Ada tiga isu penting dalam pembangunan manusia di Indonesia yang relevan dipersoal- kan dalam peraya- an hari perempuan internasional 2018.
Ketiganya bahkan bisa mengganggu capaian Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama poin lima, yakni Kesetaraan Keadilan Gender. Ketiga isu adalah perkawinan anak, gizi buruk yang berdampak pada tubuh kuntet (stunting), dan sunat perempuan.
Kawin anak dan kuntet
Dalam isu kawin anak, data Susenas BPS 2012 menunjukkan di antara perempuan yang kawin usia 20-24, 25 persen menikah sebelum 18 tahun. Sementara survei kesehatan SDKI 2012, mencatat 17 persen perempuan yang pernah kawin usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Haruslah dicatat, Indonesia merupakan contoh dari kemajuan global menuju penghapusan praktik perkawinan anak.
- English Version: Child Marriage, Stunting and Female Circumcisium
Hal ini ditandai penurunan prevalensi lima persen antara SDKI 2007 dan 2012. Namun seperti dilaporkan BPS, tren prevalensi perkawinan anak di tingkat daerah dibandingkan prevalensi nasional hanya sedikit yang dipublikasikan (Kemajuan Tertunda: Analisis Data Perkawinana Anak di Indonesia, Unicef BPS 2015). Padahal perbedaan praktik kawin anak antar daerah sangat tajam. Di daerah di mana terjadi krisis ekologis, kawin anak naik (Rumah Kitab, 2015).
Perkawinan anak jelas menyumbang pada persoalan kesehatan perempuan dan terjadinya tubuh kuntet. Itu karena anak perempuan yang sedang tumbuh kembang dan belum optimal harus berebut gizi dengan anak yang dikandungnya atau setelah anak lahir yang harus disusui. Demikian halnya, mereka harus mengambil alih beban orang dewasa dalam perannya sebagai istri, ibu dan menantu dalam kultur yang memberi beban pada perempuan sebagai penanggung jawab urusan domestik begitu berstatus sebagai istri.
Di masa krisis moneter tahun 1998, sebagaimana dicatat Kharisma Nugroho (Anak Kerdil Bangsa Kerdil, 2013) kita diingatkan akan ancaman generasi kuntet akibat gizi buruk. Kini, hampir dua dekade setelah reformasi, gizi buruk masih mengemuka bahkan merupakan bencana yang tersembunyikan.
Satu di antara tiga (36 persen) anak balita di Indonesia mengalami tubuh pendek atau kuntet, tinggi badan mereka kurang dibandingkan umurnya (Survei Riskesdas 2007, 2010). Keadaan itu sama dengan keadaan di Filipina (32 persen), hanya sedikit lebih baik dari Kamboja (40 persen). Dari 11 provinsi dengan angka rata-rata kuntet di atas rata-rata nasional, sembilan provinsi ada di luar Jawa. Namun Jawa Barat dan Banten, di mana sumber nutrisi sebenarnya melimpah, angka anak kuntetnya di atas rata-rata nasional.
Kejadian tumbuh kuntet adalah gambaran buruknya kondisi kesejahteraan dasar warga yang merupakan rangkaian peristiwa sejak anak di dalam kandungan. Dimulai dari ibu hamil yang kurang gizi, gangguan pertumbuhan janin, lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram, tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) secara benar, tak cukup asupan energi dan protein.
Karena asupan kurang, anak jadi rentan sakit dan pertumbuhan otak tak optimal. Meskipun tak terdapat data pilah antara anak lelaki dan perempuan yang mengalami kuntet, dampak pada anak perempuan jelas lebih besar karena mereka melahirkan anak-anak dengan kondisi kesehatan yang buruk dari rahim yang juga kurang siap untuk mengandung dan melahirkan anak yang sehat.
Data Riskedas Kementerian Kesehatan tahun 2010 menunjukkan kejadian tumbuh kuntet, lebih banyak prevalensinya di kalangan termiskin (kuantil 1), namun secara signifikan juga terjadi pada golongan masyarakat kondisi sosial ekonomi lebih baik. Lebih dari 26,9 persen balita dari kelompok (kuantil 5) juga mengalami stunting. Jadi, kuntet tidak bisa hanya dilihat sebagai masalah kemiskinan akibat hal-hal domestik (pola makan, perilaku pengasuhan anak, peran suami/laki-laki) tetapi juga kondisi makro seperti ketahanan pangan dan kualitas layanan dasar dan relasi gender yang timpang dalam pengambilan keputusan.
Kuntet tidak bisa hanya dilihat sebagai masalah kemiskinan akibat hal-hal domestik (pola makan, perilaku pengasuhan anak, peran suami/laki-laki) tetapi juga kondisi makro seperti ketahanan pangan dan kualitas layanan dasar dan relasi gender yang timpang dalam pengambilan keputusan.
Sunat perempuan
Sementara sunat perempuan, fakta itu lebih membutuhkan kejelian dalam mengamatinya. Masalahnya data internasional selalu menunjuk Indonesia sebagai negara dengan ragam praktik sunat perempuan. Sebetulnya itu tak keliru, dalam budaya Indonesia praktik inisiasi menuju kedewasaan merupakan kebiasaan yang diterima. Pada anak lelaki dilakukan dengan sunat, sementara pada perempuan di masa lampau dilakukan dengan pangur gigi dan sunat atau tetesan.
Sampai tahun 1990-an sebelum Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) 1994 Kairo masih sangat sedikit yang memberi perhatian kepada praktik sunat ini. Dalam analisis Andre Feillard, peneliti sosial dari Paris, sunat perempuan di Indonesia adalah praktik bisik-bisik di antara ibu sang bayi dengan paraji/dukun sunatnya.
Isu ini mencuat ke permukaan setelah dunia internasional memerhatikan laporan-laporan bahwa praktik sunat perempuan terjadi di negara-negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Semula praktik ini sepenuhnya merupakan tradisi yang dilakukan dalam otoritas tradisi pula. Namun setelah dunia internasional memberikan peringatan atas praktik yang dianggap membahayakan ini, negara kemudian ikut mengaturnya melalui Peraturan Menteri Kesehatan No 100 Tahun 2010.
Peraturan itu menyebutkan bahwa untuk menghindari praktik yang membahayakan, pelaksanaan sunat harus dilakukan oleh tenaga medis. Keluarnya aturan itu ditangkap Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai persetujuan negara atas praktik itu. Meskipun kemudian peraturan itu diralat tahun 2014 dengan larangan pemotongan klitoris, secara umum praktik sunat perempuan malah menjadi bagian dari layanan kesehatan.
Jelas bahwa proses medikalisasi sunat perempuan justru telah memperluas praktik ini yang semua hanya menjadi bagian dari tradisi sekarang menjadi praktik layanan kesehatan. Dan adanya medikalilsasi ini menunjukkan praktik sunat itu meningkat jumlahnya bersama meningkatnya pelayanan persalinan oleh tenaga medis di rumah sakit atau RSB dan sunat bagi bayi perempuan diberlakukan sebagai servis layanan dalam kerangka persaingan bisnis antar lembaga layanan.
Wabah bisu
Atas tiga persoalan ini, pemerintah telah menyadari bahwa ini merupakan "wabah bisu". Secara parsial sejumlah sektor melakukan upaya -upaya untuk mengatasinya. Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2017 telah diluncurkan tahun lalu, di mana sektor hukum mengupayakan penanganan perkara hukum dengan pendekatan yang sensitif gender. Itu artinya perkawinan anak seharusnya bukanlah praktik yang dapat diizinkan, misalnya melalui pemberian dispensasi nikah atau isbat nikah.
Kementerian Agama telah mengingatkan, seharusnya rujukan usia kawin mengacu kepada pasal enam UU Perkawinan tahun 1974 bahwa batas usia kawin adalah 21 tahun bagi lelaki dan perempuan, dan bukan pasal tujuh yang memberi batas minimal dalam mengajukan permohonan izin menikah.
Masih dalam kaitannya dengan isu kawin anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menetapkan hilangnya praktik kawin anak sebagai parameter Kabupaten dan Kota Layak Anak. Namun dalam upaya menyetop praktik sunat perempuan tampaknya negara masih belum banyak langkah. Padahal sejumlah studi seperti yang dilakukan Komnas Perempuan menunjukkan proses medikalisasi sunat pintu buruk dari praktik sunat perempuan yang dilegalkan.
Kementerian Agama telah mengingatkan, seharusnya rujukan usia kawin mengacu kepada pasal enam UU Perkawinan tahun 1974 bahwa batas usia kawin adalah 21 tahun bagi lelaki dan perempuan, dan bukan pasal tujuh yang memberi batas minimal dalam mengajukan permohonan izin menikah.
Walhasil, di saat dunia internasional merayakan hari perempuan, bagi Indonesia, ketiga isu ini masih menjadi agenda untuk mengatasinya. Tanpa itu Indonesia akan sulit mencapai target SDGs dan mungkin gagal dicatat sebagai negara yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar