Apakah memang permusuhan antara Israel dan Palestina benar-benar tidak bisa diakhiri? Sudah tidak adakah jalan damai yang bisa mereka tempuh?

Dua pertanyaan—tiga dengan judul yang mengawali ulasan singkat ini—di atas adalah pertanyaan pokok ketika membahas konflik antara Israel dan Palestina. Mereka yang berpandangan pesimistis tentu akan mengatakan bahwa permusuhan mereka sudah mendarah daging, beranak-cucu, menjadi bagian dari kehidupan mereka, bersatu dengan napas kehidupan mereka sehingga tidak bisa diakhiri. Sebab, mereka tidak melihat adanya jalan damai lagi yang terbentang di hadapannya.

Kita bisa memahami pendapat mereka yang berhaluan pesimistis tersebut. Mengapa? Fakta di lapangan menunjukkan dan mendukung pendapat tersebut. Kedua belah pihak sama-sama berperan atau memberikan sumbangan bagi "hilangnya" prospek perdamaian. Selain kedua belah pihak yang berseteru, pihak luar pun, termasuk dan terutama dalam hal ini AS, berperan besar dalam mematikan prospek perdamaian.

Palu godam terakhir yang mematikan prospek perdamaian adalah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Yang lebih penting lagi adalah pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel oleh AS.

Itulah sebabnya, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan bahwa "sudah tidak ada lagi Kesepakatan Oslo". Kesepakatan yang menjadi dasar penyelesaian konflik—dengan pembentukan dua negara—ini ditandatangani oleh Israel dan Palestina pada 1993.

Sebenarnyalah, Kesepakatan Oslo sudah mati beberapa tahun silam. Kalau Abbas hari Minggu lalu mengatakan "tidak ada lagi Kesepakatan Oslo", itu lebih sebagai penegasan atau ibarat the final nail in the coffin. Ketika Israel membangun permukiman-permukiman baru, saat itulah sebenarnya Kesepakatan Oslo berakhir, tidak dihormati lagi, meski sudah ada sejumlah butir kesepakatan yang telah dilaksanakan.

Sekalipun demikian, bagi mereka yang berpandangan optimistis, semua itu tidak mengakhiri usaha mereka untuk mencari perdamaian. Ibarat kata, masih ada hari esok. Selagi matahari masih terbit dari timur, masih ada asa, masih ada kesempatan dan peluang untuk mewujudkan cita-cita perdamaian yang diharapkan dan diimpikan banyak orang.

Palestina, memang, sudah tidak mau lagi menerima AS sebagai mediator perundingan perdamaian karena dianggap tidak netral. Walaupun AS terus memaksakan diri, bahkan dengan mengancam akan menghentikan bantuan dana untuk pengungsi. Akan tetapi, meski tidak ada AS, masih ada negara-negara lain yang lebih netral dan bersungguh-sungguh mengupayakan perdamaian. Dalam hal ini, Indonesia salah satunya.