KOMPAS/RIZA FATHONI

Siswa mengikuti pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional ( USBN) di SDN 07 Tebet Timur, Jakarta, Rabu (2/5/2018). Pelaksanaan USBN untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) dimulai pada 3 hingga 5 Mei 2018. Hasil ujian USBN tingkat SD untuk tahun ini akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan penerimaan peserta didik baru selain ketentuan zonasi berdasarkan jarak.

Berbagai langkah perbaikan di bidang pendidikan sudah ditempuh pemerintah. Meskipun demikian, berbagai persoalan pendidikan masih menghadang.

Pemerintah, misalnya, sudah mengucurkan biaya operasional sekolah, membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi siswa miskin, hingga memberikan tunjangan profesi guru untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Namun, langkah itu tidaklah cukup.

Meskipun pemerintah sudah mengucurkan dana Rp 9,6 triliun untuk KIP, misalnya, angka putus sekolah di semua jenjang pendidikan masih cukup tinggi. Angka putus sekolah di jenjang SD, sebagai contoh, pada 2017/2018 tercatat masih 32.127 siswa dan di SMP 51.190 siswa. Padahal, penyelenggaraan pendidikan di jenjang pendidikan dasar tidak dipungut biaya alias gratis.

Begitu juga di jenjang pendidikan SMA, angka putus sekolah masih tinggi, yakni 31.123 siswa. Sementara angka putus sekolah di jenjang SMK 73.388 siswa. Ironisnya, angka putus sekolah di semua jenjang pendidikan selama bertahun-tahun tidak berubah, tertinggi di Jawa Barat disusul Jawa Timur.

Selain menghadapi persoalan putus sekolah, penyediaan layanan pendidikan juga tidak optimal karena banyaknya sekolah yang rusak. Dari 1.072.136 ruang kelas SD, hanya 26 persen yang kondisinya baik, sedangkan sisanya dalam kondisi rusak ringan, sedang, berat, hingga rusak total. Begitu pun di jenjang SMP, dari 358.361 ruang kelas, hanya 29 persen yang baik, sedangkan di SMA/SMK hanya sekitar 46 persen yang baik. Anggaran Rp 3,5 triliun per tahun tentu tidak cukup untuk perbaikan ruang kelas yang rusaknya sedemikian banyak.

Dalam persoalan tenaga pengajar, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan, guru harus berpendidikan minimal strata satu. Kenyataannya dari sekitar 3 juta guru, masih ada 491.871 guru di semua jenjang pendidikan yang belum sarjana.

Selain persoalan di atas, masih setumpuk lagi persoalan pendidikan yang menghadang di depan mata, terutama yang paling mendasar adalah aspek kualitas. Peserta didik, misalnya, hingga saat ini masih dihargai berdasarkan pencapaian nilai yang standarnya telah ditentukan pemerintah. Adapun pembentukan sikap dan karakter anak didik, membangun semangat, serta mengoptimalkan kebudayaan untuk membangun martabat bangsa masih kurang mendapat tempat.

Persoalan perbedaan kemampuan individu dan kreativitas juga kurang diperhatikan sejak pendidikan dasar hingga pendidikan menengah dan lanjutan. Semua peserta didik harus memiliki kemampuan minimal yang sama untuk mata pelajaran tertentu. Peserta didik yang menonjol dalam bidang tertentu, seperti seni dan olahraga, kurang mendapat ruang untuk maju dan berkembang.

Begitu pun persoalan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat serta dunia kerja, bahkan dengan tantangan bangsa di masa depan masih kurang diperhatikan. Berbagai persoalan ini tidak bisa diatasi sendiri oleh satu kementerian, tetapi membutuhkan peran serta segenap elemen bangsa.

Kompas, 3 Mei 2018