DIDIE SW

     

Berdasarkan rapat koordinasi terbatas kabinet pada Desember 2017, pemerintah bersepakat akan melakukan impor daging kerbau dari India sebanyak 100.000 ton untuk 2018, dengan dalih untuk menurun- kan harga.

Kebijakan ini sungguh mengagetkan karena dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 7 Februari 2017 tentang perkara No 129/PUU-XIII/2015, kebijakan impor tersebut sejatinya hanya dapat dilakukan pada kondisi negara dalam keadaan darurat.

Selain itu, pemerintah hanya boleh mengimpor daging dari negara yang memiliki zona wilayah bebas penyakit hewan menular utama, khususnya penyakit mulut dan kuku (PMK). Nyatanya, menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), India sampai saat ini masih belum bebas PMK dan tidak memiliki zona bebas PMK.

Dalam sistem perdagangan bebas dunia, Indonesia telah meratifikasi seluruh perjanjian perdagangan bebas dengan WTO. Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan perdagangan internasional tentu harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan WTO. Secara operasional, perdagangan ternak dan produk ternak pun harus tunduk mengikuti seluruh sistem dan prosedur yang ditetapkan OIE.

Menurut norma yang berlaku, negara atau zona suatu negara yang memiliki status bebas PMK hanya boleh berdagang dengan negara/zona suatu negara yang berstatus sama: bebas PMK.

Menurut Soedradjat (2012), pada tahun 1806 di zaman pemerintahan Hindia Belanda, untuk pertama kalinya, sapi Zebu didatangkan oleh para pedagang dari India ke wilayah Jawa Timur. Adapun pada 1842 telah didatangkan pula bangsa sapi Ongole oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk program ongolisasi di Pulau Sumba.

Empat puluh lima tahun kemudian, sekitar tahun 1887, untuk pertama kalinya terjadi wabah PMK di Malang, kemudian di tahun 1973 di Bali, dan tahun 1983 di Blora, Jawa Timur. Melihat pengalaman ini, bisa dilihat, ternyata masuknya suatu penyakit dari satu wilayah ke wilayah lainnya memerlukan waktu.

Berdasarkan pengalaman tersebut, pemerintah berusaha melakukan berbagai upaya untuk membebaskan negeri ini dari wabah PMK tersebut dengan melakukan berbagai langkah. Hasilnya, telah dilakukan deklarasi bebas PMK pada 1986. Upaya ini telah membuahkan hasil, yaitu diperolehnya pengakuan dari OIE di tahun 1990 bahwa Indonesia telah bebas PMK tanpa vaksinasi.

Namun, pada 2016, pemerintah melahirkan kebijakan sangat kontroversial dari sisi profesi peternakan/kedokteran hewan, yaitu membebaskan impor daging kerbau dari India. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17 Tahun 2016, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2556 Tahun 2016, dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016. Hal itu bertolak belakang dan menerabas berbagai kebijakan normatif yang selama ini berlaku.

Atas dasar itu, siapakah sesungguhnya yang diuntungkan?

Dampak impor dari India

Sejak 2013, pemerintah menggunakan patokan harga sebagai indikator keberhasilan pembangunan sapi potong. Hal itu tersirat dari kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 669 Tahun 2013. Namun, sesungguhnya indikator harga produk juga merupakan insentif bagi peternak dalam mengembangkan usaha.

Dalam kajian yang penulis lakukan (2013), harga suatu produk dapat menerangkan peningkatan skala suatu usaha peternakan. Artinya, peternak akan mengembangkan usahanya jika harga hasil produksinya menguntungkan. Faktanya, harga yang dikehendaki pemerintah jauh di bawah harga pokok produksi peternak. Berbagai teori, konsep, dan kebijakan digulirkan, bahkan dana triliunan rupiah digelontorkan pemerintah untuk merealisasikan harga yang ditetapkan.

Berbagai kebijakan yang ditempuh terkait dengan pembatasan kuota impor sapi bakalan, dugaan kartel, pembebasan impor daging dan jeroan, serta moratorium sentra peternakan rakyat, realisasi impor daging India, perubahan bobot impor sapi bakalan, dan rasio impor sapi bakalan dengan indukan ternyata tak mampu menurunkan harga seperti yang dikehendaki.

Bahkan, yang terjadi sebaliknya, impor sapi bakalan menurun sampai 50 persen, sekitar tujuh pengusaha feedlotmenghentikan usaha, impor daging India meningkat, beberapa perusahaan feedlotmilik WNI di Australia dijual, pemotongan betina produktif meningkat mencapai 1 juta ekor per tahun, dan pemotongan sapi-sapi lokal menurun tajam, dan harga daging tetap bertengger stabil tinggi.

Di sentra konsumen, peternak rakyat tidak lagi menguasai pangsa pasar daging sapi di dalam negeri. Bahkan, menurut penelitian Pataka (2016), akibat kondisi yang tak kondusif selama ini, usaha peternak rakyat merugi sekitar Rp 30 triliun. Hal itu terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi yang tak diimbangi dengan kenaikan harga hasil produksi. Apabila kondisi ini dibiarkan, tak mustahil negeri ini masuk jebakan pangan (food trap) daging sapi/kerbau.

Secara ekonomi, kehadiran daging India yang diharapkan dapat menurunkan harga faktanya tak memberikan pengaruh apa-apa. Bahkan, inflasi pun tak dipengaruhinya. Manfaat kehadirannya hanya dinikmati para pedagang dan importir. Mereka bisa meraup keuntungan menggiurkan dengan selisih margin sekitar Rp 35.000 per kilogram.

Konsumen daging sapi yang hanya 16 persen dan berpenghasilan menengah atas sesungguhnya tak peduli terhadap harga. Kita pun sangat paham, yang selama ini merasa risau terhadap kenaikan harga daging hanya industri pengolahan daging, bukan konsumen daging rumah tangga.

Stop impor

Melihat fakta dan fenomena yang terjadi, sesungguhnya sangat bijak jika pemerintah menyetop impor daging asal India sebab tidak ada manfaatnya baik secara teknis, sosial, maupun ekonomi sekalipun. Jika kebijakan ini direalisasikan, pemerintah harus melakukan harmonisasi terhadap berbagai kebijakan lain yang akan membuat iklim usaha menjadi kondusif kembali.

Misalnya, mereorientasi konsep pembangunan peternakan sapi potong menjadi berupaya meningkatkan produksi dan kesejahteraan peternak di dalam negeri, bukan berorientasi penurunan harga komoditas. Pasalnya, jika produksi dan populasi sapi di dalam negeri meningkat, tentunya akan mampu berkontribusi terhadap penurunan harga komoditas.

Semoga.

Rochadi TawafDosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Kompas, 12 Februari 2018