Laporan Global Education Monitoring 2016 menyatakan, dunia pendidikan mesti mengonstruksi kreativitas, pemi- kiran kritis, kerja sama, penguasaan teknologi informa- si dan komunikasi serta kemampuan literasi digital.
Masih menurut laporan itu, seorang guru harus memahami isu-isu mengenai HAM, kewarganegaraan global, pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, dan pendidikan perdamaian. Digital Dividens (2016) yang dirilis Bank Dunia juga menyebut beberapa kemampuan yang perlu disiapkan dunia pendidikan dewasa ini yaitu kemampuan kognitif, kemampuan sosial dan perilaku (behavioral), serta kemampuan teknikal. Pertama, kemampuan kognitif yang mencakup kemampuan literasi dan numerasi, serta kemampuan berpikir tingkat (high order cognitive skills).
Kedua, kemampuan sosial dan behavioral, mencakup keterampilan sosial emosional, keterbukaan, ketekunan, emosi yang stabil, kemampuan mengatur diri, keberanian memutuskan dan keterampilan interpersonal. Terakhir, kemampuan teknikal yang merupakan keterampilan teknis yang sesuai bidang pekerjaan yang akan digeluti, dan ini terkait dengan pendidikan vokasi.
Selain hal-hal yang disampaikan oleh dua laporan itu, yang juga patut menjadi perhatian adalah pemahaman memadai dari peserta didik terhadap isu-isu lokal yang ada di sekitar mereka. Jangan sampai anak didik memiliki cara pandang yang memadai mengenai dunia global tetapi melupakan lokalitas di sekitarnya. Kenal dunia luar tetapi tak mengenal tetangganya sendiri. Melupakan rumahnya, meninggalkan warisan budaya bangsanya, dan yang paling berbahaya jika sudah tak peduli terhadap nasib saudara sebangsanya.
Yang juga perlu menjadi perhatian bersama adalah masifnya penetrasi internet. Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017, ada 143,3 juta penduduk (54,7 persen) pengguna internet di Indonesia. Kemudahan ini membuat anak didik lebih cepat dapat informasi. Beragam informasi akan mudah didapat, hilir mudik di gawai masing-masing anak. Menjadi persoalan ketika anak didik ini tak memiliki kapasitas memadai dalam menyeleksi dan memilah informasi yang sesuai dengan perkembangan mereka. Atau informasi yang penuh narasi kebencian kepada pihak yang berbeda yang berusaha memecah belah bangsa.
Mengubah paradigma
Maka paradigma pembelajaran di ruang kelas tentu perlu diubah. Proses pembelajaran di kelas tidak bisa lagi melulu merujuk pada buku pelajaran yang itu-itu saja. Celaka apabila guru sampai enggan memperbarui pengetahuannya. Lebih celaka jika guru terus menerus mereproduksi pengetahuan masa lampau di depan anak didiknya dan mengulang materi lama yang sudah tak lagi relevan lagi di masa kini apalagi di masa depan. Guru tak bisa memosisikan diri sebagai sentral utama pembelajaran.
Freire (1972) mengkritik proses pendidikan yang memosisikan guru sebagai subyek yang selalu bercerita dan peserta didik sebagai obyek yang harus selalu patuh mendengarkan. Apalagi jika guru membicarakan realitas yang seolah-olah statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Peserta didik diposisikan layaknya bejana kosong yang mesti diisi sebanyak-banyaknya pengetahuan. Mereka harus pasrah menerima dan mencatat apa yang dianggap kebenaran oleh sang guru. Tak ada ruang interaksi dan juga dialog.
Sandeep Purao (2014) dalam Towards and Egalitarian Pedagogy for the Millenial Generation: A Reflection menyebut perlunya pedagogi egalitarian (an egalitarian pedagogy) dalam proses pendidikan dewasa ini. Berbeda dengan pedagogi tradisional yang memberi ruang besar bagi guru secara dominan untuk mengatur setiap proses pembelajaran, pedagogi egalitarian mengedepankan pembelajaran yang lebih partisipatif, terbuka, dan reflektif.
Pengarusutamaan pendidikan yang mengedepankan pedagogi egalitarian inilah yang mesti dilakukan setiap insan yang aktif di dunia pendidikan. Dalam konteks tersebut, aktor utama yang paling menentukan keberhasilan pedagogi egalitarian adalah guru. Di era kiwari, peran guru tetaplah krusial. Mereka adalah pion terdepan yang berhadapan secara langsung dengan kids zaman now dengan ragam karakteristiknya.
Berbeda dengan pedagogi tradisional yang memberi ruang besar bagi guru secara dominan untuk mengatur setiap proses pembelajaran, pedagogi egalitarian mengedepankan pembelajaran yang lebih partisipatif, terbuka, dan reflektif.
Untuk konteks pedagogi egalitarian yang harus diutamakan adalah dialog antara peserta didik dengan guru ataupun rekannya di kelas. Tak ada rasa canggung bagi peserta didik untuk menyatakan argumentasinya. Kondisi ini hadir ketika guru sebagai orang dewasa memosisikan anak didik sebagai kawan diskusi yang asyik. Atmosfer pembelajaran di kelas dibuat semenyenangkan mungkin, sehingga pembelajaran penuh dialog akan terjadi.
Praktik pedagogi egalitarian akan berdampak positif terhadap iklim demokratisasi di Indonesia, karena sejak awal anak didik terlibat secara aktif di arena pendidikan yang memosisikan mereka secara setara. Di situ mereka akan belajar arti sesungguhnya saling menghormati, toleransi atas perbedaan, dan juga kemampuan mendengarkan pendapat dari pihak yang berbeda pandangan. Mereka juga dihadapkan pada permasalahan keseharian yang butuh penyelesaian yang kreatif dan penuh solusi jitu. Bukan hanya sekadar gaduh berteriak. Ini akan jadi pembelajaran berharga bagi anak didik.
Praktik pedagogi egalitarian akan berdampak positif terhadap iklim demokratisasi di Indonesia, karena sejak awal anak didik terlibat secara aktif di arena pendidikan yang memosisikan mereka secara setara.
Di level implementatif, misalnya, semangat pedagogi egalitarian nampak betul dalam praktik-praktik pendidikan yang dilakukan almarhum Romo Mangun. Ia menyebut pendidikan akan mengantar dan menolong peserta didik mengenali potensi diri agar menjadi manusia mandiri, dewasa, dan utuh. Manusia yang merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain. Upaya ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk meraih kemanusiaan yang sejati (Y Sari Jatmiko, 2008).
Dalam konteks tersebut, peserta didik diberi ruang besar untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya. Melalui praktik-praktik langsung di ruang-ruang kelas mereka tak akan canggung ketika berhadapan dengan masalah di dunia nyata ketika mereka lulus nanti. Mengapa harus guru yang menjadi pion terdepan? Sebab, bagaimanapun dalam konteks masyarakat Indonesia mereka adalah teladan yang menjadi rujukan bagi anak-anak didiknya maupun masyarakat di sekitarnya.
Dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara, sang mahaguru pendidikan di republik ini, guru harus menjadi pamong yang menuntun proses pengembangan potensi anak didik. Peserta didik merupakan subyek yang harus memiliki ruang seluasnya untuk melakukan eksplorasi secara kreatif, mandiri dan bertanggung jawab (St Sularto, 2016). Momong, among, ngemong adalah sistem yang masih sangat relevan dengan kondisi kekinian dan sesuai semangat pedagogi egalitarian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar