Di tengah kecamuk dunia hari-hari terakhir ini, terutama ancaman perang dagang (dimulai antara AS dan China), yang dipastikan akan mengubah konfigurasi dunia di pelbagai dimensi, kita bersama—bahkan warga dunia—sesungguhnya menghadapi musuh yang sama. Musuh yang paling berbahaya dari semua musuh yang ada, paling kuat—bahkan hampir "tak bisa tersentuh"—dan tak ada presedennya dalam sejarah.
Lebih menggiriskan, musuh itu tidak berwujud, imaterial, serta dahsyatnya: penampakan (audial dan visualnya) begitu baik, menyenangkan, bahkan secara masif dunia mengamini fungsi dan manfaatnya yang luar biasa. Inilah ang-e(vi)l, iblis cum malaikat pos-pos-modern dengan nama paling populer sepanjang riwayat manusia: Internet.
Maaf, jika Anda segera bereaksi kalau saya berlebihan. Namun itu tidak membuat saya membatalkan konstatasi di atas Bukan hanya karena belakangan kita mulai menyadari bagaimana hoax atau fake news yang ditebar oleh media sosial mampu menciptakan bukan hanya kerusuhan massal, akan tetapi juga segregasi sosial yang bahkan mengancam eksistensi sebuah bangsa (negara).
Dalam kasus Cambridge Analytic yang belakang menghebohkan Eropa dan Amerika Serikat, perusahaan pengolah data itu mampu (dan telah) menyusun profil psikologis, bukan 50 juta seperti dikutip banyak media, tapi 250 juta penduduk hanya di Amerika Serikat saja. Dengan melulu memanfaatkan fitur "Like" dalam Facebook, profil yang disusun itu bukan hanya bisa memberitahu kita (juga kepentingan tertentu) informasi sensitif dari pengguna, mulai dari kecenderungan seksual, tingkat kecerdasan, bentuk hubungan orangtua kita, trauma hidup kita, hingga tentu saja preferensi politik kita.
Juga bukan karena sebagian pemerintah dan masyarakat di beberapa belahan dunia maju mulai menyadari bagaimana algoritma yang direkayasa dan dimiliki oleh—katakanlah—Facebook dapat memengaruhi hasil Pemilu AS yang lalu, atau referendum Brexit di Inggris. Atau Google, juga dengan algoritama dari big data yang diperoleh/digenggamnya, dapat menentukan bukan saja jenis film atau lagu yang kita sukai, tapi juga desain hingga merek busana pilihan kita, makanan, mebel, perkakas elektronik, tujuan sekolah lanjutan, bahkan warna pakaian dalam kita. Apa yang menjadi konsekuensi lanjutan dari itu, bukan hanya kita menjadi sasaran eksploatasi bisnis-komersial korporasi, tapi juga lumernya diri sosial hingga eksistensi personal kita.
Jika Google mampu membuat kita semua seperti telanjang, di mana seluruh data privasi kita ternyata mampu diakses oleh sekurangnya 1,9 miliar manusia di dunia, dengan Dark Web bahkan seluruh jeroan tubuh kita telah terpetakan.
Lebih dari itu, dalam sebuah perbandingan grafis yang dilansir oleh situs Pinterest, Google memiliki semua (dasar pendirian, cara dan mekanisme kerja hingga tujuan akhirnya) yang jika tak persis sama, paralel dengan Skynet, sebuah teknologi mutakhir, berbasis Internet. Intinya: melakukan pemusnahan massal musuh-musuh yang ia kehendaki. Sistem persenjataan virtual super-canggih yang juga mengendalikan semua arsenal fisik terbaik dunia itu, memang sebuah sci-fi dari riset mendalam berdasar kenyataan dalam serial Terminator. Namun Elon Musk, salah satu titan teknologi, jenius dalam soal kecerdasan buatan, pendiri SpaceX, Tesla Motor dan Paypal dengan kekayaan tak kurang dari Rp 200 triliun, memosisikan Skynet sebagai alasan atau penyebab terkuat terjadinya dunia dystopian (kebalikan dari utopia) di masa depan.
Tapi ternyata jangan salah sangka: Google, digabung dengan Facebook, Twitter, Instragram bahkan 980.000.000 laman yang ada di Internet ternyata hanya sebuah permukaan (surface) dari apa yang kita sebut dunia virtua, Internet itu sendiri masih ada bagian lain dari dunia itu: Deep Web, bersama Dark Side atau Dark Web sebagai bagian terkelamnya, yang menjadi tubuh utama dari gunung Internet itu. Kapasitasnya? Dari segi isi (konten) sebagian kalangan menyebut angka 50.000% lebih banyak daripada surface (Google cs). Dalam hitungan statistik, jika seluruh surface yang kita gunakan sehari-hari dan membuat otak dan pikiran (hardware dan software alamiah dalam kita) meledak karena data yang bisa dimunculkannya berkisar pada kapasitas 19 TB (Terabita, dimana 1 tera setaral 1 triliun bita), Deep Web memiliki sekurangnya 7.500 TB di dalam tubuhnya, dengan jumlah laman tak terhingga. Tak ada satu pun yang dapat dilacak oleh mesin-mesin pencari macam Google, Yahoo, dan lain sebagainya.
Apa saja yang ada di dalam "sumur tanpa dasar itu"? Apa yang bisa ia lakukan pada kita dan dunia? Apa yang kemudian mungkin terjadi; pada kita sebagai pribadi, bangsa, bahkan masyarakat bumi?
Cengkeraman "Dark Web"
Secara komprehensif tidak ada jawaban untuk itu. Secara parsial sudah banyak ahli dan lembaga yang coba menghitung dan menggambarkannya. Secara anatomik isi dari Deep Web, terlebih Dark Web (lapisan terbawah dari Deep Web) tidak keluar dari semua hal yang dianggap "hitam" atau kriminal, terutama yang destruktif tapi di bagian lain ternyata juga menguntungkan secara finansial. Dalam dunia kelam inilah pasar gelap—terutama perdagangan obat-obat terlarang (drugs), operasi mengorupsi situs-situs di Internet (botnet), penipuan dengan cara skaming dll (fraudsters), pemalsuan akun pribadi/badan (phishing), bitcoin, hitman, dengan berbagai leaks, kaum teroris (dengan 50.000 grup di dalamnya)—perdagangan manusia hingga pornografi untuk semua kelas juga usia "bergentayangan".
Secara finansial, jalan sutra (silkroad) yang menjadi semacam platform dalam pasar gelap khusus obat-obat terlarang saja dalam setahun bisa menghasilkan tidak kurang dari 1,2 miliar dolar AS, setara kira-kira Rp 15 triliun setahun. Belum lagi perdagangan hitam, bukan hanya manusia tapi juga kloning-manusia (untuk kebutuhan tertentu) yang marak di situ. Bila Anda ingin memanfaatkan jasa dari dunia itu, semua berharga murah. Meminta jasa para hitman dengan sasaran pribadi cukup dengan 20.000 dolar AS, jika orang penting yang diarah bisa 100.000 dolar AS. Bila Anda butuh data medis seseorang, 1 dolar cukup. Membuat akun Facebook palsu dengan 15 teman, 1 dolar juga. Membuat spam untuk 5.000 email hanya 50 dolar. Memalsu kartu kredit, bergantung nilai pemalsuannya, bisa 60 dolar, tapi 25 sen dolar juga bisa.
Jika Google mampu membuat kita semua seperti telanjang, di mana seluruh data privasi kita ternyata mampu diakses oleh sekurangnya 1,9 miliar manusia di dunia, dengan Dark Web bahkan seluruh jeroan tubuh kita telah terpetakan. Bukan hanya suhu tubuh, juga ginjal rusak atau kencing manis yang diderita terbuka seperti catatan medis yang tersimpan rahasia di rumah sakit. Jika Google dengan persyaratan tertulisnya yang hampir tak pernah dibaca itu punya hak menyebarluaskan data pribadi pengguna (Pasal 2.1), bahkan memutus akun kita jika kita diketahui berbohong atau meng-input data palsu (Pasal 4.4), Dark Web bahkan bisa memberi servis kepada siapa saja—korporasi, dinas intelijen hingga negara mana pun—seluruh data penduduk sebuah negeri untuk kepentingan tertentu.
Bila Google dengan Maps-nya seperti memberi layanan gratis bagi para pencuri dan penculik, dan untuk mengikuti gerak-gerik kita per detik setiap harinya dia sudah memasang 30 juta kamera hanya di wilayah AS saja, bisa dibayangkan informasi apa yang dapat Dark Web jual kepada para radikalis dan teroris. Bisa dibayangkan apa yang sebenarnya telah dan mampu dunia-gelap itu lakukan pada kita, sehingga bukan hanya masa kini, masa depan, bahkan masa lalu kita bisa mereka rekayasa. Ruang dan waktu manusia ada dalam cengkeramannya.
Ancaman 'Tuhan baru'
Eksposisi yang sebenarnya ringkas di atas, saya kira cukup memberi ilustrasi yang kuat bila manusia di masa now ini sudah tidak berdaulat lagi pada dirinya sendiri. Bahkan untuk mempertanyakan kemanusiaannya sendiri. Kita tidak cukup hanya menuduh kapitalisme, demokrasi, totaliterianisme dan segala rezim politik, ekonomi, teknologi dan sains bahkan agama sekalipun sebagai penyebab terjadinya dehumanisasi yang kian akut ini.
Selebihnya adalah gelap. Namun dalam kenyataannya ia kini begitu konstitutif dalam memastikan berlangsungnya hidup di dunia fana ini. Bukan ke arah positif, kemuliaan yang diajarkan ilmu, agama dan kebudayaan, tapi sebaliknya: menuju kehancuran peradaban secara masif.
Ungkapan bertuah (alm) Stephen Hawking bahwa "filsafat sudah mati" tak bermakna lagi jika jawabannya adalah sains, apalagi secara khusus astro-fisika sebagai pencarian kebenaran yang sejati. Semua sudah dengan canggih dan eksakta, melalui algoritma dunia komputasi, dilakukan oleh dunia tak terpemanai di atas.
Apa yang ada di permukaan, dalam dunia material, bahkan kemajuan canggih di bidang neuron dan silikon (dua alas terpenting zaman ini), katakanlah macam kemajuan biogenetik atau bioteknologi yang melahirkan kecerdasan buatan, jadi bukan apa-apa ketika sistem pengaturannya ada dalam genggaman pihak-pihak yang invisible dan unindentiified. Data dan sistem pengolahnya kini seperti jadi "Tuhan baru", menggantikan kapital, emas, uang, atau kuasa poltik yang segera menjadi primitif pada saat ini.
"Tuhan baru" itu hanya dapat disentuh atau dimiliki oleh segelintir manusia saja: mereka yang mampu mengoperasikan TOR (The Onion Router), semacam perangkat lunak yang membuat penggunanya anonim dan memiliki semacam "legalitas" memasuki Deep Web. Mungkin hanya satu-dua negara, katakanlah Rusia atau AS, terutama dengan National Agency Security (NSA)-nya, yang mampu berselancar di dunia gelap itu dan memanfaatkannya. Tapi mereka pun hanya mampu menyentuh mungkin kulitnya saja.
Selebihnya adalah gelap. Namun dalam kenyataannya ia kini begitu konstitutif dalam memastikan berlangsungnya hidup di dunia fana ini. Bukan ke arah positif, kemuliaan yang diajarkan ilmu, agama dan kebudayaan, tapi sebaliknya: menuju kehancuran peradaban secara masif.
Apakah ancaman seperti ini tidak membuat kita waspada, ketimbang misalnya bencana iklim, asteroid di angkasa, ekonomi yang menciptakan perbudakan, bahkan perang nuklir yang sangat mematikan? Sekali lagi, ancaman ini tak terlihat, bahkan jika bisa dilihat ia seperti bidadari molek yang menggairahkan. Kita terpana dan terbius karenanya. Lalu apa kita biarkan, dan kita akhirnya lupa bahwa kita manusia. Bahwa kita memiliki kekuatan yang kita sendiri tidak bisa menduga?
Bahwa ternyata juga ada kekuatan (supra) di luar kita yang lebih desesif dan konstitutif? Bahwa takdir alamiah kita ternyata menyadari juga meyakini itu? Di sementara lain, ternyata kita masih saja disibukkan dengan sinetron yang merusak akal sehat, kabar palsu ketengan, intimidasi politisi murahan, ambisi kuasa yang mengejar recehan, atau kegenitan dengan v-blog dan hasrat jadi selebgram. Lalu di mana masa depan itu?
RADHAR PANCA DAHANA BUDAYAWAN
Kompas, 16 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar