Tradisi Imlek
Rakyat Indonesia makin terbiasa dengan tradisi Tahun Baru Imlek. Semakin sering terdengar atau terbaca ungkapan "Gongxi facai" (ejaan yang benar adalah "facai", bukan "fachai" atau "fatchoi") seputar Imlek.
Banyak orang non-Tionghua (lagi-lagi ini yang benar, bukan Tionghoa seperti yang sudah telanjur) mengira arti "Gongxi facai" adalah "Selamat Tahun Baru Imlek" dan menjadikannya ucapan wajib saat Imlek.
"Gongxi facai" sebenarnya bukan monopoli ucapan Imlek. "Gongxi facai" berarti "Selamat menjadi kaya". Minggu lalu di pintu utama salah satu sekolah di kawasan Pantai Indah Kapuk terpampang ornamen Imlek bertuliskan "Gongxi facai". Walau tidak salah mendoakan untuk mendapat rezeki, rasanya tidak tepat mengucapkan "Gongxi facai" kepada anak-anak yang masih sekolah.
Di hari-hari biasa, kita boleh mengucapkan "Gongxi facai" saat mengharapkan seseorang akan mendapat proyek besar atau sukses saat dia baru memulai usaha.
Di Tahun Baru Imlek, kita lebih cocok mendoakan seseorang supaya selalu aman, sehat, damai, beruntung, atau lancar semua urusan. Ini yang menjadi tolok ukur ucapan Imlek di China dan Taiwan. Mereka tidak mengukur sukses dalam hal menjadi kaya saja.
Alfonso Indra Wijaya
GreenBay Pluit Tower B, Jakarta Utara
Distorsi Pancasila
Deputi Bidang Advokasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono mengungkapkan beberapa penyebab distorsi pemahaman Pancasila.
Penyebab itu antara lain hilangnya mata pelajaran Pendidikan Pancasila, adanya segregasi sosial kelompok masyarakat yang membuat sulit bersatu, dan kesenjangan ekonomi sehingga belum adil sosial.
Beberapa pihak bahkan masih mempersoalkan sejarah kelahiran Pancasila dan Pancasila sebagai dasar negara (Kompas, 9/2). Ada juga yang mengatakan Pancasila adalah filsafat, bukan ideologi. Jika ideologi , Pancasila tidak akan bertahan lama. Sebagai filsafat, apa UKP-PIP perlu berubah menjadi UKP-PFP?
Pancasila sebagai filsafat, apakah rakyat Indonesia sudah memahami makna filsafat dan membedakan dengan ideologi?
Filsafat pada dasarnya merupakan cara memandang kehidupan dan dunia sehingga diperoleh pemahaman hakikat alam semesta, termasuk manusia dan aspek sosialnya. Filsafat obyektif dan terbuka selalu menawarkan kesempatan untuk mengetahui lebih dalam.
Sebaliknya, ideologi merupakan seperangkat kepercayaan, doktrin, dan aturan yang berlaku bagi komunitas tertentu. Ia berangkat dari analisis situasi dan dirumuskan dalam visi misi yang akan dicapai.
Ideologi mendorong para penganutnya untuk mengubah situasi sekarang menuju kondisi yang dicita-citakan. Ideologi lebih dogmatis, tertutup, dan tidak membuka diri ke arah perbedaan pandangan. Namun, deskripsi ideologi seperti itu tidak berlaku bagi ideologi Pancasila yang dinamis dan terbuka.
Ideologi selalu berangkat dari cara pandang filosofis. Banyak pandangan filosofis akhirnya diarahkan dan ditafsirkan secara ekstrem atau terdistorsi. Contoh filsafat Nietzsche mengenai hakikat superioritas manusia dijadikan ideologi superioritas (Uber Alles) zaman Nazi.
Dalam usaha menghilangkan distorsi pemahaman, bangsa Indonesia wajib memperdalam dan memperluas wawasan filsafat Pancasila agar berkembang dan langgeng menjadi ideologi berwawasan universal.
Realisasi dimulai sejak pendidikan dini anak bangsa. Pemasukan kembali mata pelajaran Pancasila pada berbagai jenjang pendidikan dengan metodologi didaktik yang menarik dan sesuai dengan usia peserta didik merupakan syarat utama menanggulangi distorsi ini.
UKP-PIP seyogianya memanfaatkan momentum penyusunan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2018 terkait pendalaman salah satu isu strategis, yaitu penguatan pendidikan karakter di sekolah sebagai model lingkungan kebudayaan (Kompas, 9/2).
UKP-PIP juga perlu bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan dalam kegiatan tahun politik 2018-2019 agar isi kampanye tak lagi mengandung paham dan pandangan yang masih distorsif.
Wim K Liyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar