KOMPAS/PRIYOMBODO

Buah sawit dari kelompok kerja sawit dipamerkan dalam acara Jakarta Food Security Summit ke-4 di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Kamis (8/3).

Indonesia tidak boleh lengah menghadapi kecenderungan global kembali ke arah proteksionisme perdagangan. Kemampuan melobi sangat penting.

Salah satu contoh kembalinya proteksionisme adalah hambatan sejumlah negara terhadap ekspor minyak sawit mentah (CPO) Indonesia. Hambatan bukan dalam bentuk tarif karena Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melarang praktik itu.

Bentuk hambatan nontarif yang digunakan banyak ragamnya, mulai dari yang bersifat obyektif hingga melindungi produk dan pekerja dalam negeri karena kalah bersaing.

Alasan yang digunakan, antara lain, persyaratan higienis dan sanitasi, misalnya untuk ekspor produk makanan segar. Ada yang menggunakan alasan perlindungan dari ancaman terorisme, seperti diterapkan AS. Ada pula karena alasan melindungi budaya dan petani, seperti Jepang untuk impor beras. Ada pula yang menggunakan alasan dumping, melepas produk dalam negeri yang disubsidi pemerintah ke pasar internasional sehingga terjadi persaingan dagang tak sehat.

Upaya menghambat ekspor CPO Indonesia sudah ada setidaknya sejak dua dekade lalu. Penolakan disuarakan oleh organisasi nonpemerintah, asosiasi petani produsen minyak nabati, atau anggota legislatif yang mewakili para produsen.

Namun, dalam kurang dari 10 tahun terakhir kecenderungan di banyak negara untuk memproteksi pasar dalam negeri semakin menguat setelah selama beberapa dekade sebelumnya dunia berada dalam rezim globalisasi yang membuat arus barang dan jasa bebas melintasi batas-batas negara.

Kecenderungan menghambat arus impor tidak terlepas dari kenyataan bahwa globalisasi dan liberalisasi ekonomi membuat sebagian besar anggota masyarakat tidak menikmati manfaat globalisasi yang dirasakan sangat sedikit orang. Ketimpangan kemakmuran tersebut oleh sejumlah pengamat ekonomi dan politik diyakini menjadi penyebab munculnya nasionalisme yang salah satu wujudnya adalah hambatan terhadap impor.

Alasan yang sering digunakan untuk menghambat produk CPO Indonesia adalah perambahan hutan yang merusak lingkungan, mendorong pemanasan global, merusak keragaman hayati, dan melanggar hak asasi manusia. Indonesia berhasil menang di WTO dengan membuktikan pengenaan tarif bea masuk tinggi pada CPO merupakan diskriminasi perdagangan.

Meski kali ini menang, ke depan kita perlu memperbaiki tata kelola hutan dan perkebunan sawit untuk mencari keseimbangan antara kepentingan petani kecil dan pengusaha raksasa, mengambil manfaat dari kekayaan alam sekaligus ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan menghadapi pemanasan global serta memelihara keragaman hayati, karena alam membutuhkan keseimbangan agar kehidupan dapat berkelanjutan.