Darurat Korupsi
Awal 2018, KPK menciduk beberapa gubernur, bupati, dan anggota DPRD dalam operasi tangkap tangan. Ini merupakan salah satu prestasi besar KPK meski di sisi lain hal ini menggambarkan KPK yang berjalan bagai deret hitung, sementara perbuatan korupsi melaju bagai deret ukur. Mengapa semua ini terjadi?
Sebenarnya, segala upaya sudah dilakukan. Ada upaya pencegahan berupa hukuman berat, memiskinkan koruptor, dan seterusnya. Kenyataannya, semua ini tidak membuat orang takut korupsi.
KPK bahkan sudah menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan gubernur dan bupati untuk pengawasan di daerahnya, bahkan memberikan pendidikan pencegahan korupsi kepada calon kepala daerah peserta Pilkada 2018. Namun, semua ini sepertinya kerja mubazir karena KPK berada di luar sistem yang melahirkan korupsi. Adalah lembaga eksekutif dan legislatif yang menciptakan dan melaksanakan sistem tersebut sehingga mereka akan lebih paham cara korupsi, termasuk menciptakan kondisi yang memaksa pengusaha dan kelompok lain membayar suap, pungli, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, KPK, jika mau mencegah korupsi, sebaiknya menekan eksekutif dan legislatif agar memperbaiki sistem, mulai dari tingkat pusat sampai daerah.
Jika perlu, berjalan secara revolusioner. Pertama: contoh kasus Hambalang yang melibatkan Andi Mallarangeng. Sebaiknya setelah keluar vonis, KPK harus mengusulkan jika ada proyek semacam ini penanggung jawab proyek bangunan harus tetap di Kementerian Pekerjaan Umum. Pihak yang menggunakan cukup sebagai pengawas.
Kedua: kasus Setya Novanto. Jika nantinya diputus bermasalah, KPK harus mengusulkan agar DPR/D tidak terlibat dalam pembahasan dan pengesahan APBN/APBD karena di sinilah pangkal lahirnya korupsi.
Terakhir. Hasil operasi tangkap tangan KPK pada awal 2018 memberikan data pada kita untuk meninjau kembali struktur organisasi kepala dinas tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Jika perlu, kembalikan urusan ke departemen karena saat ini terkesan mereka hanya kaki tangan para kepala daerah. Ini yang dimaksudkan perubahan secara revolusioner.
Firdaus
Toboleu Ternate Utara,
Maluku Utara
Mengurus Pensiun
Saya, yang saat ini berusia 68 tahun, adalah istri seorang karyawan lapangan di Suku Dinas Kebersihan Jakarta Timur. Suami saya, Sakiyo, meninggal pada 6 Februari 2017.
Sampai saat ini Yayasan Pensiunan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Yapenprov) belum tuntas menyelesaikan proses uang duka yang setahu saya merupakan bagian dari kesejahteraan pensiunan sejak satu tahun yang lalu (14 Maret 2017).
Sebagai sesama keluarga istri pegawai Pemprov DKI Jakarta, saya ikut bergembira dengan meningkatnya penghasilan pegawai melalui Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) meskipun tidak berimbas pada angkatan suami saya. Kalau itu memang nasib kami, tidak apalah.
Namun, yang kami sayangkan adalah Pemprov DKI Jakarta yang melupakan hak pegawai yang meninggal dalam bentuk uang duka.
Uang duka itu selama ini jumlahnya sekian kali gaji. Akan tetapi, sejak 2017, uang duka itu dihapus tanpa alasan jelas.
Beberapa kali saya mendatangi kantor Yapenprov di Petamburan, Jakarta Pusat, selalu dijawab dengan ketidakpastian. Surat keputusan penghapusan ketentuan uang duka pun tidak pernah saya dapatkan.
Maka, melalui surat pembaca ini kiranya Pemprov DKI Jakarta tergerak untuk menyelesaikan atau paling tidak memberikan penjelasan.
Jangan hanya memikirkan kesejahteraan pegawai yang masih hidup. Yang sudah meninggal pun kalau ada hak untuk keluarga yang ditinggalkan, kenapa tidak?
Sriyati
Jl Gondangdia Baru, Jati Cempaka,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar