TOK

credit="TOK

Efektivitas keputusan pemerintah untuk mengimpor beras pada Januari 2018 kini menghadapi pertaruhan. Sebelumnya, penetapan impor menjadi kontroversi dan polemik panjang. Padahal, impor adalah hal biasa. Undang-undang pangan pun memungkinkan opsi impor. Jika kebutuhan tak mampu dipenuhi dari produksi dalam negeri, kebijakan impor "dihalalkan". Namun, menjadi persoalan ketika keputusan impor didasarkan pada adanya gejolak harga beras.

Hal itu menghilangkan dasar yuridis, rasionalitas, ataupun urgensi kebijakan itu. Pasalnya, banyak faktor menjadi determinan gejolak harga beras di Indonesia. Secara fundamental, variabel kunci stabilitas harga memang keseimbangan permintaan dan pasokan. Namun, masalah menjadi kompleks ketika beras jadi kebutuhan pangan pokok seluruh rakyat Indonesia, sementara produksi beras tidak merata di seluruh wilayah.

Terbukti, sekalipun impor beras mulai masuk Februari ini, stabilitas harga beras tak kunjung terjadi. Memang, impor beras yang akan tiba sekitar 281.000 ton itu tidak masuk ke pasar, tetapi ke gudang Perum Bulog. Minimal, itu berarti komitmen pemerintah menambah cadangan Bulog akan direalisasikan. Namun, kenapa kondisi keseimbangan pasar seolah tetap bergeming. Padahal, dengan cadangan yang dimiliki, pemerintah memiliki instrumen melakukan operasi pasar. Apalagi, beras impor akan masuk melalui pelabuhan di sembilan daerah.

Awal pekan kedua Februari, harga beras jenis medium (IR 64, IR 42, dan Muncul) di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, dan Pasar Beras Johar, Karawang, Jawa Barat, mulai turun. Sayangnya hal itu belum berlangsung secara persisten. Pada akhir pekan, harga beras kembali berfluktuasi. Hal ini kuat mengindikasikan persediaan beras masih di bawah kebutuhan. Hal itu dapat dipahami karena panen masih terbatas di beberapa daerah. Panen raya baru diprediksi terjadi pada pertengahan Maret-April 2018.

Ironisnya, harga gabah dan beras di daerah yang mulai panen tetapi tidak mengalami defisit produksi cenderung turun, seperti di sekitar wilayah Surakarta. Sebaliknya, sekalipun di Indramayu dan beberapa daerah mulai panen, harga gabah dan beras masih relatif tinggi. Sekali lagi, hal itu menunjukkan, di daerah yang defisit produksi, harga relatif kaku atau tidak elastis.

Ini membuktikan, argumen pemerintah melakukan impor untuk stabilisasi harga kian kehilangan esensi. Memasuki Februari 2018, ada atau tidak ada impor, harga beras di beberapa daerah dengan sendirinya akan turun. Justifikasi keputusan impor beras pemerintah akhirnya digeser, untuk pemenuhan cadangan beras pemerintah melalui Bulog. Jika demikian, semestinya yang diimpor beras medium, bukan premium.

Efektivitas impor

Ketidakkonsistenan prognosis kebijakan impor pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan impor kehilangan arah. Berikut ini lima alasan dan fakta untuk menuju kesimpulan tersebut.

Pertama, jika impor dimaksudkan untuk stabilisasi harga, mestinya di tengah gejolak harga di beberapa daerah yang defisit, Bulog segera menyerap beras dari daerah yang surplus. Dengan demikian, pemerintah segera dapat menggunakan instrumen operasi pasar yang efektif untuk stabilisasi harga. Pasalnya, sekalipun pemerintah mengklaim produksi cukup, pasokan berada dalam penguasaan swasta. Sementara cadangan pemerintah sangat terbatas.

Kedua, rendahnya cadangan Bulog disebabkan harga pembelian pemerintah (HPP) selalu di bawah harga pasar dan ongkos produksi petani meski saat ini pemerintah telah memberikan fleksibilitas pembelian 20 persen di atas HPP. Persoalan lainnya, sebagian besar petani adalah petani gurem. Mereka kesulitan menjual langsung kepada Bulog. Sementara pedagang langsung datang ke sawah petani tanpa memberikan persyaratan tingkat kekeringan gabah dengan standar tertentu. Namun, jika kembali pada esensi HPP untuk mengerem kejatuhan harga petani saat panen raya, fleksibilitas HPP 20-30 persen cukup efektif.

Ketiga, saat Bulog memiliki cadangan beras dari impor, wajar jika petani semakin khawatir akan anjloknya harga gabah saat memasuki panen raya Maret- April 2018. Apalagi, mekanisme pemerintah mengganti selisih HPP dengan harga pembelian melalui APBN sangat tidak sesuai dengan penugasan Bulog sebagai lembaga penyangga dan stabilisasi pangan. Penggantian dari pemerintah akan dilakukan setelah ada audit atas laporan pembelian. Artinya, Bulog harus beroperasi dengan modal dari sumber pembiayaan komersial. Di tengah berbagai keterbatasan infrastruktur Bulog, wajar jika penyerapan Bulog dari petani tidak pernah optimal dan akan memilih memenuhi cadangan dari impor yang lebih murah.

Keempat, berdasarkan Survei BPS terkait Pola Distribusi Perdagangan Beras 2017, rantai distribusi beras dari produsen ke konsumen akhir terpotong satu, yaitu hilangnya posisi agen. Sebelumnya, rantai distribusi dari produsen ke distributor, agen, dan pengecer baru ke tangan konsumen. Mestinya semakin pendek dan efisien jalur distribusi, margin perdagangan cenderung turun. Ironisnya, margin perdagangan dan pengangkutan beras justru naik dari 21,19 persen (2016) menjadi 26,12 persen (2017). Hilangnya peran agen, dikhawatirkan, karena para pemain kecil tersisih oleh pemain besar. Jika ini yang terjadi, tingkat penguasaan dominasi pasokan lebih terkonsentrasi pada segelintir pemain besar.

Kelima, hiruk-pikuk fluktuasi harga beras tidak berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan petani. Nilai tukar petani (NTP) pada Januari 2018 justru menurun dibandingkan Desember 2017. Jika kebijakan impor beras tidak berimplikasi pada stabilitas harga konsumen dan peningkatan kesejahteraan petani, kebijakan impor beras ini menguntungkan siapa?