Salah satu ketentuan yang dinilai kontroversial adalah dimasukkannya tindak pidana atau delik korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUUHP). Dalam draf RUUHP tertanggal 2 Februari 2018, ketentuan mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 687-706. Sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diadopsi langsung di RUUHP. Dalam naskah rancangan regulasi ini setidaknya ada enam pasal serupa Pasal 2, 3, 5, 11, dan 12 UU Tipikor (Kompas, 12/2). Selain itu, DPR dan pemerintah—yang diwakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia— juga berupaya memasukkan beberapa jenis korupsi yang tertuang dalam Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) ke dalam RUUHP.

Keempatnya adalah tindak pidana memperdagangkan pengaruh (trading in influence), tindak pidana penyuapan di sektor swasta (bribery in the private sector), tindak pidana memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment), dan tindak pidana penyuapan pejabat publik asing dan pejabat publik organisasi internasional.
Sebelum proses pembahasan RUUHP dilanjutkan, DPR dan pemerintah sebaiknya memperhatikan konsekuensi yang akan terjadi apabila delik korupsi dipaksakan masuk ke dalam RUUHP.
Pertama, menjadikan korupsi sebagai kejahatan biasa dan tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa. Kejahatan korupsi akan dinilai sama dengan kejahatan biasa lain, seperti pencurian, perzinaan, atau kesusilaan.

Hal ini jelas bertentangan dengan semangat UNCAC yang tak lagi menggolongkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan luar biasa karena merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Kedua, keberadaan delik korupsi yang diatur sebagian dalam UU KUHP dan sebagian lagi dalam UU Tipikor hanya akan menimbulkan dualisme pengaturan delik korupsi. Selain dualisme, juga berpotensi menimbulkan kerancuan karena adanya asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori yang artinya peraturan paling baru akan melumpuhkan peraturan lama.

Ketiga, DPR dan pemerintah dapat dinilai tidak konsisten dalam menjalankan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019. Dalam prolegnas disebutkan, selain RUUHP, terdapat revisi UU Tipikor yang juga menjadi prioritas pembahasan. Sayangnya, revisi UU Tipikor belum pernah dibahas DPR dan pemerintah hingga saat ini.
Akibatnya, selain tidak konsisten, DPR dan pemerintah bahkan dapat dinilai tidak memiliki komitmen antikorupsi karena tidak memprioritaskan rancangan regulasi yang mendukung upaya pemberantasan korupsi.

WAHYUANDRIE

.

Memangkas kewenangan penindakan KPK
Keempat, mengancam keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RUUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, kenyataannya justru sebaliknya, memangkas kewenangan penindakan KPK. Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi tidak lagi berlaku jika RUUHP disahkan.

Kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor. Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada kejaksaan dan kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan.

Selain KPK, institusi lain seperti Pengadilan Tipikor juga berpotensi tidak berdaya jika delik korupsi masuk dalam RKUHP. Pasal 6 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
Dengan demikian, jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP, kasusnya tak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum.
Banyak pihak yang mencurigai bahwa pengaturan delik korupsi dalam RUUHP merupakan bagian sistematis untuk melemahkan KPK. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan karena sebelumnya DPR secara nyata berupaya mengganggu kerja KPK melalui Pansus Hak Angket untuk KPK. DPR juga berulang kali berupaya merevisi UU KPK yang substansinya justru mereduksi kewenangan lembaga antikorupsi ini.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

MK Tolak Gugatan Hak Angket KPK – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo (kedua dari kanan) dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kedua dari kiri) mengikuti sidang uji materi penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (8/2). MK menyatakan hak angket KPK yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat adalah sah.

Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, sudah selayaknya DPR dan pemerintah membatalkan pengaturan delik korupsi ke dalam RKUHP. Untuk mencegah tuduhan pelemahan terhadap KPK dan efektivitas pengaturannya, akan lebih baik jika DPR dan pemerintah mengakomodasi usulan perubahan maupun penambahan delik korupsi dalam revisi UU Tipikor dan tidak memaksakan dicantumkan meskipun terbatas dalam RUUHP.

DPR dan pemerintah juga sebaiknya memperhatikan masukan dari KPK yang sejak tahun 2014 menyatakan menolak pengaturan delik korupsi dalam RUUHP. Penolakan KPK sebagai salah satu pemangku kepentingan menjadi penting untuk didengar karena lembaga ini telah terbukti efektif menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Apalagi Pasal 88 Ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebutkan bahwa rancangan peraturan harus disebarluaskan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat untuk mendapat masukan.