Presiden Joko Widodo menunjuk dan melantik Kepala Badan Narkotika Nasional Inspektur Jenderal Heru Winarko, menggantikan Komisaris Jenderal Budi Waseso.
Buwas—demikian Budi Waseso biasa dipanggil—pensiun per 28 Februari 2018. Semasa menjabat Kepala BNN, Buwas menggebrak peredaran narkoba (narkotika dan obat-obatan berbahaya) di Indonesia yang sejak tahun 1971 disebut telah memasuki tahap darurat. Terakhir, Buwas mengungkap praktik perdagangan narkoba dan pencucian uang yang mencapai Rp 6,4 triliun. Apresiasi harus diberikan untuk itu.
Publik punya harapan yang sama kepada Heru. Mungkin beberapa orang bertanya mengapa Heru yang dipilih sebagai Kepala BNN, bukan sosok lain yang punya rekam jejak yang jelas soal penanganan narkoba. Pertanyaan itu wajar. Namun, ketika Presiden Jokowi telah memilih dan memutuskan, layaklah dukungan kritis konstruktif diberikan kepada Heru yang sebelumnya menjabat Deputi Penindakan KPK.
Sebelumnya ada tiga nama yang diajukan untuk menggantikan Buwas, yakni Kepala Badan Reserse Kriminal Komjen Ari Dono Sukmanto, Deputi Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari, dan Irjen Heru Winarko. Dari ketiga nama itu, Presiden Jokowi memilih dan melantik Heru, lulusan Akademi Kepolisian tahun 1985. Pilihan Presiden itu haruslah dihormati.
Kita berharap Heru meneruskan tindakan keras kepada bandar dan pengedar narkoba seperti yang telah ditunjukkan Buwas. Bisnis narkoba adalah bisnis besar. Puluhan triliun rupiah uang beredar di balik bisnis narkoba. Banyak oknum aparat yang menjadi kaki tangan pengedar narkoba.
Model baru narkoba berkembang pesat, sementara laboratorium BNN ketinggalan untuk mendeteksi narkoba jenis baru. Uang bisa membeli segalanya demi dan untuk tetap melanggengkan bisnis narkoba di Indonesia. Sinyalemen BNN menunjukkan Indonesia menjadi pusat uji coba narkoba jenis baru.
Situasi itulah yang akan dihadapi Kepala BNN yang baru. Retorika pemerintah sangat keras untuk memberantas peredaran narkoba. Pidato Presiden dalam peringatan Hari Antinarkotika Internasional keras. Dari tidak mengampuni pengedar narkoba, tidak memberikan grasi kepada bandar narkoba, sampai menembak mati pengedar narkotika. Namun, retorika tetap retorika. Kenyataannya, dari tahun ke tahun, sejak tahun 1971, Indonesia tetap dalam situasi darurat narkoba. Grasi juga tetap diberikan kepada pengedar narkoba.
Peta jalan pemberantasan narkoba inilah yang harus disusun bangsa ini. Narkoba merupakan ancaman selain korupsi. Siapa sebenarnya "komandan" pemberantasan narkoba dan yang memiliki tanggung jawab menyusun peta jalan dan mengeksekusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar