Kebencian tentu saja harus menjadi musuh bersama. Relasi sosial yang kita bangun sudah semestinya diacukan pada spirit cinta kasih, damai, dan kehendak satu sama lain saling memuliakan.
Keragaman agama, politik, atau etnik tak bisa dijadikan alasan bersengketa. Keragaman, multikulturalisme, pluralisme, atau apa pun istilahnya adalah takdir yang melekat dalam tubuh bangsa ini. Bukan kutukan, melainkan tambang pensyukuran. Karena unsur keragamanlah satu sama lain bisa saling belajar. Kehidupan menjadi warna-warni. Peradaban kian kaya dan sudut pandang jadi tak lagi tunggal. Langit dengan guratan pelangi akan tampak indah di lihat dari seluruh sudutnya.
Hal ini hanya dimungkinkan ketika setiap kita membuka jendela hati dan pikiran agar tetap lapang. Orang lain bukan sesuatu yang terpisah dari eksistensi kita, melainkan menyatu dan jadi bagian tak terpisahkan dari cara kita berada. Perjumpaan
dengan liyan jadi momen-momen menggetarkan untuk saling menyelami keunikan masing-masing, bahkan bisa ditarik pada ranah transendental: sebagai sumur rohaniah untuk menebalkan penghayatan iman setiap kita. Tuhan sengaja menciptakan serba berbeda agar bisa saling menyapa.
Indonesia secara ontologis lahir lengkap dengan segenap penduduk dengan pilihan agamanya yang beragam, etniknya berlainan, bahasanya yang berbeda, dan budayanya yang tak tepermanai. Kelahirannya dibidani tekad satu sama lain saling berempatik, yang dirumuskan dalam diksi "persatuan" dan "kesatuan" dengan etik imperatifnya "musyawarah, "mufakat", "hikmah", dan "kebijaksanaan".
Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar