Komunikasi politik elite menuju Pemilu Presiden 2019 semakin intensif dilakukan. Hampir setiap saat, elite utama partai politik saling berbagi pesan dan kesan di panggung publisitas politik. Komunikasi verbal ataupun nonverbal dihadirkan dalam konteks yang beragam dan sengaja dikonstruk- si multimakna.

Fenomena ini harus diposisikan sebagai bagian dari karakteristik komunikasi politik, yang oleh Robert E Denton dan Gary C Woodward dalam bukunya,Political Communication in America(1990), sebagai intention (tujuan) pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik.

Uji reaksi pada calon kawan dan lawan, perang urat saraf, persuasi ke khalayak melalui manajemen isu di ragam kanal yang diakses warga, serta penguasaan opini publik, membuat suasana politik nasional gegap gempita. Di saat bersamaan, semua kekuatan membaca peta politik guna mengintip peluang serta mengatur posisi yang tepat, di tengah konstelasi pola komunikasi politik yang masih acak.

Tema fantasi

Fenomena menarik untuk dicermati saat ini adalah setiap partai politik melakukan pemosisian diri untuk berkongsi  lebih dini. Hal ini terkait konstelasi yang berubah, saat pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan bersamaan. Ada kebutuhan strategis dari setiap partai untuk mendapatkan insentif elektoral dari sosok-sosok kuat dan punya prospek pasar pemilih jelas di Pemilu 2019. Inilah yang kerap disebut "efek ekor jas" (coat-tail effect), yang menghadirkan pesona figur calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) bagi peningkatan suara di basis pemilih yang sudah terpersuasi oleh daya tarik figur utama yang dimunculkan.

Strategi utama yang dilakukan partai-partai adalah membangun kesadaran kelompok atau kolektif di internal, melalui konvergensi simbolik lewat tokoh utama mereka yang dijadikan tema fantasi. Strategi ini diharapkan menjadi perekat internal sekaligus basis memasarkan diri ke pihak luar untuk membuka dialog di zona yang memungkinkan mereka turut serta dalam kesepakatan (zone of possible agreement).

Secara akademik, istilah konvergensi simbolik bisa dirunut dari pemikiran Ernest Bormann mengenai simbolic convergence theory (SCT) yang mulai dikembangkan di Universitas Minnesota pada tahun 1970-an. Bormann sendiri berangkat dari pemikiran Robert Bales tentang proses interaksi kelompok kecil dalam konteks psikologi sosial.

Kini, konvergensi simbolik tak hanya dikaji dalam komunikasi kelompok, tetapi juga berkembang hingga ke komunikasi politik di publik. Secara ringkas, terminologi konvergensi simbolik bisa kita rujuk dari tulisan John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions(1998), yang menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolik yang disebut visi retoris. Visi retoris ini menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi, ataupun paradigma berpikir.

Dalam konteks partai-partai menjelang Pemilu Presiden 2019, mereka berupaya menciptakan kesadaran umum di internal basis konstituen, dan struktur partai masing-masing, melalui visi retoris adanya agenda bersama memenangkan sosok baik capres maupun cawapres yang mengikat sentimen kesadaran kekitaan di antara mereka. Sosok capres potensial di 2019 personifikasinya ada di Jokowi sebagai petahana dan Prabowo Subianto sebagai penantang. Dua partai yang terasosiasi kuat dengan mereka adalah PDI Perjuangan dengan Jokowi dan Gerindra dengan Prabowo.

Di luar kedua partai tersebut, mau tidak mau harus membangun tema fantasi yang lain. Tema fantasi merupakan salah satu konsep penting dalam konvergensi simbolik. Bisa muncul dalam bentuk diskursus, baik dalam bahasa rasional maupun bahasa imajinatif yang dapat membangun kesadaran bersama melalui penyediaan makna, emosi, serta motif.

Tema fantasi, misalnya, hadir melalui sejumlah ikon figur utama partai. Sebagai contoh, Muhaimin Iskandar di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Agus Harimurti Yudhoyono di Partai Demokrat, Romahurmuziy di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Zulkifli Hasan di Partai Amanat Nasional (PAN), dan lain-lain. Mereka didorong naik ke permukaan, dibuat beresonansi di bursa cawapres. Tujuannya tentu selain publisitas juga membangun tema fantasi agar menjadi agenda bersama dan pengikat di internal sekaligus mencari peluang negosiasi dengan ragam kekuatan yang mulai terkonsolidasi di kubu Jokowi dan Prabowo.

Konsolidasi kekuatan

Ada tiga pertimbangan yang membuat kekuatan terkonsolidasi di dua poros pasangan, dan lainnya hanya memunculkan sosok cawapres. Pertama, modal elektoral figur. Sampai saat ini figur yang kuat elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitasnya adalah Jokowi dan Prabowo sehingga figur-figur lain menjadi realistis membaca peta ini, atau sedang memantau peluang terbukanya poros ketiga.

Kedua, ragam partai yang ramai-ramai mengonsolidasikan diri di petahana. Lima dari tujuh partai penyokong pemerintah saat ini sudah mendeklarasikan menjadi  barisan pengusung Jokowi, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura. Jika mengacu pada hasil Pemilu Legislatif 2014, dukungan kumulatif sementara pada Jokowi berkisar di angka 51,9 persen kursi DPR atau 52,21 persen suara. Ini berpotensi bertambah jika PKB, PAN, atau bahkan Demokrat jadi merapat.

Di luar kubu Jokowi, dua partai sudah mengonsolidasikan kekuatan menjadi penantang, yakni Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Koalisi kedua partai ini memenuhi syarat mengusung pasangan calon karena mencapai 20,1 persen kursi DPR. Di luar kedua poros, peta masih berpeluang dinamis seiring dengan  pergerakan arah atau bandul politik tiga partai yang hingga kini belum menentukan pilihan, yakni PKB, PAN, dan Demokrat.

Jika komunikasi politik di antara mereka berjalan menuju pemahaman bersama (mutual understanding), dan bersepakat mendinamisasi "panggung" capres 2019, dengan komposisi 27 persen kursi DPR atau 26,82 persen suara, masih memungkinkan terbentuknya poros ketiga. Meskipun, jika dilihat dari realitas kepentingan tiap-tiap partai, peluang terbentuknya poros ketiga sangat minim.

Ketiga, tren pemilih, artinya faktor yang berkembang di masyarakat. Banyak nama mulai beredar, diujicobakan di pasar pemilih. Ragam teknik persuasi masif dilakukan oleh banyak kalangan, menggadang-gadang nama jagoannya agar beresonansi di persepsi khalayak sekaligus mendapatkan "tempat" di calon pemilih.

Konsep pemasaran politik melalui media massa, media sosial, terjun langsung ke basis pemilih sangat intens dilakukan. Pendekatan "triple C concept", yaknicommunity relations (hubungan komunitas), community services(pelayanan komunitas), dan community empowerment (pemberdayaan komunitas), menjadi pilihan hampir semua tokoh yang berkeinginan maju menjadi capres ataupun cawapres.

Soal pendamping Jokowi, tak mudah mengambil nama dari daftar yang diajukan parpol. Rata-rata parpol menginginkan figur utamanya diambil Jokowi menjadi RI-2. Cawapres Jokowi hanya mungkin diambil dari kalangan parpol jika figurnya bisa diterima oleh semua mitra koalisi. Permasalahannya, hampir semua parpol punya perencanaan strategis di 2024 yang akan menjadi momentum peralihan generasi politisi pasca-Jokowi dan figur senior lainnya yang ada saat ini.

Dalam konteks inilah, peluang Agus Harimurti, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Romahurmuziy, dan juga Zulkifli Hasan untuk diambil Jokowi sebagai cawapresnya menjadi kecil mengingat resistensi yang akan muncul dari PDI Perjuangan. Jika mengalami kebuntuan (deadlock), sangat mungkin alternatif terbaiknya dari sosok profesional, atau mantan militer nonpolitisi, bisa juga teknokrat, dan figur lain di luar elite utama parpol penyokong. Nama Mahfudz MD, Moeldoko, Sri Mulyani Indrawati, dan sejumlah nama lain bisa berpotensi masuk bursa cawapres potensial di luar figur politisi. Sementara konvergensi simbolik di kubu Prabowo terutama adalah tema perubahan melalui pergantian kepemimpinan. Tema fantasinya, kemungkinan juga dikonstruksi melalui sosok cawapres yang bisa menjadi antitesis Jokowi, misalnya muda, pintar, santri, intelektual, rapi, dan menggairahkan pasar pemilih.