Menteri Keuangan dalam dialog dengan pengusaha di Jakarta, 8 Januari 2018, menyampaikan kegelisahannya terkait rendahnya minat investor dalam memanfaatkan insentif pajak.

Insentif pajak bukan merupakan kebijakan baru dalam mendorong investasi di Indonesia, melainkan sampai sekarang tidak jelas efektivitasnya. Insentif pajak telah ada sejak 1967 ketika UU Penanaman Modal Asing dilahirkan. Meski demikian, insentif pajak pernah dihapuskan tahun 1984 sampai dengan 1996.

Berbicara tentang investasi sesungguhnya banyak faktor yang ikut memengaruhi. Di antaranya kepastian hukum, kemudahan perizinan, pangsa pasar, ketersediaan sumber daya, tenaga kerja (murah, terampil), infrastruktur, stabilitas politik dan keamanan, serta perlindungan investasi dan insentif investasi (termasuk insentif pajak). Masing-masing faktor kadang tidak berdiri sendiri, tetapi saling memengaruhi.

Efektifkah insentif pajak?

Banyak literatur menyebutkan bahwa pengaruh insentif pajak cukup beragam (James S, 2009). Secara umum, di negara-negara dengan iklim investasi yang baik (ketersediaan infrastruktur, kepastian hukum, stabilitas politik, perlindungan investasi, dan sebagainya), insentif pajak menjadi faktor penentu investasi. Akan tetapi, di negara-negara di mana iklim investasi sangat jauh berbeda, peran insentif pajak menjadi tidak dominan.

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa insentif pajak hanyalah pemanis. Jadi, kualitas iklim investasi (di luar insentif pajak) jauh lebih penting untuk dipenuhi lebih dahulu.

Menyitir keprihatinan Menkeu terkait rendahnya pemanfaatan insentif pajak (tax holiday dan tax allowance), banyak hal yang mungkin jadi penyebabnya. Pertama, insentif pajak memang bukan faktor penentu keputusan investasi sebagaimana dinyatakan dalam banyak literatur. Memberikan perhatian dan harapan berlebihan seolah-olah ia merupakan faktor penentu investasi tentu akan menyesatkan.

Kedua, insentif pajak bisa jadi cukup menarik, tetapi tidak banyak yang memanfaatkan karena berbagai faktor. Investor tidak tahu adanya fasilitas tersebut atau mereka tahu, tetapi tidak mau mengajukan permohonan karena pertimbangan tertentu.

Jika sesungguhnya investor tertarik tetapi mereka selama ini tidak tahu, tentu solusinya pemerintah melalui instansi terkait. Misalnya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau kementerian sektor (Kemenperin, Kemendag) perlu melakukan sosialisasi secara lebih luas dan masif. Namun, jika investor sesungguhnya sudah tahu tetapi enggan untuk mengajukan, perlu dicari penyebabnya. Misalnya apakah kemungkinan karena proses permohonan yang rumit, waktu untuk memperoleh keputusan yang lama (tidak pasti), ataukah ketidakjelasan dari keputusan karena diskresi yang sangat dominan.

Insentif pajak seperti tax holidayterkadang tak menarik bagi investor karena di awal investasi umumnya perusahaan masih merugi sehingga manfaat tax holiday tidak optimal. Selain itu, tidak adanya ketentuan tax sparingdengan negara asal investor (khususnya negara dengan sistem credit method danworldwide income) menyebabkan pembebasan pajak di Indonesia tidak dapat dikreditkan di negara asal investor. Hal ini tentu merugikan Indonesia karena insentif pajak yang diberikan menjadi "mandul", bahkan yang terjadi adalah "subsidi pajak" dari Indonesia ke negara asal investor. 

Kita tentu berharap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat memberikan hasil yang optimal karena setiap kebijakan pasti membutuhkan usaha dan juga biaya.

Memilih opsi yang tepat

Kesadaran pemerintah untuk melihat kembali efektivitas insentif pajak tentu harus disambut oleh seluruh pemangku kepentingan. Sudah saatnya setiap kebijakan berorientasi pada hasil dan bukan pada aktivitas atau kegiatan semata.

Melihat upaya pemerintah yang sangat perhatian pada perbaikan iklim investasi, seperti perbaikan infrastruktur, kemudahan perizinan, penyiapan kawasan strategis ekonomi, semisal kawasan ekonomi khusus, tentu patut diapresiasi. Namun, menguji efektivitas faktor pendukung seperti insentif pajak tetap harus dilakukan guna memberikan manfaat yang lebih optimal.

Terkait insentif pajak, minimal terdapat dua opsi, yaitu dihapuskan atau dilanjutkan dengan modifikasi. Jika hasil evaluasi menunjukkan insentif pajak tidak memberikan manfaat optimal, pemerintah tak perlu ragu menghapuskannya. Pemerintah harus lebih konsentrasi pada perbaikan faktor-faktor utama iklim investasi yang memang sangat dibutuhkan oleh investor dan bukan pada hal-hal yang kelihatannya sangat sibuk (upaya yang luar biasa), tetapi tidak memiliki dampak yang memadai.

Sebaliknya, jika berdasarkan hasil kajian insentif pajak tetap dilanjutkan, tentu perlu dilakukan penyempurnaan sehingga benar-benar mampu mendongkrak investasi. Kriteria penerima insentif pajak seperti industri pionir perlu dipertegas sehingga muncul kepastian hukum. Jika dimungkinkan, fasilitas pajak ini dapat diperoleh oleh calon investor di awal sehingga menjadi faktor pembeda dalam pemilihan lokasi investasi.  Hal ini tentu menarik bagi investor karena mereka mampu menghitung biaya investasi atau laba atas investasi tersebut jauh di awal. 

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan pemerintah adalah evaluasi insentif pajak seyogianya dilakukan per sektor, bukan secara agregat. Sebab, umumnya setiap sektor memiliki karakteristik berbeda. Insentif pajak agar diberikan dalam rangka mendorong hilirisasi industri dengan nilai tambah yang tinggi. Di samping itu, insentif pajak sebaiknya digunakan untuk mendorong pemerataan pertumbuhan industri, khususnya di luar Pulau Jawa.

Pemerintah harus sadar pengembangan industri butuh waktu sehingga sedapat mungkin pemberian insentif pajak tidak dikaitkan dengan penerimaan negara (pajak) yang bersifat jangka pendek. Di sisi yang lain, instansi pemerintah yang bertugas melalukan pembinaan ataupun promosi dan pelayanan investasi seharusnya memiliki target yang jelas (jumlah, nilai, dan periode waktu) mengenai rencana pengembangan industri.

Dalam menyusun kebijakan insentif pajak sudah sepatutnya pemerintah betul-betul mendengar suara para pemangku kepentingan, khususnya para investor. Pemerintah juga perlu memanfaatkan informasi dari atase perdagangan dan industri yang tersebar di sejumlah negara mengenai kebutuhan investor asing agar bersedia investasi di Indonesia. Saatnya pemerintah lebih banyak mendengar dan tidak berasumsi bahwa mereka tahu segalanya.