Penangkapan komisioner KPU dan Ketua Panwaslu Garut adalah skandal besar dalam praktik demokrasi. Alarm telah berbunyi bahwa politik uang adalah nyata.
Komisioner KPU Garut, Ade Sudrajat, dan Ketua Panwaslu Garut Heru Hasan Basri ditangkap polisi atas dugaan menerima suap dari seseorang berinisial D terkait penetapan calon kepala daerah dalam Pilkada Garut. Dari hasil pemeriksaan, D telah memberikan satu mobil Daihatsu Sigra untuk Ade Sudrajat dan mentransfer uang Rp 10 juta untuk Heru Hasan Basri. Belum diketahui untuk kepentingan pasangan mana D menjalankan perannya.
Kita katakan ini skandal besar dalam demokrasi karena pelaksana dan pengawas sama-sama bersekongkol untuk kepentingan peserta pilkada. Pengawas yang seharusnya mengawasi jalannya pelaksanaan pilkada justru ikut menjual perannya demi untuk kepentingan finansial. Situasi ini menunjukkan bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk persyaratan untuk ikut dalam proses pilkada. Jika gejala ini terus membesar, inilah ancaman terhadap demokrasi.
Peristiwa ini bisa menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pelaksanaan pemilu, khususnya pada pelaksana dan pengawas pemilu. Ketika ketidakpercayaan muncul, maka kualitas pilkada bisa diragukan. Itulah yang tidak kita inginkan. Karena itulah langkah cepat Ketua KPU Arief Budiman dan Ketua Bawaslu Abhan untuk memberhentikan sementara keduanya haruslah didukung. Bahkan, perlu ada langkah lebih keras lagi dengan memecat mereka secara tidak hormat. Fakta hukumnya, mereka sudah ditahan polisi.
Pengungkapan tuntas juga perlu dilakukan dengan menginvestigasi D yang patut diduga sebagai perantara. Polisi harus memeriksa untuk kepentingan pasangan calon siapa D bekerja. Jika memang D bekerja untuk pasangan calon tertentu dan terbukti ada proses suap, pasangan calon tersebut juga patut diteliti lebih jauh dan berdampak pada pencalonannya.
Proses investigasi terbuka baik oleh KPU maupun Bawaslu perlu dilakukan dan hasilnya segera diumumkan kepada masyarakat tanpa harus mengganggu penyidikan yang dilakukan polisi. Hasil investigasi harus diumumkan secara terbuka, selain untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, juga untuk meningkatkan kembali tingkat kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu.
Pimpinan KPU dan Bawaslu harus menyadari bahwa ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu bisa ikut memengaruhi kualitas pemilu itu sendiri. Pada akhirnya situasi itu juga akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat pada hasil pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar