Politik adalah jalan kesucian, seperti dimaknai Mahatma Gandhi, di mana tugas-tugas kemanusiaan dijalankan dan dituntaskan secara bersih dan jujur atau penuh integritas serta komitmen. Politik harus meninggikan kualitas kemanusiaan dan bangsa.

Pakar hukum dan politisi Mahfud MD dalam acara bincang-bincang di satu stasiun TV swasta menyatakan prihatinana atas belum mencairnya blok psikoligis antara pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo Subianto. Padahal, kata Mahfud, Pemilu 2014 sudah selesai. Jokowi dan Prabowo sudah bertemu dan saling berpelukan. Sudah makan siang bersama. Sudah naik kuda bersama.
Menjelang Pilpres 2019, ketegangan antara dua kubu itu pun kembali meninggi. Masing-masing berupaya memanfaatkan setiap celah untuk "saling serang" dan mempromosikan jago masing-masing. Kecemasan tentang keterbelahan masyarakat/bangsa ini pun membayang. Tak ayal, hal itu membuat pakar ekonomi dan politisi Rizal Ramli masgul. Dia mempertanyakan kenapa kontestasi antara kubu pendukung Jokowi dan Prabowo tidak melahirkan perdebatan yang cerdas dan santun.

Kultur politik
Keprihatinan Mahfud MD dan Rizal Ramli memberi penegasan bahwa kultur politik belum terbangun secara kuat di negeri ini. Politik masih dipahami secara permukaan: cara merebut kekuasaan dengan mengandalkan okol, bukan akal. Okol (otot) merujuk pada pemaknaan segala hal yang serba fisikal dan penuh aroma kekerasan, termasuk ujaran kebencian.
Lebih mengherankan lagi, para elite politik tidak kunjung memberikan pendidikan kepada para pendukungnya perihal kultur politik sebagai bagian dari peradaban bangsa. Kultur politik yang dimaksud adalah kebiasaan atau tradisi berpolitik berbasis pada nilai, gagasan, etika dan moral.
Nilai di dalam politik tercermin pada cita-cita ideologis membangun bangsa dan negara berbasis keadaban, keadilan dan kesejahteraan. Untuk itu dibutuhkan kecerdasan gagasan yang lahir dari refleksi atas pengalaman, penjelajahan pengetahuan dan ilmu. Karena tidak bebas nilai,  politik membutuhkan etika dan moral.
Sejak awal berdirinya republik ini, bangsa kita belum sampai pada tahapan peradaban tinggi politik, yakni suatu pencapaian nilai, ide dan kreativitas politik yang membebaskan sekaligus meninggikan eksistensi publik. Meski sering disebut memiliki keadaban politik yang relatif lebih baik, Orde Lama tetap saja memosisikan publik sebagai objek yang dimobilisasi demi kekuatan partai berbasis politik aliran. Blok-blok politik nasionalisme, Islamisme dan komunisme menguat. Konflik horizontal menjadi keniscayaan. Era politik Orde Lama sering disebut era politik yang melelahkan karena penuh kegentingan. Penuh busa-busa ideologi. Seluruh energi bangsa tercurah ke dalam aktivitas politik, sehingga persoalan ekonomi kurang dipikirkan.

Apa pun alasannya, politik dehumanisasi harus diakhiri. Saatnya elite politik menanggalkan pemahamannya yang sangat keliru bahwa politik adalah panggung untuk meraih kekuasaan, di mana "teater" harus dimainkan. Tak peduli "teater" itu buruk dan merendahkan martabat publik atau menciptakan dehumanisasi.

Pada era Orde Baru, nasib/posisi publik tak bergeser jauh dari objek politik. Yang membedakan adalah kepentingannya, yakni pembangunan ekonomi yang dijalankan secara represif dan melahirkan dehumanisasi.
Adapun pada era Reformasi, publik tetaplah (dipaksa) duduk manis pada posisi objek politik. Para elite kekuasaan menghibur publik dengan demokrasi. Namun bukan demokrasi dalam arti kedaulatan di tangan rakyat, melainkan demokrasi di tangan kuasa kapital. Bukan ide, kompetensi dan  komitmen yang menggerakkan politik, tapi uang. Kenyataan buruk pun kembali terulang: dehumanisasi. Publik  dijadikan objek dehumanisasi melalui kekuatan kapital, kemajuan teknologi informasi (medsos) dan sentimen berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan).
Politik yang hanya mampu memberi "hadiah" berupa dehumanisasi pada publik sangat bertentangan dengan cita-cita luhur demokrasi, yakni kesetaraan ekonomi, hukum, keadilan, pendidikan, politik, budaya yang bermuara pada kesejahteraan dan kebahagiaan.

Politik panggung
Apa pun alasannya, politik dehumanisasi harus diakhiri. Saatnya elite politik menanggalkan pemahamannya yang sangat keliru bahwa politik adalah panggung untuk meraih kekuasaan, di mana "teater" harus dimainkan. Tak peduli "teater" itu buruk dan merendahkan martabat publik atau menciptakan dehumanisasi. Politik adalah jalan kesucian, seperti dimaknai Mahatma Gandhi, di mana tugas-tugas kemanusiaan dijalankan dan dituntaskan secara bersih dan jujur atau penuh integritas serta komitmen. Politik harus meninggikan kualitas kemanusiaan dan bangsa.
Dibayangi kecemasan atas semakin parahnya keterbelahan bangsa, publik menagih komitmen para elite politik untuk menyelamatkan negeri ini.  Mereka, baik yang berkuasa/memerintah dan pro-kekuasaan maupun jadi "oposan"  harus menanggalkan egoisme sektoral dan berpikir visioner untuk menciptakan perubahan ke arah kondisi masyarakat/negara yang lebih baik, bermakna dan bermartabat. Di sini dibutuhkan kepemimpinan transformatif yang mampu melakukan perubahan secara nilai, perilaku dan sistemik, yang berpihak pada keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan dan martabat bangsa.

Bangsa ini membutuhkan tabungan nilai yang bisa jadi modal kebudayaan dan peradaban untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Untuk itu, kerukunan para elite politik yang selama ini ditampakkan melalui media, semestinya bukan kerukunan simbolik/retorik, melainkan kerukunan substansial yang menetes deras (menjadi praksis) di ranah publik dan mampu mencairkan penggumpalan blok-blok psikologis masyarakat partisan.

Bangsa ini tak akan jadi besar jika diasuh pertikaian dan dendam. Publik harus dididik agar memiliki kecerdasan politik. Pada level publik semestinya muncul kesadaran untuk menolak dijadikan objek politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Baik melalui provokasi berbau SARA atau berlanggam kapital. Publik harus meyakini bahwa politik merupakan wahana kebudayaan yang meningkatkan mutu kepribadian dan eksistensi sekaligus membahagiakan, bukan justru merendahkan manusia dan kemanusiaan.

INDRA TRANGGONO, PEMERHATI KEBUDAYAAN DAN SASTRAWAN

Kompas, 18 April 2018