Indonesia Corruption Watch mencatat sebanyak 215 kepala daerah menjadi tersangka korupsi dalam kurun waktu 2010-2017. Sebagian sudah menjadi terpidana.

ANTARA FOTO/RENO ESNIR

Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kanan) bersama Peneliti ICW Almas Sjafrina (kedua kanan), Peneliti Charta Politika Yunarto Wijaya (kedua kiri) dan Peneliti ICW Donal Fariz (kiri) menjadi pembicara pada diskusi "Outlook Korupsi 2018, Ancaman Korupsi di Balik Pemilu Serentak", di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (11/1). Diskusi tersebut membahas persoalan laten menjelang Pilkada serentak dan tahapan persiapan Pemilu yang akan membayangi perjalanan tahun politik 2018.

Kalau membandingkan dengan jumlah kepala daerah, sesuai data Kementerian Dalam Negeri, yang terdiri dari 34 gubernur, 93 wali kota, 416 bupati, termasuk 6 kepala daerah administratif, jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi itu tidaklah banyak. Apalagi, jumlah itu bukan dalam kurun masa jabatan sama. Namun, setiap kali ada kepala daerah terjerat korupsi, apalagi yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peristiwa itu selalu menarik perhatian masyarakat.

Biaya politik yang tinggi sering menjadi "pembenar" bagi kepala daerah untuk korupsi. Selain untuk meraih "restu" dari partai politik, dana besar yang dikeluarkan calon kepala daerah itu untuk menyosialisasikan diri dan menjaga suara, seperti membiayai saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Oleh sebab itu, hanya warga yang memiliki modal kuat atau yang memiliki pemodal yang mampu mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Ada pengecualian, misalnya, saat partai melihat ada calon yang sangat berpotensi menang. Partai membiayainya.

Kepala daerah yang terjerat korupsi menimbulkan komplikasi dalam masyarakat, termasuk di daerah lain, bahkan pemerintah pusat. Rakyat dirugikan. Pemerintahan terganggu. Oleh sebab itu, menjelang berlangsungnya pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 daerah, penyelenggara pemilu kembali mengingatkan calon kepala daerah dan masyarakat agar jangan ada lagi kepala daerah yang terjerat korupsi. Rakyat diminta mengawasi calon kepala daerah mulai dari pendaftaran, termasuk melalui laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang disampaikan ke KPK.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan, dalam tugas pencegahan korupsi, KPK berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Namun, KPK tak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi bagi penyelenggara negara yang tak melaporkan hartanya atau tak jujur.

Masyarakat, kini, diminta berperan aktif melaporkan jika ada calon kepala daerah yang diduga tidak melaporkan kekayaannya dengan benar. Sesuai data KPK, dari 1.158 bakal calon kepala daerah yang melaporkan hartanya, 18 orang masih harus memperbaiki dan 7 calon dalam verifikasi. Jika ada calon yang tak melaporkan hartanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa saja membatalkan pencalonannya, sesuai syarat dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 mengenai Pilkada.

Lebih penting lagi, penyelenggara pemilu harus memberikan akses yang mudah kepada masyarakat untuk melihat laporan kekayaan calon kepala daerah sehingga bisa ikut mengawasinya. Sebelum KPK terbentuk, tahun 2000, dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999. Komisi ini rutin memeriksa dan mengumumkan harta penyelenggara negara kepada masyarakat.