Hasil kesepakatan itu adalah, selama periode transisi dari Maret 2019 sampai Desember 2020, Inggris akan tetap diperlakukan sebagai anggota UE, tetapi tanpa hak suara. Inggris tetap bisa melakukan semua aktivitasnya sama seperti ketika menjadi anggota UE, tetapi di saat bersamaan Inggris juga bisa melakukan "negosiasi, menandatangani, dan meratifikasi kesepakatan internasional" dengan pihak ketiga secara mandiri.

Bagi Inggris, kesepakatan ini bermakna besar, terutama terkait masalah perdagangan. Kalangan bisnis Inggris akan memiliki waktu selama 21 bulan untuk mempersiapkan diri sampai Inggris total lepas dari UE. Hanya saja, Inggris tidak bisa melakukan kesepakatan dagang baru sampai periode transisi berakhir, kecuali memperoleh izin dari 27 anggota UE lainnya.

Konsesi yang diberikan UE kepada Inggris ini bukan tanpa imbalan. UE berhasil memenangi negosiasi, bahwa semua warga UE yang datang ke Inggris selama masa transisi akan dijamin hak-haknya, seperti yang berlaku saat ini, termasuk hak untuk bermukim dan bekerja. Selain itu, semua warga UE yang berada di Inggris juga akan dilindungi oleh undang-undang UE.

Menurut rencana, kedua pihak akan memasuki tahap paling krusial, yaitu negosiasi soal perdagangan awal April ini. Hambatan terbesar adalah soal perbatasan Irlandia Utara. Seperti kita ketahui, berdasarkan kesepakatan damai Jumat Agung 1998 antara Inggris dan milisi Irlandia Utara, tak ada penempatan militer Inggris di perbatasan (hard border) antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia. Namun, ketika Inggris keluar dari UE, hal ini menjadi isu pelik.

London menjadikan isu perbatasan ini sebagai "senjata" untuk meraih konsesi sebesar-besarnya terkait akses perdagangan bebas. Namun, UE juga tidak mau mundur. UE menuntut isu ini tuntas lebih dulu sebelum perundingan masalah perdagangan.

Sejauh ini, posisi UE sedikit di atas angin karena London menjanjikan ada backstop(kesepakatan penyokong) terkait isu perbatasan. Yaitu, seandainya kesepakatan dagang antara Inggris-UE gagal, atau bahkan negosiasi Brexit pada akhirnya gagal total, masalah perbatasan Irlandia Utara tetap ada solusinya, yaitu Irlandia Utara dan Republik Irlandia membuat "aturan bersama" soal cukai dan keluar masuk barang.

Namun, komitmen Inggris soal isu perbatasan ini ditentang keras oleh berbagai pihak di dalam negeri, termasuk politisi dari Partai Konservatif. Persoalannya, PM Theresa May harus memperoleh persetujuan dari parlemen untuk setiap butir perundingan yang disepakati, sementara Partai Konservatif tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen.