Ketua KPK Agus Rahardjo baru-baru ini menyatakan pihaknya akan mengumumkan beberapa calon kepala daerah yang ikut dalam Pilkada 2018 sebagai tersangka kasus korupsi. Seminggu sebelumnya, pernyataan serupa ia sampaikan dalam Rapat Kerja Teknis Polri di Jakarta.

Pemerintah, melalui Menko Polhukam, kemudian menanggapi pernyataan Ketua KPK itu setelah rakorsus penyelenggaraan Pilkada 2018. Pemerintah meminta KPK untuk menunda rencana pengumuman tersangka, dengan alasan pengumuman tersebut akan mengganggu pilkada. Selain itu, rencana KPK tersebut dipandang masuk ranah politik.

Penegakan hukum, termasuk dalam melawan korupsi, membutuhkan prinsip yang melindunginya dari kemungkinan buruk penyelewengan kewenangan dan tindakan-tindakan tak etis.

Tiga larangan

Dalam Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK, memang tidak ditemukan pasal yang jelas mengatur pernyataan pimpinan KPK itu sebagai larangan atau tidak. Hanya ada tiga bentuk larangan yang tak boleh dilanggar oleh pimpinan.

Pasal 36 tegas melarang tiga hal. Pertama, pimpinan dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan kasus yang sedang ditangani KPK.

Kedua, pimpinan tidak boleh menangani perkara yang pelakunya memiliki hubungan sedarah atau semenda dengan para pemimpin.

Ketiga, pimpinan dilarang menduduki jabatan tertentu, seperti komisaris dan direktur suatu perseroan, organ yayasan, serta pengawas atau pengurus koperasi.
Berdasarkan Pasal 36 UU Nomor 30/2002, sekilas tampak tidak ada yang salah dengan pernyataan Ketua KPK. Memberi bocoran kepada masyarakat soal penetapan calon koruptor tidak ditentukan oleh undang-undang sebagai sebuah larangan. Akan tetapi, jika pernyataan itu dipotret dari prinsip penegakan hukum, hasilnya akan lain.

Penegakan hukum, termasuk dalam melawan korupsi, membutuhkan prinsip yang melindunginya dari kemungkinan buruk penyelewengan kewenangan dan tindakan-tindakan tak etis. Setiap institusi penegakan hukum memiliki prinsip masing-masing. Secara umum, misalnya, di lingkup kepolisian dikenal The Peelian Principles.

Sir Robert Peel, Perdana Menteri Kerajaan Inggris (1834-1835 dan 1841-1846), ketika menjabat sebagai Home Secretary untuk kedua kali (1828-1830), memodernisasi Kepolisian Inggris dan Wales. Salah satu kebijakan yang diambil pada 1829 adalah dengan mencetuskan sembilan prinsip yang harus dipegang teguh oleh kepolisian. Peel meyakini bahwa kepolisian mendapatkan kekuasaan dari masyarakat meski ia berada di bawah negara.

Prinsip Peel menuntun bagaimana seharusnya lembaga kepolisian menjalankan tugasnya. Sebagai contoh, penulis mengambil prinsip pertama dan kelima dari ajaran Peel.

Prinsip pertama menekankan tujuan dasar dari eksistensi kepolisian adalah untuk mencegah kejahatan. Adapun prinsip kelima mengarahkan agar kepolisian konsisten melayani publik, tetapi tidak untuk memuaskan nafsu publik. Pelayanan dilakukan dengan batasan-batasan yang diatur oleh hukum.

Sikap penegak hukum

Berdasarkan Prinsip Peel, penegak hukum tidak bisa seenaknya mengeluarkan sikap, kata-kata, dan keputusan yang berpotensi memicu kontroversi di masyarakat. Bahkan cenderung dilarang.

Penegak hukum dicegah terutama untuk memenuhi nafsu atau kepentingan kelompok tertentu. Kalaupun terpaksa bertindak kontroversial, perlu pertimbangan matang dan cermat.

Walaupun diterapkan untuk lembaga kepolisian, nilai-nilai Prinsip Peel tepat juga diterapkan ke lembaga penegak hukum lain, seperti kejaksaan, komisi antikorupsi, dan lembaga-lembaga audit negara. Setiap penegak hukum dibatasi oleh prinsip-prinsip yang menjaga marwahnya. Jangan sampai pimpinan selip bicara, lembaga yang tergelincir.

Dari sudut pemberantasan korupsi, pernyataan Ketua KPK soal pengumuman calon koruptor secara tidak langsung bisa membuat para koruptor yang merasa terancam akan ditangkap KPK segera lari ke luar negeri sebelum statusnya diumumkan. Mudah-mudahan, ini sudah menjadi bagian dalam pertimbangan.

Tak tepat

Pernyataan KPK kepada khalayak tentu tak bisa lagi dicabut. Walaupun begitu, sikap pemerintah melalui Menko Polhukan dengan meminta penundaan pengumuman calon kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi merupakan sikap yang tidak tepat.

Sekurang-kurangnya ada tiga alasannya. Pertama, ukuran penegakan hukum dan pelaksanaan pilkada jelas jauh berbeda. Penegakan hukum diukur dengan aturan-aturan yang telah baku di ranah hukum. Begitu juga sebaliknya, pelaksanaan pilkada juga mempunyai ukuran-ukurannya sendiri.

KUHAP mengatur penetapan tersangka didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, baik secara administratif-formil maupun substansial-materil.

Begitu telah lengkap bukti permulaan, sejak itulah penegak hukum seharusnya mengumumkan penetapan tersangkanya. Jadi, sama sekali tidak tergantung pada tata urut waktu perhelatan pilkada.

Kedua, jika dilihat dari sudut informasi yang perlu diterima oleh pemilih, pengumuman tersangka sebelum pencoblosan suara di pilkada akan berdampak positif dalam hal mencari pemimpin bersih. Masyarakat disuguhi keterangan yang valid dari sumber tepercaya tentang kualitas calon kepala daerahnya.

Berdasarkan keterangan tersebut, masyarakat akan membuat penilaian-penilaian yang rasional atas calon kepala daerah sebelum melangkah ke bilik suara dan mencoblos pilihannya.

Permintaan pemerintah supaya KPK menunda pengumuman tersangka justru akan menghentikan kesempatan publik untuk mendapatkan referensi yang presisi tentang bersih tidaknya calon pemimpin di daerahnya.

Jika pengumuman calon koruptor ditunda karena memenuhi kemauan pemerintah, hal itu sama saja memadamkan api pengawasan di publik. Padahal, tak gampang menyulut kembali keberanian warga.

Sisi Positif

Selanjutnya, pengumuman tersangka juga dipercaya mampu menghentikan praktik politik uang. Logikanya demikian. Begitu calon kepala daerah lain—di luar yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi—mendengar pengumuman itu, ia bakal berpikir seribu kali untuk melakukan "serangan fajar". Alih-alih memperoleh suara, jika kelakuan praktik politik uang itu tercium aparat penegak hukum, hasilnya bukan eskalasi suara, melainkan jeruji besi.

Ketiga, pernyataan Ketua KPK menguatkan semangat publik untuk turut serta melawan pemberantasan korupsi dan praktik-praktik lancung, terlebih di pilkada.

Semua proses pilkada dipantau oleh penyelenggara dan penegak hukum. Barisan rapi para pengawas menjadi parade yang dapat meningkatkan semangat dan keberanian masyarakat dalam memantau, mencatat, dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran pemilu. Api pengawasan telah dinyalakan.

Jika pengumuman calon koruptor ditunda karena memenuhi kemauan pemerintah, hal itu sama saja memadamkan api pengawasan di publik. Padahal, tak gampang menyulut kembali keberanian warga.

Pemilihan tidak boleh diselenggarakan di ruang yang remang-remang. Cahaya harus tetap dinyalakan untuk mengusir kegelapan informasi pemilihan calon kepala daerah.

Pernyataan Ketua KPK menyimpan berkah yang tersembunyi berupa dorongan untuk bersama-sama memberantas korupsi. Akan tetapi, dalam pemberantasan korupsi, blessing in disguise tidak akan sering muncul dan tidak boleh dijadikan patokan.

KPK harus mengetatkan kembali implementasi kode etiknya. Tidak lagi mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Komisi ini adalah lembaga penegak hukum, bukan perusahaan infotainment. Ia harus beroperasi dalam senyap. Karena memang begitulah seharusnya penegak hukum bekerja.