Akhir-akhir ini orang kembali membicarakan hubungan antara etika dan hukum. Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama,maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan dari banyak ahli hukum akibat pelanggaran etiknya. Kedua,munculnya revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang dinilai mencampuradukkan antara hukum dan etika.
Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan.
Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum (baca: undang-undang).
Saya dan hampir semua orang di negeri ini sangat geram saat melihat seseorang yang sudah jelas dan nyata bersalah, tetapi harus dibebaskan begitu saja karena prosedural formal hukum yang tidak memadai. Atau bahkan karena ketakmampuan peradilan menyentuh orang-orang yang memiliki power, dalam bentuk kuasa ataupun uang. Berulang kali kita harus menyaksikan politikus-politikus korup yang melenggang bebas dari jeratan hukum, bahkan semakin kokoh di puncak karier politiknya, padahal jelas dan nyata sekali melakukan pelanggaran etik dan hukum yang tidak sepele.
Kepemimpinan di semua lapisan cenderung hanya berorientasi populer (pop-leaders) sebagai akibat budaya politik yang baru tumbuh dalam tradisi demokrasi yang tertatih-tatih. Lalu ia menyebabkan timbulnya gejala keterpisahan: antara kesadaran pusat kekuasaan yang mengklaim popularitas dukungan rakyat dengan kesadaran kelas menengah yang memengaruhi pembentukan wacana publik dan membentuk day-today-politics; serta antara retorika politik yang tecermin di media massa yang dijadikan ukuran popularitas dan tindakan nyata yang memengaruhi dinamika kehidupan dalam masyarakat.
Tokoh-tokoh dalam infrastruktur masyarakat tanpa disadari didorong pula oleh keadaan untuk terlibat dan melibatkan diri dalam agenda-agenda politik nasional sehingga fungsi pembinaan masyarakat terbengkalai. Masyarakat bebas semakin berkembang tak terkendali. Akibatnya, nilai-nilai lama telah ditinggalkan, sementara nilai baru belum terbentuk. Hal ini yang juga kemudian menjadikan perilaku masyarakat terseret dalam ekspresi ekstrem dalam spektrum yang meluas, mulai dari kutub konservatisme sampai ke liberalisme yang paling utopis dan ekstrem.
Pelanggaran etik dan penegakan etik
Di negara yang demokrasi dan hukumnya telah menyatu dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi setara dengan pelanggaran hukum. Banyak pejabat negara di negeri-negeri itu yang memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga melakukan pelanggaran etik. Hal ini harus kita lihat sebagai penghormatan mereka terhadap martabat kemanusiaannya yang dihargai tidak lebih rendah daripada jabatan semata.
Namun, konteks ini belum terjadi di Indonesia. Seorang pejabat negara hanya akan meninggalkan jabatannya jika menurut UU/peraturan dia harus diberhentikan. Tidak berpengaruh pada seberat apa pun pelanggaran etik yang dia lakukan atau seberapa banyak ia melakukan pelanggaran etik, jika dalam aturan tidak secara jelas menyatakan dia harus diberhentikan, selamanya dia tidak akan berhenti.
Sekali lagi, kasus yang paling aktual untuk dijadikan contoh adalah yang menimpa Ketua MK, AH. Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang secara substansial sangat berat, ia tetap memilih mempertahankan jabatannya daripada derajat kemanusiaannya.
Fenomena lain yang cukup menggelitik adalah ulah DPR dan pemerintah yang menyetujui bersama revisi atas UU MD3. Substansi UU ini dinilai kacau dari banyak hal. Relevansinya dengan tulisan ini adalah karena dalam UU tersebut Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sejatinya adalah lembaga etik, tetapi diberi kewenangan mencampuri masalah hukum.
Hal ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, ketentuan dalam Pasal 245 yang memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengeluarkan pertimbangan kepada presiden atas pemanggilan anggota DPR yang terjerat kasus hukum. Kedua, dalam Pasal 122 yang memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil tindakan hukum terhadap siapa saja yang merendahkan derajat DPR dan anggota DPR.
Ketentuan ini telah mencampuradukkan penegakan hukum dan penegakan etik secara keliru. Padahal, meski keduanya saling berkaitan, cara penegakannya tidaklah sama. Sebab, penegakan hukum sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum dalam kekuasaan yudikatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar