Ia mengutip hasil Jakarta Food Security Summit 2018 yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang merekomendasikan bahwa kemitraan merupakan salah satu tawaran untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran petani. Sayangnya, kemitraan yang digagas Kadin untuk menolong petani tidak jalan.
Prof Bagong, dalam artikel tersebut menggambarkan soal dilema yang dihadapi petani. Petani di satu sisi menghadapi situasi mempertahankan kualitas hasil panen mempunyai konsekuensi biaya produksi naik. Akan tetapi, jika mereka mengurangi biaya produksi kualitas hasil panen akan menurun, yang berimbas pada harga jual yang ikut turun.
Ia pun berpendapat bahwa "kemitraan" amat penting bagi petani untuk menjaga dan memastikan keseimbangan antara permintaan dan kebutuhan pasar. Namun dalam kaitan ini, petani memiliki posisi tawar yang lemah dalam konteks kemitraan ala Kadin tersebut akibat ketergantungan mereka kepada mitra kerjanya, selain itu belum tentu pula ada jaminan perlakuan adil.
Secara obyektif, petani Indonesia saat ini memang masih berada dalam kondisi miskin, aset terbatas dan tidak terlindungi dalam sistem persaingan global. Untuk menjawab persoalan ini, memang diperlukan "kemitraan". Masalahnya, kemitraan semacam apa yang perlu dikembangkan agar dapat menyelesaikan problem kemiskinan serta meningkatkan daya saing petani dan produk pertanian Indonesia?
Arsitektur ekonomi rakyat
Mengatasi kemiskinan petani dan meningkatkan daya saing komoditas pertanian di era persaingan global saat ini adalah sebuah keniscayaan. Hal ini bukan sekadar capaian yang hendak diwujudkan dalam setiap proses pembangunan nasional, melainkan perintah dari konstitusi.
Ayat (2) Pasal 33 UUD 1945 yang mesti dijalankan siapa pun yang memegang kekuasaan di negeri ini menyebutkan bahwa "cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara".
Sektor pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, perikanan, perkebunan dan peternakan) merupakan tumpuan hidup petani, sumber lapangan kerja sekitar 60 persen penduduk dan memasok kebutuhan penyediaan pangan rakyat Indonesia yang berjumlah 250 juta. Hal ini berarti sektor pertanian merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu negara mau tidak mau mesti menguasainya.
Apa parameter penguasaan negara yang terkait dalam masalah itu? Parameter yang sesuai dengan hal ini ialah memosisikan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Koperasi sebagai bentuk perwujudan dari amanat ayat (2) pasal 33 UUD 1945. Melalui model arsitektur ekonomi rakyat (AER) berbasis koperasi, BUMN dan Koperasi berperan mengatur dan mengendalikan pasar komoditas hasil pertanian dari hulu sampai hilir. Setelah pasar dikuasai BUMN dan Koperasi, maka swasta tetap berada dalam konteks pasar pangan yang berkeadilan dan diberi peluang untuk berkiprah.
Dalam konteks AER berbasiskan koperasi inilah "kemitraan setara" dibangun dalam institusi pasar yang berkeadilan, dengan prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Model kemitraan semacam inilah yang diharapkan dapat mengatasi dilema yang dihadapi petani saat ini. Dampaknya, problem kemiskinan dan daya saing produk pertanian bakal terangkat dan mampu bersaing di pasar global.
Bagaimana model kemitraan setara dalam AER yang berbasiskan koperasi untuk mewujudkan hal itu? Pertama, petani didorong untuk membentuk dan membangun koperasi. Melalui Koperasi, petani diharapkan dapat menerapkan produksi pertanian yang didukung sistem manajemen dengan model informasi teknologi (IT). Penerapan IT dalam sistem manajemen koperasi ini penting untuk mendukung aspek pelayanan keuangan, sarana produksi, penanaman dan proses lepas panen. Dengan pengembangan koperasi petani semacam ini menjadikan seluruh petani dapat bekerja secara lebih efisien dan mempunyai keunggulan daya saing.
Kedua, membangun kemitraan setara antara Koperasi, BUMN, serta Swasta, dalam institusi pasar yang berkeadilan. Dalam model kemitraan ini Koperasi bermitra dengan BUMN untuk meningkatkan daya saingnya. Koperasi bermitra dengan PT Pusri, PT Sang Hyang Sri untuk menjamin harga dan pasar sarana produksi pertanian seperti bibit, pupuk dan obat-obatan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) bermitra dengan Koperasi sebagai lembaga keuangan yang berperan menyediakan kredit usaha dan modal kerja bagi petani yang berbunga rendah sehingga mampu melindungi petani dari jeratan rentenir/tengkulak.
Selanjutnya, Bulog bermitra dengan Koperasi menjamin harga dan pasar hasil lepas panen petani. Dengan demikian Koperasi yang bermitra dengan BUMN tersebut dapat menjamin input dan output petani secara efektif dan efisien dalam persaingan global. Dengan prinsip efisiensi tersebut petani dapat menjual produk pertanian yang berkualitas, dengan harga berdaya saing dan menguntungkan.
Model kemitraan semacam ini secara empiris telah dipraktikkan pada masa pemerintahan Orde Baru, khususnya dalam pertanian tanaman pangan beras. Hasilnya membuktikan bahwa Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1985 dan memperoleh penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organizaion). Model kemitraan ini pada hakikatnya adalah bentuk perwujudan dari pola tata peran dari pelaku ekonomi (PTPPE) dalam konteks pembangunan pertanian, dan pangan di Indonesia. Model kemitraan ini mencerminkan bentuk implementasi Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) pada tataran aksi.
Menerapkan model AER berbasiskan koperasi dalam kemitraan setara melalui institusi pasar yang berkeadilan untuk membangun pertanian yang maju, berdaya saing dan berkelanjutan serta membebaskan petani dari kemiskinan merupakan suatu keniscayaan. Hal ini penting agar petani tidak terjebak dalam dilema yang tak berkesudahan, yang menyebabkan mereka tetap dalam kondisi miskin dan rendah daya saingnya. Oleh karena itu, hemat penulis "model kemitraan" yang diajukan dalam artikel ini menjadi jawaban atas problem petani yang sesuai Ayat (2) Pasal 33 UUD 1945, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar