Kajian akademik mengisyaratkan bahwa anomali hukum negara tersebut berlangsung karena dua sebab. Pertama, penggunaan akal berlebihan, didorong nafsu politik, sehingga melampaui batas-batas moralitas. Kedua, semakin menguatnya watak "aku" di kalangan pemegang kekuasaan dalam pengelolaan negara.
Dihadapkan pada anomali hukum negara tersebut, ada baiknya optik filsafat digunakan untuk menerawang realitas sebenarnya. Dengan cara pandang filsafati ini diharapkan persoalan anomali hukum negara dapat dipahami sejak akar-akarnya dan sekaligus dapat diprediksi pula muaranya.

Pada ranah filsafat dikenal aliran rasionalisme. Tokoh utamanya Rene Descartes. Ujaran amat terkenal filsuf ini: "Cogito Ergo Sum". Artinya, "aku berpikir maka aku ada". Pada ujaran ini, watak "aku" terasa amat ditonjolkan. "Aku" di sini dapat bermakna sebagai pribadi, sebagai kelompok, sebagai partai, ataupun sebagai golongan. Oleh Descartes diingatkan bahwa siapa pun sebagai  "aku", dan ingin agar eksistensi, posisi, dan rekognisi atas dirinya diapresiasi pihak lain, maka perlu ada usaha sungguh-sungguh.

Usaha-usaha itu dimulai dengan penggunaan akal. Proses penggunaan akal disebut berpikir. Maka, berpikir menjadi amat sentral dalam kehidupan. Manusia harus berpikir, berpikir, dan berpikir. Dari olah akal atau berpikir, akan muncul sikap dan perilaku rasional, dapat dipertanggungjawabkan kepada akal.


Rasionalisme, di alam modern, tampil sebagai aliran filsafat yang amat disegani. Rasio ditempatkan di atas segala-galanya. Berdasarkan rasio itulah maka hukum negara modern dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan. Berdasarkan rasio pula, apa yang disebut ketertiban dan kepastian hukum diunggulkan atas keadilan. Keadilan, yang dalam filsafat hukum klasik selalu dipandang sebagai inti, roh, atau moralitas hukum,  di alam modern dimarjinalkan.

Orientasi hukum negara modern bukan untuk keadilan, melainkan ketertiban, kepastian hukum, dan stabilitas kekuasaan. Kalaupun saat itu orang bicara soal keadilan, konsepsinya sebatas keadilan formal (berdasarkan perundang-undangan), bukan keadilan substansial. Moralitas hukum pun diukur dari teks perundang-undangan, bukan berdasarkan hati nurani ataupun wawasan kebangsaan.

Penggunaan akal yang tak konsisten

Pembaruan UU MD3 dan KUHP, bila dianalisis berdasarkan rasionalisme, ditemukan indikasi ada ketidakkonsistenan konseptor dan pihak-pihak pembahas dalam penggunaan akal. Terindikasikan nafsu politik lebih dominan daripada kendali hati-nurani.  Akibatnya, pada kedua UU tersebut dihasilkan pasal-pasal bermasalah, yang dapat difungsikan sebagai "pedang dan tameng" penguasa. Pasal-pasal itu rawan digunakan untuk "membabat, membacok, dan melukai" pengkritik penguasa. Akademisi, jurnalis, aktivis, budayawan, agamawan, dan komunitas lain sejenis, sungguh sangat rentan terkena sabetan hukum negara (pedang penguasa).

Pasal-pasal bermasalah itu, potensial merusak keharmonisan hubungan penguasa-rakyat. Kesan penonjolan watak "aku" sebagai penguasa, sulit diterima akal sehat dan hati nurani rakyat.  Pasal-pasal bermasalah akan memicu berseraknya "titik-titik api" konflik vertikal.
Bila pasal-pasal itu tak segera dibenahi, ke depan diprediksi suasana kehidupan bernegara semakin panas dan mencekam. Konflik vertikal pun kian manifes. Kalaupun komunitas tertentu dapat ditekan sehingga diam, tentu  diamnya karena keterpaksaan, dan bukan kesadaran. Karena itu tidak boleh diremehkan. Diamnya "tunas bangsa" ibarat api dalam sekam. Suatu ketika bisa membara dan membakar kezaliman.

Para cendekiawan dan ulama telah mengingatkan, ketika: "aku-anda, kami-kamu, kita-mereka" memenuhi rongga jiwa bangsa, maka makna negara kekeluargaan akan sirna, dan serta merta tergantikan paham negara liberal-individualistik. Pada tipe negara yang disebut terakhir, warga negara rentan dikorbankan, diasingkan, dikriminalisasikan oleh penguasa. Mereka itulah warga negara yang digolongkan sebagai ekstremis, radikalis, teroris, atau komunitas sejenis lainnya.

Sungguh ironis dan tragis bila ada warga negara dikorbankan demi kepentingan politis penguasa. Ini sangat kontras dan berlawanan dengan tujuan negara yang terpateri pada Pembukaan UUD 1945. Bahwa salah satu kewajiban pemerintah adalah "… melindungi segenap bangsa …". Kita cegah, jangan sampai semboyan "Le'etat c'est moi" (negara adalah aku), negara otoriter, bermetamorfosa di negeri ini.

Pada negara hukum Indonesia peran pemerintah bukan sebagai penjaga malam (nachtwakersstaat). Bukan pula sebagai penjaga ketertiban, ataupun pelestari kekuasaan. Kewajiban pemerintah adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, maka kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan mengkritik – selagi dilakukan dengan etis, sesuai moralitas Pancasila, tidak boleh dihalang-halangi.

Kewajiban pemerintah adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, maka kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan mengkritik – selagi dilakukan dengan etis, sesuai moralitas Pancasila, tidak boleh dihalang-halangi.

Dirinci ke dalam aktivitas kebangsaan, maka tanggung jawab pemerintah harus mencakup: (1) menjamin terwujudnya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak asasi dan hak-hak konstitusional warga negara; (2) menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) semua warga negara; (3) mempermudah aktualisasi diri sebagai bangsa agar dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain; (4) memajukan budaya hukum dan aktivitas sosial-keagamaan demi terwujudnya karakter bangsa yang komunalistik-religius.