Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 24 Januari 2018

Surat Kepada Redaksi: Ihwal Becak di Jakarta//Sumpah Palsu (Kompas)


Ihwal Becak di Jakarta

Isu becak akan resmi kembali beroperasi sedang dibicarakan orang. Diberitakan: Pemprov DKI Jakarta melegalkan becak beroperasi di perkampungan Jakarta (Kompas, 16/1/2018). Jadi, kendaraan roda tiga yang pada 1971 dibatasi geraknya dan dilarang total beroperasi di Jakarta pada 1990 itu, kini tak perlu takut dikejar-kejar trantib lagi.

Cuma, alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan "untuk memenuhi prinsip keadilan" terasa mengada-ada dan perlu penjelasan. Sepertinya kebanyakan petugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum lahir ketika becak dilarang dengan alasan mengacu pada asas exploitation d'lhome par lhome yang tak sesuai dengan Pancasila itu.

Mencari keadilan memang sangat luhur. Namun, mencari keadilan di jalan mungkin sesuatu yang hampir mustahil. Kita tiba pada pertanyaan: jalan itu siapa yang punya? Pejalan kakikah, kendaraan roda duakah, atau milik mobil alias si roda empat?

Selama ini, pejalan kaki sudah lama tidak mendapat keadilan. Hak mereka menyeberang jalan, sekalipun di zebra crossing, tak pernah dipedulikan warga berkendaraan. Rasanya jalan dibuat hanya untuk sepeda motor dan mobil.

Lalu, keadilan apa yang mau diterapkan pemprov? Ketika harus menunggu lebih dari 15 menit untuk menyeberang jalan, saya merasa diperlakukan tak adil oleh mobil dan motor. Ketika duduk dibonceng ojek, saya menderita harus ikut meliuk-liuk menyusup di sela-sela antrean mobil.

Begitu juga ketika duduk di balik setir mobil, saya merasa tidak adil melihat jalur khusus bus (busway) yang kosong melompong, sementara kami terjebak kemacetan yang padat dan sesak. Sebaliknya, dari bus transjakarta, saya bisa tersenyum melihat mobil motor berimpitan. Itukah contoh keadilan yang kini mau diperjuangkan untuk becak? Lebih baik pemprov tegas dan tertib menata peruntukan jalan umum sesuai dengan aturan yang ada.

RENVILLE ALMATSIER, Jl KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten

Sumpah Palsu

Megakorupsi KTP-elektronik yang menyeret Setya Novanto dalam kapasitasnya sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi salah satu peristiwa hukum paling heboh dan sangat dramatis di republik ini pada penghujung 2017.

Jauh hari sebelum Setya Novanto menjadi tersangka dan terdakwa, tepatnya pada 22 Maret 2017, saya menulis di media terbesar dan terkenal ini (Kompas) dengan judul "Usut Terus KTP-Elektronik".

Naluri saya mengatakan bahwa pernyataan Setya Novanto pada rapat Koordinasi Dewan Pemimpin Pusat Golongan Karya (Golkar)—sebagai pihak yang diduga terlibat bersumpah kepada Sang Khalik bahwa dirinya tidak pernah menerima aliran dana korupsi KTP-elektronik—bernuansa tidak jujur.

Ia juga menegaskan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, ataupun pengusaha Andi Narogong.

Mendengar sumpah tersebut, saya jadi ingat pernyataan bohong Anas Urbaningrum, anggota DPR dari Partai Demokrat, beberapa tahun lalu. "Satu rupiah pun Anas tidak pernah menerima uang kasus Hambalang. Kalau terbukti, gantung Anas di Monas," katanya.

Saat ini, Setya Novanto sudah menjadi terdakwa. Siasat pura-pura sakit sudah tidak berlaku lagi.

Hakim kita harapkan sangat obyektif menilai. Apabila demikian yang dilakukan oleh hakim nanti, rakyat pun akan senang.

Rakyat mengharapkan Setya Novanto dihukum sesuai dengan perbuatannya.

Yang terutama adalah apa- bila Setya Novanto terbukti korupsi dalam pengadilan nanti, semua harta rampokannya dari kasus KTP-elektronik disita untuk negara.

Sekali lagi: disita!

A WALID MUHAMMAD, Jl Kejaksaan Pangkalpinang, Bangka Belitung

Kompas, 24 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger