembaga swadaya masyarakat, baik dari dalam  maupun luar negeri, termasuk di dalamnya para pengingat misi agama.

Potensi yang disebut terakhir ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dengan bekerja sama dan sekaligus memberikan insentif khusus yang memadai dengan melekatkan unsur profesionalisme khusus, misalnya di bidang pelayanan kesehatan.

Bagi pemerintahan Presiden Jokowi, tragedi buruknya pelayanan kesehatan bagi warga di Kabupaten Asmat itu merupakan bagian dari kegagalan terkait dengan salah satu misi Nawacita: membangun dari pinggiran.

Pada saat yang sama, dan ini harus diantisipasi, kasus itu bukan mustahil akan secara politik dieksploitasi oleh komunitas internasional yang semangatnya sama dengan gerakan separatis, yakni pembiaran terus bisa diartikan sama dengan pembunuhan orang-orang Papua.