Musim hujan saat ini memang memicu bencana alam di beberapa daerah, termasuk banjir dan tanah longsor. Bencana alam sudah seiring dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Posisi Indonesia yang berada dalam rangkaian cincin api atau pegunungan aktif dunia, menjadi faktor lain. Indonesia juga subduksi atau pertemuan tiga lempeng dunia: lempeng Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Maka tidak hanya banjir dan longsor, Indonesia juga menjadi daerah rawan gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Selain gunung meletus sebagai akibat langsung bencana gunung api, tak kalah penting adalah bencana sampingan berupa banjir bandang yang membawa lahar dingin dan dapat merusak tanaman penduduk.
Ragam kebencanaan
Tidak hanya gunung api, daerah subduksi pun sampai sekarang masih aktif. Jika gempa terjadi di daratan maka potensi kerusakannya luar biasa. Jika gempa terjadi di laut maka bisa berpotensi tsunami seperti di Aceh tahun 2004.
Saat ini, dengan perubahan hidrometeorologi dunia, bencana terjadi kian sering dan bervariasi. Tidak hanya banjir dan banjir bandang, tetapi juga kekeringan dan cuaca ekstrem berupa angin puting beliung, abrasi, gelombang tinggi, serta dan kebakaran lahan dan hutan.
Meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti meningkatnya kawasan permukiman, membuat bencana alam berpotensi menjadi bencana antropogenik dengan pemicu manusia.
Semakin menariknya Indonesia sebagai tujuan investasi global serta meningkatnya intensitas keluar masuk manusia, berpotensi meningkatkan penularan berbagai penyakit. Pesatnya pertumbuhan industri dan pembangunan semakin menambah potensi bencana antropogenik.
Data dari BNPBP tahun 2017 menunjukkan bahwa kejadian bencana telah meningkat signifikan dalam dekade terakhir. Pada kurun waktu tersebut Indonesia dilanda 11.274 kejadian bencana yang telah menelan 193.240 korban jiwa. Total kerugian minimal Rp420 triliun.
Terus meningkat
Kejadian bencana itu antara lain gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias (2004), gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa bumi Sumatera Barat (2007), banjir Jakarta (2007), gempa bumi Bengkulu (2007), gempa bumi Sumatera Barat (2009), tsunami Mentawai (2010), banjir bandang Wasior (2010), erupsi Gunung Merapi (2010), lahar dingin Gunung Merapi (2011), serta banjir Jakarta (2012, 2013 dan 2014), erupsi Gunung Sinabung (2013, 2014), erupsi Gunung Kelud (2014), Tanah longsor di Banjarnegara (2016) dan yang terbaru tanah longsor di kecamatan Salem Kabupaten Brebes (2018).
Diperkirakan dalam lima tahun mendatang, bencana meningkat dengan adanya permasalahan : fenomena geologi yang semakin dinamis, perubahan iklim yang semakin ekstrem, peningkatan degradasi lingkungan, dan bonus demografi yang tidak terkelola dengan baik.
Berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia tahun 2013, jumlah penduduk yang terpapar oleh potensi bencana adalah sebanyak 205 juta jiwa. Berdasarkan hasil evaluasi penanggulangan bencana di Indonesia 5 (lima) tahun terakhir dari National Assessment Report (NAR) 2013 diidentifkasi adanya kendala-kendala sebagai berikut: (1) koordinasi dalam penyadaran masyarakat rentan bencana; (2) sinkronisasi kebijakan vertikal (pusat dan daerah); (3) pengurangan risiko bencana (PRB) belum menjadi isu strategis Pemerintah; (4) ketidakpastian anggaran penanggulangan bencana di daerah; (6) masih lemahnya penegakan hukum terkait penanggulangan bencana.
Melihat kondisi tersebut dapatlah dikatakan bahwa Indonesia sangat akrab dengan bencana alam. Bencana alam yang terjadi bisa saja itu murni kehendak yang maha kuasa. Bisa saja ada campur tangan tingkah laku manusia yang tidak mau bersahabat dengan alam.
Dengan seringnya bencana alam yang dihadapi oleh Indonesia, maka perlu dipikirkan solusi pencegahan untuk meminimalisasi jumlah korban. Bencana alam sebenarnya bisa diantisipasi dengan membaca perilaku alam. Terkadang manusia tidak peduli ketika alam sudah mengingatkan. Masyarakat baru geger ketika bencana alam sudah menelan banyak orang.
Antisipasi yang bisa dilakukan adalah melalui pembelajaran kebencanaan dengan kurikulum tersendiri. Pembuatan kurikulum kebencanaan sesuai dengan Nawacita kedelapan yaitu "Merevolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia".
Kurikulum kebencanaan
Nawacita kedelapan bisa dimaknai bahwa berkaitan dengan kebencanaan maka merevolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional untuk mengembangkan budaya aman bencana, melalui penerapan kurikulum kebencanaan, Sekolah/Madrasah Aman Bencana, pengembangan Iptek dalam kebencanaan. Kurikulum yang dimaksud saya sebut dengan kurikulum kebencanaan.
Materi kebencanaan sebaiknya menjadi materi muatan lokal sendiri yang tidak menambahi jumlah jam belajar anak.
Gagasan kurikulum ini adalah untuk membelajarkan masyarakat akan faktor kebencanaan yang terjadi pada lingkungan sekitar. Tujuannya adalah biar mereka mampu mengantisipasi dan meminimalisasi kerusakan dan korban kebencanaan.
Kurikulum kebencanaan yang diterapkan pada satuan pendidikan, mengacu pada persiapan anak didik untuk memahami dan mempersiapkan diri akan adanya potensi bahaya kebencanaan di sekitarnya. Kurikulum seyogianya kurikulum kearifan lokal, yang dalam dunia pendidikan disebut muatan lokal.
Kurikulum kebencanaan sebaiknya tidak membebani jumlah jam belajar. Kurikulum kebencanaan juga janganlah hanya sebuah materi sisipan pada mata pelajaran tertentu. Materi kebencanaan sebaiknya menjadi materi muatan lokal sendiri yang tidak menambahi jumlah jam belajar anak. Kurikulum kebencanaan menjadi materi tersendiri, mengingat kebencanaan di Indonesia adalah hal keniscayaan. Kebencanaan masuk muatan lokal karena setiap daerah memiliki karakteristik kebencanaan sendiri sendiri sesuai dengan spesifikasi wilayahnya
Sesuai kondisi
Contohnya adalah ketika suatu daerah lebih banyak didominasi pegunungan, maka materi kebencanaan dititikberatkan pada kebencanaan kegunungapian.
Pada daerah rawan longsor, materi dititikberatkan pada kebencanaan tanah longsor. Struktur kurikulum dibuat dengan menitik beratkan pada pengetahuan kebencanaan serta sikap dan perilaku terhadap lingkungan.
Kurikulum kebencanaan juga dapat dibuat untuk masyarakat umum. Justru ini sangat penting mengingat justru perilaku orang dewasa yang langsung tidak langsung memengaruhi kualitas lingkungan dan kebencanaan.
Praktik penyelamatan terhadap bencana seperti peringatan dini, evakuasi sampai persiapan logistik. Selain praktik kebencanaan, juga perlu materi penyadaran bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa alam sekitarnya.
Kearifan lokal untuk kurikulum kebencanaan dapat mengacu pada perilaku masyarakat sekitar untuk melestarikan sumber daya alam. Misalnya kesepakatan masyarakat adat menjaga sumber air dengan cara nyadran. Kearifan lokal seperti itu sekarang tidak menarik karena dianggap takhayul. Maka yang perlu dielaborasi adalah makna yang bagus untuk menyayangi dan melindungi tempat tersebut.
Kurikulum kebencanaan juga dapat dibuat untuk masyarakat umum. Justru ini sangat penting mengingat justru perilaku orang dewasa yang langsung tidak langsung memengaruhi kualitas lingkungan dan kebencanaan.
Materi kebencanaan untuk masyarakat umum bisa bersifat kompleks mulai dari sikap kesadaran untuk menjaga alam hingga pengetahuan kebencanaan itu sendiri. Selain itu perlu ada praktik simulasi penyelamatan jika terjadi bencana.
Materi bisa diberikan di sela kegiatan di desa, rapat, atau lewat sosialisasi kebencanaan. Mengingat posisi Indonesia di daerah rawan bencana, sangat diperlukan pembekalan kebencaanaan melalui kurikulum yang terintegrasi dengan semua unsur penanggulangan kebencanaan.
Semoga bencana yang terjadi dapat diantisipasi dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar