KOMPAS/TOTO SIHONO

.

Sebenarnya telah tersedia instrumen legal untuk memastikan kecukupan cadangan lahan garam nasional, yakni melalui skema penyusunan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Celakanya, baru 8 dari total 34 provinsi yang telah mengeluarkan Perda Zonasi Pesisir. Dari yang sedikit itu pun, tak terlihat komitmen politik untuk melindungi dan memperluas tambak garam rakyat.

Ibarat siklus tahunan, pro dan kontra kebijakan impor garam kembali mengemuka. Kali ini, Ekonom Senior Faisal Basri melalui akun twitter-nya mempersoalkan peralihan rekomendasi impor garam dari tangan Menteri Kelautan dan Perikanan ke Menteri Perindustrian sesuai Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2018 (17/3). Kritik ini sah, namun kurang tepat.

Dinamika kebijakan impor garam 10 tahun terakhir menunjukkan: sesaat menjadi perhatian, lalu berangsur surut. Masalah garam dan kesejahteraan petambaknya tak juga tertangani.
Urusan pergaraman harus dipahami sebagai satu kesatuan daur produksi-konsumsi. Dari sanalah jawaban untuk menyelesaikan persoalan garam.

Tiga soal

Merujuk angka Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Pusat Statistik, dapat diketahui total kebutuhan garam domestik setiap tahun tidak kurang dari 3,9 juta ton. Yakni, sekitar 700 – 800 ribu ton untuk konsumsi rumah tangga dan pengasinan ikan. Sisanya untuk industri, termasuk industri makanan dan minuman.

Pertama, harus diakui volume produksi garam nasional kurun waktu 3 tahun terakhir belum mampu mencukupi kebutuhan garam di dalam negeri. Badai La Nina yang mengakibatkan kemarau basah sepanjang 2016 menyebabkan produksi garam rakyat sempat anjlok menjadi hanya 140 ribu ton (saja) dari target 3,6 juta ton. Produksinya sempat membaik menjadi 1,24 juta ton 2017. Namun, angka ini masih jauh dari target 3,6 juta ton.

Teranyar, pada pekan pertama Maret 2018, stok garam secara nasional diperkirakan hanya tersisa 42 ribu ton yang tersebar di 14 kabupaten dari total 21 sentra garam nasional. Kedua, tidak ada perluasan ladang garam. Padahal, tambak yang ada kian menyempit akibat kerusakan lingkungan maupun perubahan peruntukan lahan di tiap-tiap daerah.

Sebenarnya telah tersedia instrumen legal untuk memastikan kecukupan cadangan lahan garam nasional, yakni melalui skema penyusunan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Celakanya, baru 8 dari total 34 provinsi yang telah mengeluarkan Perda Zonasi Pesisir. Dari yang sedikit itu pun, tak terlihat komitmen politik untuk melindungi dan memperluas tambak garam rakyat.

Terakhir, tidak terjadi peningkatan teknologi pergaraman, baik untuk meningkatkan kualitas maupun produktivitas garam rakyat. Sementara di sisi lain, tuntutan standar garam industri terus meningkat.

Inovasi petambak

Sebenarnya, petambak garam juga telah berinovasi. Di Lamongan misalnya, para petambak menggunakan "Rumah Prisma" untuk menjawab persoalan cuaca yang sangat dinamis belakangan ini. Hasilnya, petambak garam mampu berproduksi sepanjang tahun, pembentukan garam lebih cepat, dan kualitas garam dapat memenuhi standar industri. Inovasi serupa dilakukan petambak Indramayu.

Mereka mengombinasikan pendekatan kimia dan fisika untuk mempersingkat waktu pembuatan garam menjadi sehari dan menghasilkan garam standar industri dengan kandungan NaCl 99.8 persen. Namun, beragam inisiatif ini belum terfasilitasi menjadi skala nasional.

Keluarnya PP 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri harus dimaknai sebagai kebijakan transisi. Oleh karena itu, energi kolektif bangsa sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan masalah di hulu, yakni: memperbaiki kuantitas, kualitas dan harga garam di Tanah Air—daripada tersandera dengan persoalan di ujung pipa (baca: administrasi impor garam).

Caranya tak sulit, para Gubernur, anggota DPRD, dan Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera menyelesaikan Perda RZWP3K di masing-masing provinsi. Konsumen dan petambak garam juga harus aktif terlibat dalam pembahasannya agar produk legislasi daerah itu tidak sekadar ada, namun juga menjawab kebutuhan ruang untuk perluasan tambak garam rakyat.

Terobosan lain adalah kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan petambak. Pengusaha "zaman now" tak boleh mengeluh, apalagi menunggu "di ujung" untuk menyalahkan rendahnya kualitas garam rakyat. Saatnya pelaku industri bertanggung jawab membereskan persoalan garam dengan membantu petambak mendapatkan modal, teknologi tepat guna, dan harga baik.

Pemerintah, melalui skema Perhutanan Sosial dan sertifikasi tanah dapat memberdayakan lahan-lahan pantai terlantar untuk dikelola organisasi petambak garam dengan skala ekonomi.
Sekarang pilihan ada di depan kita: mau terus berpolemik dengan administrasi impor atau bergegas mewujudkan swasembada garam.

M Riza DamanikAlumni Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang

Petani memanen garam di Desa Lembung, Kecamatan Galis, Pamekasan, Jawa Timur, Jumat (16/9). kebutuhan garam nasional tahun 2011 untuk garam konsumsi sebesar 1,6 juta ton sebagian besar ditutupi dari Pulau Madura.<br /> Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)<br /> 16-09-2011<br /> (Untuk Tanah Air)