DIDIE SW

.

Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi.

Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses?

Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relevan sehingga dapat menurunkan pengangguran angkatan kerjanya.

Dengan dikoordinasikan antara perusahaan dan perguruan tinggi khusus, sistem ini semakin digandrungi sebagai solusi untuk mengatasi pengangguran kaum muda dan cara yang baik untuk menyesuaikan orang-orang terlatih dengan pekerjaan teknis. Austria, Swiss, Luksemburg, dan Denmark adalah contoh negara yang mengadopsi sistem ini. Bahkan Korea Selatan pun sejak 1990 menerapkannya. Hasilnya? Seperti bisa kita lihat sendiri.

Sistem ala Jerman ini merupakan evolusi dari tradisi magang sinergis. Sistem ini berawal dari pelatihan kejuruan tahun 1969, suatu usaha bersama oleh pemerintah, serikat pekerja, dan asosiasi pengusaha. Tujuannya, mewadahi sebagian besar anak muda yang memutuskan untuk tak melanjutkan karier akademis, karena ingin cepat bekerja.

Saat itu, kalangan mudanya lebih suka memilih satu dari sekian banyak daftar profesi praktis (356 jenis). Artinya, pekerjaan yang ditawarkan sangat khusus dan sering bersifat teknis. Mulai dari pembuat atau penjual manisan hingga tukang las pesawat terbang. Sangat spesifik. Di Indonesia ini diterapkan di level SMK meskipun varian pilihan pekerjaannya tak sebanyak itu.

Prosesnya, selama dua atau tiga tahun, anak-anak muda tersebut membagi waktunya antara mengikuti kuliah kejuruan dan belajar di tempat kerja. Rinciannya, mereka menghabiskan tiga hari seminggu di tempat perusahaan industri tertentu dan dua hari seminggu di perguruan tinggi untuk ajaran teoretis.

Setelah menyelesaikan kursus dan ujiannya, mahasiswa tersebut disertifikasi oleh sebuah asosiasi lokal. Selain memberi bekal portofolio untuk tenaga kerja baru yang punya berpengalaman ini, sertifikasi juga untuk mempromosikan dan melindungi kepentingan komunitas bisnis.

Kelebihan

Mengapa banyak negara maju dan ingin maju meniru sistem ini? Ternyata sistem ini lebih banyak keuntungannya daripada kelemahannya.

Pertama, dengan belajar berlatih langsung di perusahaan, program magang memberikan wawasan seperti apa pekerjaan tersebut nantinya dan mencari tahu apakah itu sesuai untuk mereka, di samping juga mereka akan terbiasa membentuk hubungan di perusahaan. Kedua, dari sisi perusahaan, para manajer bisa mengamatinya. Hal ini membuat mereka lebih mudah mempekerjakan secara permanen setelah pelatihan mereka selesai. Tak perlu meraba-raba kualitas tenaga kerja yang direkrut dari pasar kerja umum.

Ketiga, mahasiswa sekaligus sebagai pemagang yang menjadi karyawan, tak seperti kebanyakan karyawan baru lainnya, sudah memiliki keterampilan praktis yang diperoleh lebih dahulu. Ini tentunya sangat berguna bagi atasan mereka. Keempat, ketika selesai dari sistem pendidikan ganda, mereka telah menyerap budaya perusahaan selama magang berlangsung sebelumnya, dan hanya membutuhkan lebih sedikit pelatihan tambahan.

Kelemahan

Namun, bukan berarti sistem ini lepas dari kritik. Kelancaran pendidikan kejuruan dan pelatihannya membutuhkan persyaratan standar pendidikan SMA berkualitas tinggi. Dengan demikian, meski magang difokuskan sejak awal, mereka setidaknya masih mengingat dengan baik (saat di SMA) bekal pendidikan dasar. Ini diperlukan untuk basis bereaksi fleksibel di masa depan.

Hal ini menyiratkan bahwa bagi negara-negara yang ingin mengimpor sistem Jerman ini, tak terkecuali Indonesia, sebaiknya harus memiliki sekolah yang baik. Dalam hal ini contoh baik yang sudah terbukti adalah Korea Selatan. Tahun 1990, dengan bantuan Jerman, negara ini berhasil membentuk sistem pendidikan ganda dan sekarang luar biasa perkembangannya.

Kelemahan berikutnya, spesialisasi yang lebih awal ini bagaikan pedang bermata dua. Magang lebih baik di awal karier mereka karena memang mereka menjadi karyawan sebelumnya. Namun, dalam total waktu perjalanannya, umumnya mereka sering lebih tertinggal nantinya karena mereka kurang memiliki keterampilan umum dan tak terbiasa belajar seumur hidup dalam pekerjaan baru, perusahaan baru, dan peran baru.

Umumnya, begitu orang berusia lima puluhan, dengan pendidikan umum di masa muda, besar kemungkinan lebih eksis dan akan menghasilkan tingkat penyesuaian/adaptasi yang lebih tinggi di pasar tenaga kerja daripada kelompok orang berpendidikan yang khusus. Karena itu, seiring perubahan pekerjaan dan industri, pertanyaan tentang fleksibilitas ini adalah salah satu masalah terbesar dalam sistem pendidikan ganda.

Walaupun pekerjaan yang tersedia di sistem ini diperbarui setiap tahun agar sesuai dengan perubahan kebutuhan pelanggan dan perkembangan teknologi, tetapi seiring dengan perubahan yang terjadi di banyak industri, keterampilan setiap magang individu cenderung menjadi usang dengan lebih cepat. Seberapa mudahnya magang tersebut bisa mentransfer keahlian mereka ke situasi ekonomi baru sering masih menjadi pertanyaan yang harus dikaji lebih dalam.

Meski begitu, belajar dari negara-negara yang menerapkannya, kelemahan itu pasti sudah ditemukan solusinya. Dorongan untuk belajar terus-menerus di perusahaan, serta iming-iming karier, bisa memicu para alumnus pendidikan ganda beradaptasi dengan perubahan. Buktinya, peminat pendidikan ganda sebagai salah satu kunci kemajuan ini tak pernah surut.

Untuk menerapkannya secara masif, kita bisa memperkuat keunggulannya dan mengatasi kelemahannya. Di tengah perubahan cepat, dan bakal munculnya "bonus demografi", ketika angkatan kerja muda begitu besar, sistem ini layak segera diterapkan.

Pihak industri selayaknya gembira karena bakal mendapat tenaga kerja yang lebih bermutu lewat sistem ganda ini. Lembaga pendidikan juga makin dipercaya. Pemerintah sendiri bisa memperkuat mutu SDM secara masif sehingga kelas tenaga kerja kita juga naik dan kelebihan jumlah anak muda pada 2030 benar-benar menjadi "bonus" (bukan "kutukan") demografi.

Djoko Santoso