TOTO SIHONO

TOTO SIHONO

Publik selalu tidak percaya setiap kali pemerintah melakukan impor atas berbagai komoditas seperti garam.

Sebab selain Indonesia punya lahan luas sepanjang pesisir (99.093 kilometer), berada di daerah tropis, juga garam secara tradisional sudah bertahun-tahun diproduksi petani karena tidak membutuhkan teknologi tinggi. Akan tetapi, ironisnya, impor garam ternyata sudah berlangsung sejak 1990.

Memang tidak dapat dipungkiri jika impor adalah pilihan pahit karena bertujuan mencukupi kebutuhan nasional. Data Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia menyebutkan bahwa produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton. Dalam musim tertentu, produksi garam Indonesia maksimum hanya  mencapai 1,9 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan garam nasional sekitar 4,1 juta ton per tahun untuk memenuhi konsumsi publik 780.000 ton, sisanya untuk mencukupi keperluan industri.

Minim insentif

Impor pada dasarnya mencerminkan kegagalan pemerintah dalam industrialisasi garam rakyat. Mengingat hampir 20 tahun, kebijakan dan program yang ada belum memungkinkan adanya jaminan ketersediaan garam tanpa impor. Alasan klasik yang muncul adalah faktor iklim dan cara tradisional dalam produksi garam rakyat sebagai penyebabnya. Sekalipun hal ini benar, maka seharusnya pemerintah mengantisipasi dengan merumuskan kerangka pengembangan yang tepat menuju swasembada garam

Program garam untuk rakyat (Pugar) yang dilakukan sejak tahun 2011 melalui pemberian bantuan dana untuk peningkatan produksi hanya mencapai target sekitar 50 persen. Ketidaktepatan penyaluran dana dengan waktu petani memulai kegiatan pengolahan garam menjadi sumber persoalannya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petani garam, Samian Arifin, memanen garam di rumah garam prisma yang ia bangun di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Rabu (21/3). Pembuatan garam dengan metode rumah prisma memungkinkan panen dilakukan walau musim hujan.
Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)
21-03-2018

Di wilayah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, misalnya, petani membutuhkan dana pada bulan Mei-Juni untuk biaya menggarap lahan, akan tetapi justru dana turun pada bulan September. Oleh karena itu, sekalipun program ini dapat memperbaiki produksi dari 55 ton per hektar menjadi 73 ton per hektar, akan tetapi kurang memiliki dampak yang signifikan terhadap  peningkatan pasokan garam petani.

Program garam untuk rakyat ternyata juga kurang menarik minat petani untuk memperluas lahannya. Sampai tahun 2014, luas lahan garam sekitar 27.898 hektar atau turun sekitar lima persen dibanding tahun 2013 yang luasnya 29.367,82 hektar.  Hal ini menunjukkan bahwa garam pada dasarnya belum menjadi salah satu komoditas yang menguntungkan bagi petani, meskipun permintaannya tinggi.

Bahkan jumlah petani yang mengusahakan tambak garam mengalami penurunan. Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2016 menyebutkan jumlah petani garam tahun 2012 sebanyak 30.668 jiwa menjadi 21.050 jiwa di 2016. Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi

Kondisi tersebut tidak terlepas dari harga garam rakyat yang rendah. Untuk kualitas satu (K1) berkisar Rp 540-Rp 550 per kilogram (kg).  Padahal harga patokan pemerintah Rp 750/kg .  Sebaliknya,  petani nyaris kurang menikmati manfaat ketika harga garam naik karena  lemahnya posisi tawar petani dalam menghadapi kartel perdagangan garam  di tingkat lokal yang menentukan kualitas dan harga secara sepihak.

Banyak pihak menilai bahwa krisis garam selama ini disebabkan ketidakmampuan pemerintah memberi insentif kepada petani garam melalui harga dan teknologi yang menjamin kenaikan produksi garam di tingkat petani.. Jika itu bisa dilakukan, petani secara mandiri dan maksimal dapat melakukan perbaikan kapasitas dan kualitas garam karena terkait dengan kelangsungan penghidupannya.

Tanggung jawab negara

Memproduksi garam berkualitas tinggi untuk pasar industri jelas butuh waktu berbulan- bulan. Tentu ini sulit dipenuhi oleh petani yang punya banyak keterbatasan; mulai dari modal, teknologi, hingga saluran distribusi. Terlebih petani acapkali membutuhkan uang tunai untuk mencukupi kebutuhan.  Karena itu, petani umumnya memproduksi hanya dalam hitungan hari dan menghasilkan garam kualitas rendah.

Dengan demikian, swasembada garam adalah suatu keniscayaan dan merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkan. Artinya, pemerintah perlu melakukan investasi dalam memperkuat industri garam rakyat dan tidak cukup atau  sekedar memberi bantuan modal yang terbatas melalui program garam untuk rakyat.

Ada dua kebijakan yang dapat dibangun. Pertama, mendirikan badan layanan umum yang khusus membiayai kebutuhan investasi garam di tingkat petani: mulai dari pembukaan lahan hingga pengolahan pasca panen, sehingga menghasilkan garam dengan kandungan NaCI tinggi, magnesium rendah dan kadar air rendah.

Kedua, mengorganisir petani garam dalam suatu kelembagaan koperasi maupun perusahaan sebagai entitas bisnis, mengingat untuk memproduksi garam berkualitas dibutuhkan lahan yang luas, fasilitas pengolahan skala besar dan dukungan teknologi serta manajemen usaha yang profesional. Dengan begitu kepastian garam dari sisi kuantitas, kualitas dan kontinuitas dapat terjamin.