Enny Sri Hartati

Lebaran di Indonesia selalu menjadi peristiwa fenomenal tahunan. Hal ini tak terlepas dari rentetan tradisi dan ritual yang mengikuti perayaan Idul Fitri, terutama fenomena arus mudik atau pulang kampung Lebaran.

Tradisi mudik tidak sekadar mobilitas masyarakat dari kota besar ke daerah perdesaan semata. Mudik menjadi semakin unik karena berlangsung secara besar-besaran dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, tidak dimungkiri jika mudik juga memiliki dampak aktivitas ekonomi yang sangat besar. Namun, konsekuensinya juga menyisakan permasalahan transportasi yang cukup merepotkan, apalagi di Pulau Jawa.

Untuk mengantisipasi dan memecahkan problem kemacetan tersebut, pemerintah merekayasa dengan menambah masa cuti bersama Lebaran 2018. Libur Lebaran yang biasanya hanya berlangsung 4 hari kerja ditambah menjadi 7 hari kerja. Secara umum pada kalender 2018, tanggal merah cuti bersama hanya pada 13, 14, 18, dan 19 Juni 2018. Namun, melalui surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, cuti ditambah tiga hari menjadi tanggal 11, 12, 13, 14, 18, 19, dan 20 Juni. Dengan demikian, total libur Lebaran 2018 berlangsung hampir selama dua minggu, yakni 11-20 Juni 2018. SKB tersebut berlaku tak hanya untuk aparatur sipil negara (ASN), tapi juga bagi pegawai swasta, kalangan TNI, Polri, dan BUMN.

Bagi dunia usaha, durasi libur tujuh hari kerja ditambah hari libur normal pada Sabtu dan Minggu itu cukup memberatkan, apalagi hal itu diputuskan mendadak, kurang dari sebulan dari waktu pemberlakuan. Tentu banyak pelaku usaha yang belum mengantisipasi, seperti mengatur jadwal ulang jam kerja agar tetap dapat mencapai target produksi sebelum masa libur Lebaran. Konsekuensinya, ketika harus mengejar target produksi untuk memenuhi kebutuhan Lebaran, bisa jadi pelaku usaha harus membayar uang lembur.

Meskipun cuti bersama bagi sektor swasta bersifat fakultatif atau tidak wajib, hal itu tetap berpotensi menyulitkan dan menghambat kelancaran kinerja perusahaan. Dengan banyaknya kantor pemerintah yang libur cukup lama, proses pelayanan publik akan terlambat. Apalagi, pelayanan publik yang vital, seperti layanan transaksi perbankan, logistik, dan bea cukai, sangat membutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu. Keterlambatan dapat berdampak pada pembengkakan biaya operasional yang berujung menambah inefisiensi. Bahkan, jika keterlambatan mencapai batas toleransi dalam perjanjian atau kontrak kerja, hal itu dapat berakibat fatal dan berujung pada kerugian besar.

Padahal, saat ini dunia usaha, terutama sektor manufaktur, menghadapi tekanan berat akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Di tengah ketergantungan bahan baku impor, depresiasi rupiah semakin menambah ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, libur panjang Lebaran kali ini dikhawatirkan justru semakin menambah beban sektor industri. Sektor lain yang berpotensi mengalami dampak cukup signifikan adalah kelistrikan. Dengan banyaknya perkantoran dan kegiatan industri yang libur panjang, konsumsi listrik juga akan menurun signifikan. Karena itu, PLN menawarkan paket diskon terhadap industri selama libur Lebaran. Beberapa industri yang lahap listrik, seperti industri tekstil, tertarik memanfaatkan insentif tersebut. Namun, persoalannya, dengan mempekerjakan karyawan pada hari libur tentu berimplikasi pada penambahan uang lembur.

Tidak dimungkiri, libur panjang Lebaran berpotensi menggerakkan sektor konsumsi masyarakat, terutama di sektor makanan dan minuman, transportasi, komunikasi, hingga restoran dan hotel. Mungkin pemerintah berasumsi, dengan pemberian tunjangan hari raya (THR) yang dibarengi dengan gaji ke-13 sebelum libur Lebaran akan berdampak langsung dan signifikan terhadap peningkatan konsumsi masyarakat. Bahkan, pemerintah juga mengimbau pemerintah daerah melakukan hal yang sama. Imbauan ini sempat menimbulkan pro dan kontra di sejumlah daerah. Sebab, selain persoalan kemampuan fiskal antardaerah yang berbeda-beda, kebijakan dadakan tersebut belum masuk dalam proses penganggaran APBD.

Konsumsi

Peningkatan belanja pemerintah melalui THR ataupun gaji ke-13 sebelum libur Lebaran bisa jadi akan berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga. Namun, seberapa besar dampak bergandanya sangat bergantung pada kondisi daya beli masyarakat dan beban pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Secara statistik, angka inflasi dalam tiga tahun terakhir tergolong rendah. Namun, besar kemungkinan hal tersebut justru merupakan imbas dari penurunan daya beli masyarakat. Apalagi, sekalipun harga kebutuhan pokok diklaim cukup stabil, stabil dalam level cukup tinggi.

Sementara itu, sektor pariwisata yang diharapkan mampu menyedot masyarakat selama libur panjang juga masih menyisakan banyak persoalan. Beberapa daerah tidak memiliki kreativitas dalam mengoptimalkan momentum arus mudik. Destinasi-destinasi di sejumlah daerah hanya berlangsung secara biasa, tidak ada kegiatan khusus yang dikreasikan untuk menarik para pemudik. Alhasil, peningkatan arus wisatawan selama libur panjang juga belum tentu optimal. Oleh karena itu, nantinya, keputusan penetapan libur panjang Lebaran mesti dievaluasi dan direncanakan secara lebih komprehensif.

Beberapa negara yang memiliki empat musim memang sering memberikan libur panjang, misalnya libur musim panas atau musim dingin. Selain untuk menyiasati pengaruh cuaca yang ekstrem, negara-negara tersebut juga telah memiliki produktivitas tinggi. Bahkan, libur panjang justru banyak digunakan untuk bepergian ke luar negeri dan memanfaatkan waktu bersantai. Salah satu harapannya ketika musim libur selesai, hal itu akan kembali memacu produktivitas dalam bekerja.

Sebaliknya, kondisi produktivitas sektor riil di Indonesia sedang dalam kondisi menurun. Saat ini tingkat utilisasi di banyak perusahaan hanya sekitar 70 persen. Sektor riil menghadapi tekanan persaingan yang ketat akibat tekanan ekonomi berbiaya tinggi di dalam negeri, mulai dari biaya energi dan biaya logistik yang mahal sampai dengan peningkatan bahan baku impor akibat depresiasi rupiah. Oleh sebab itu, libur Lebaran yang cukup panjang tentu memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap biaya tetap. Secara kasatmata, dengan hari kerja sekitar 20 hari kerja, perusahaan tetap harus membayar upah tenaga kerja secara penuh, sebulan.