Pertemuan kedua tokoh ini menarik perhatian dunia karena Paus Fransiskus sebagai pemimpin Gereja Katolik sedunia bertemu seorang presiden dari sebuah negara anggota NATO yang 95 persen dari 81 juta penduduknya Muslim. Paus sendiri mengunjungi Turki tahun 2014.

Keputusan Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember 2017 untuk memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem menimbulkan polemik di tengah masyarakat internasional. Dalam Sidang Darurat Majelis Umum PBB, 21 Desember 2017, delegasi Vatikan menyerukan perlunya semua negara menghormati status quo Kota Suci Jerusalem sejalan dengan resolusi-resolusi PBB. 

Di tempat berbeda, Turki bersama negara-negara anggota Organisasi Kerja sama Islam (OKI) menolak klaim Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Bahkan, OKI mendeklarasikan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Sementara itu, kawasan Timur Tengah masih terus bergolak. Belum ada tanda-tanda konflik yang terjadi di Afghanistan, Suriah, Irak, dan Yaman akan berakhir. Menurut Paus Fransiskus, rekonsiliasi melalui dialog merupakan salah satu cara mewujudkan perdamaian. Dialog yang didasari rasa saling percaya sangat diperlukan bagi pihak-pihak yang bertikai. Namun, perlu dicatat, saat ini Turki masih bagian dari konflik di Irak dan Suriah.

Mengenai pengungsi, Paus Fransiskus secara tegas menyatakan sebagai masalah kemanusiaan. Menurut dia, pengungsi jangan dilihat semata dari status hukum legal atau ilegal, tetapi mereka harus dilihat sebagai sosok manusia yang memiliki martabat yang wajib dilindungi. Dalam pesannya pada the World Day of Migrants and Refugees tahun 2016, Paus mengimbau semua pihak agar bersedia menerima pengungsi sebagai bagian dari keluarga. Turki sendiri sejauh ini menampung 3,7 juta pengungsi.

Status Jerusalem

Dalam menyikapi isu Jerusalem, baik Paus Fransiskus maupun Presiden Erdogan memiliki sikap dasar yang sama. Dialog, perundingan, menghargai hak-hak asasi manusia dan hukum internasional menjadi acuan bersama. Dengan demikian, mereka memandang penting perlunya status quoJerusalem dipertahankan sekaligus menghormati resolusi-resolusi PBB terkait. Pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel hanya akan memicu konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.

Bagi Paus Fransiskus, Jerusalem merupakan tempat suci dan rumah bersama bagi kaum Kristiani, Muslim, dan Yahudi sehingga memiliki "panggilan khusus" untuk perdamaian dunia. Diharapkan semua pihak berlaku bijak dan hati-hati dalam menyikapi isu Jerusalem guna menghindari ketegangan baru di dunia yang sudah kacau ini. Vatikan menghendaki lahirnya dua negara independen yang diakui secara internasional sehingga terwujud koeksistensi damai.

Sementara bagi Presiden Erdogan, sejalan dengan sikap OKI, penyelesaian masalah Israel-Palestina juga harus didasarkan pada two-state solution. Di samping itu, pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel dipandang sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.

Dari perspektif sejarah, Jerusalem dikuasai Israel setelah perang 1967, tetapi tidak pernah diakui komunitas internasional. Sejumlah resolusi PBB mendesak Israel untuk menarik diri dari wilayah yang direbut dalam perang 1967 itu. Dalam perang enam hari, di samping merebut wilayah Jerusalem Timur yang diduduki Jordania, Israel mengambil alih wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai.

Perdamaian Timur Tengah

Kawasan Timur Tengah memiliki sejarah perang yang panjang. Bencana kemanusiaan akibat perang sangat memilukan. Dewasa ini terdapat empat titik konflik yang perlu penanganan: Irak, Suriah, Afghanistan, Yaman, dan Israel-Palestina.

Meskipun konflik di Irak sedikit mereda, potensi konflik sektarian dan ancaman terorisme masih ada. Masalah etnis Kurdi adalah salah satunya.  Hal yang sama terjadi di Afghanistan. Sementara proxy war yang melibatkan AS, Rusia, Iran, Arab Saudi, dan Turki juga terus berlangsung.

Menyikapi konflik tersebut, Paus Fransiskus berharap munculnya sejumlah prakarsa perdamaian dengan mengedepankan rasa saling percaya sehingga proses rebuilding dapat segera dimulai. Kunjungan Paus ke Jordania tahun 2014 merupakan salah satu upaya mendorong perdamaian di Timur Tengah. Perlunya merawat kebebasan beragama di kawasan ini jadi pesan inti kunjungannya ke Jordania.

Menyangkut perdamaian di Timur Tengah, Turki dalam posisi sulit. Hal ini mengingat Turki sedang berusaha mencegah menguatnya pengaruh politik komunitas Kurdi di Irak dan Suriah dengan tindakan militer. Bagi Turki, Kurdi merupakan ancaman. Diperkirakan, Paus Fransiskus dalam pertemuan dengan Presiden Erdogan juga mengungkapkan rasa prihatin atas nasib etnis Kurdi.

Pengungsi

Konflik yang sedang terjadi di Afghanistan, Suriah, Irak, dan Yaman telah mengakibatkan gelombang pengungsi besar-besaran. Di Eropa saat ini diperkirakan terdapat  5,2 juta pengungsi yang sebagian besar berasal dari negara-negara ini. Sejumlah negara Eropa, seperti Jerman, Italia, dan Yunani, telah memberikan penampungan kepada para pengungsi. Sementara Jordania, Lebanon, dan Turki juga melakukan hal yang sama. Secara khusus, pada Maret 2016, Turki menyelenggarakan pertemuan para pemimpin Uni Eropa guna mencari solusi penanganan pengungsi.

Masalah pengungsi itu sendiri pada dasarnya menyangkut tiga dimensi persoalan: kemanusiaan, hukum, dan keuangan. Bagi negara-negara penerima pengungsi akan dihadapkan pada dilema antara tanggung jawab kemanusiaan dan risiko politik, seperti perlawanan dari kaum ultra-kanan yang anti-pendatang.

Menyikapi ini, baik Paus Fransiskus maupun Erdogan berpandangan perlunya kesediaan negara-negara menampung pengungsi. Secara khusus, dalam sebuah kesempatan, Paus meminta semua pihak untuk mengesampingkan retorika dan mulai berbuat konkret karena panggilan kemanusiaan. Dikatakan, salah satu hak fundamental manusia adalah freedom of movement.

Dalam pertemuan 50 menit itu tentu tak semua permasalahan dapat dibahas. Konon, isu Islamofobia dan xenofobia dibahas sebagai upaya melawan persepsi keliru yang menyamakan Islam dengan terorisme. Namun, tak jelas, apakah persoalan seperti perlakuan Turki terhadap kaum minoritas Kristiani dibicarakan. Juga persoalan klasik: tuduhan genosida masa Kekaisaran Ottoman terhadap penganut Kristen Armenia antara 1915 dan 1919 yang kontroversial.