Tiada Rotan, Akar Pun Jadi
Dari laporan Kompas edisi 8 Februari 2018 bisa disimpulkan bahwa yang dilaporkan Panitia Angket DPR terhadap KPK ternyata normatif berlaku untuk semua lembaga atau organisasi negara.
Hanya saja, di sini ditekankan agar KPK mengoptimalkan fungsi pencegahan korupsi. Rapat berbulan-bulan melebihi batas waktu yang direncanakan ternyata tak mencapai maksud semula: merevisi undang-undang KPK untuk memperkuat KPK. Beberapa anggota DPR bahkan ingin membubarkan KPK.
Hasil Pansus Angket DPR yang diserahkan kepada Sidang Paripurna DPR berupa rekomendasi agar KPK fokus kepada pencegahan korupsi dan menganjurkan agar tindak lanjut kasus korupsi jangan berlarut-larut.
Rekomendasi seperti ini perlu ditelaah lagi sebab pencegahan korupsi secara formal adalah tugas semua lembaga negara. Kalau KPK diminta mengintensifkan langkah pencegahan korupsi dan mengutamakan aktivitas pencegahan, tugas menindaklanjuti kasus korupsi akan melambat, sedangkan pesan DPR mengingatkan KPK agar jangan ada lagi status tersangka berlarut-larut.
Niat yang "baik" memperkuat KPK sebetulnya bisa dilakukan dengan rapat dengar pendapat, tetapi ini dilakukan dengan cara membuat Panitia Angket yang kontroversial dan memerlukan biaya besar, dengan pembicaraan bernada dengki, sedangkan hasilnya hanya rekomendasi normatif. Untuk menutupi rasa malu, diambil langkah "tiada rotan, akar pun jadi". Tidak berhasil merekomendasikan revisi undang-undang, rekomendasi normatif pun jadi.
R Darmanto Djojodibroto
Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta
Pasal Efek Jera
Hampir setiap hari terdengar di televisi atau terbaca di koran bahwa hukuman untuk korup- tor itu untuk menimbulkan efek jera. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, jera berarti 'tidak mau (berani dsb) berbuat lagi'. Dalam kalimat dicontohkan "Meskipun sudah dua kali dipenjara, ia belum juga jera".
Jera sama dengan kapok yang berarti 'tidak akan berbuat lagi'. "Belum kapok juga bermain di laut yang bergelombang itu", tersirat dalam pengertian ini ialah jera dan kapok itu dimaksudkan untuk seseorang atau mereka yang sudah mengalami suatu akibat atas perbuatannya atau perbuatan mereka. Kalau makan sambal lantas menceret, Anda boleh saja jera, silakan. Namun, saya tidak perlu ikut-ikutan jera karena memang saya tak bisa makan kalau tidak pakai sambal.
Saya tak bermaksud debat semantik. Pengertian ini ditegaskan oleh hakim yang memutus perkara korupsi sebagai berikut: "Ini bukan pembalasan, melainkan peringatan agar suatu hari terdakwa tidak melakukan lagi tindakan serupa" (Kompas, 9/12/2016, "Hukuman untuk Efek Jera").
Memang terlihat bahwa beberapa residivis kini sudah jadi selebritas lagi. Ada yang mencalonkan diri untuk menjabat lagi. Dengan rata-rata hukuman yang katanya hanya 2 tahun 4 bulan, potong-potong remisi pula, dan kemungkinan simpanan harta dan deposito di bank masih tersisa untuk beberapa generasi, apakah mereka sudah jera atau belum, tetap hanya Tuhan dan yang bersangkutanlah yang tahu.
Kebanyakan dari koruptor yang sudah dihukum itu memang sudah dipecat. Ditambah faktor usia, tipis kemungkinan mereka akan menjabat lagi. Namun, kalaupun ia memang jera, tobat dan sampai jadi orang alim sekalipun, untuk negara dan rakyat, mereka sudah tak ada guna.
Yang belum terpikirkan ialah memberlakukan sistem bahwa siapa pun tak akan berbuat korupsi karena hukumannya menakutkan sehingga orang lalu menghindarinya. Jika tidak, calon koruptor tinggal buat kalkulasi, bayar ongkos perkara dan pembela, sogok pejabat dan sembunyikan hasil korupsi.
Dengan demikian, sistem peradilan kita hanya akan mengundang orang baik-baik tergoda untuk berbuat korupsi.
Achwar Zen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar