KOMPAS/WAWAN H PRABOWO 

Deretan kursi kosong dan tulisan "Kami Butuh Kritik" dilayar monitor mewarnai jalannya Rapat Paripurna ke-18 masa persidangan III tahun sidang 2017-2018 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/2).

Di tengah informasi yang melim- pah, pers justru kian dibutuhkan. Pers dibutuhkan untuk menyam- paikan kebenaran, sebagai pilar penegak fakta, dan aspirasi rakyat.

Presiden Joko Widodo mengatakan itu dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Padang, Sumatera Barat, Jumat (9/2). Namun, berselang seminggu, dalam pertemuan di Dewan Pers, mencuat sebuah kekhawatiran, kemerdekaan pers terancam. Kebebasan pers di Indonesia, yang dijamin dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dalam waktu dekat akan musnah. Kalangan pers, khususnya media arus utama, bisa masuk kembali ke dalam lorong ketidakpastian hukum, bahkan terpenjara oleh aturan lain.

Setidaknya ada 28 pasal dalam Rancangan UU tentang Kitab UU Hukum Pidana (RKUHP), yang sesuai draf edisi 2 Februari 2018 berubah namanya menjadi RUU Hukum Pidana yang mengancam kemerdekaan pers. Pasal 216 RUU Hukum Pidana menegaskan, setiap orang yang tanpa wewenang membuat, mengumpulkan, mempunyai, menyimpan, menyembunyikan, atau mengangkut potret, lukisan, atau coretan (gambar tangan), pengukuran, penulisan, keterangan, atau petunjuk lain mengenai suatu hal yang bersangkutan dengan kepentingan pertahanan negara dipidana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 150 juta. Bagaimana dengan wartawan yang akan menuliskan tentang peta kekuatan militer Indonesia?

Pasal 222 RUU Hukum Pidana juga mengancam setiap orang yang tanpa wewenang memasuki wilayah yang sedang dibangun untuk keperluan pertahanan keamanan negara dalam jarak kurang dari 500 meter, kecuali pada jalan besar untuk lalu lintas umum. Ancaman hukumannya, maksimal satu tahun penjara atau denda paling banyak Rp 50 juta. Syukur DPR bersepakat menunda pembahasan RUU Hukum Pidana sehingga ada waktu menyosialiasikan dan mendengarkan masukan masyarakat.

Yang mendesak justru menyikapi kesepakatan DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). RUU yang tinggal diundangkan itu berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Pasal 74 RUU itu menegaskan, hampir seluruh rapat DPR berhak membuat rekomendasi. Jika rekomendasi itu tak dilaksanakan oleh penyelenggara negara lain, badan hukum, dan penduduk, DPR bisa meminta Presiden atau instansi lain memberi sanksi.

Rapat DPR bisa membuat rekomendasi apa pun sebab yang diurusi beragam. DPR merekomendasikan media tak memuat berita yang dinilai mendiskreditkan mereka, seperti terkait hasil survei yang menunjukkan DPR sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Pasal 122 RUU Perubahan UU MD3 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap siapa pun yang merendahkan martabat DPR atau anggota DPR.