Baru saja ada edaran dari BKN yang melarang dan memberikan ancaman sanksi kepada aparatur sipil negara jika menyebarkan berita bohong, mengkritik Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan pemerintah.

Mengapa Badan Kepegawaian Negara (BKN) memberikan edaran larangan dan ancaman kalau di dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dinyatakan bahwa UU ASN itu dilaksanakan berdasarkan perlindungan lembaga sistem merit (merit system protecting board). Siapa pun yang memahami sistem merit jelas akan tahu bahwa manajemen aparatur atau kepegawaian negara harus dilaksanakan dengan jujur, tidak berbohong, profesional, disiplin, loyal, dan setia pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, bukan oleh kedekatan kekuasaan politik.

Dalam UU itu, ASN sama sekali tidak diperbolehkan membuat berita bohong, apalagi bertentangan dengan konstitusi kita, dengan Pancasila dan NKRI. Mengapa harus ada edaran BKN, bukankah ini suatu gejala  pelaksanaan UU ASN penuh rekayasa politik. Karena ada ancaman teroris dan orang-orang radikal masuk menjadi ASN barangkali lalu kemauan politik pemerintah dilakukan oleh BKN.

Dalam UU ASN, BKN sendiri bukan lembaga pembuat kebijakan, melainkan lembaga pelaksana kebijakan. Adapun yang membuat kebijakan itu adalah presiden yang  bisa dilimpahkan kepada menteri (dalam hal ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi beserta Komisi Aparatur Sipil Negara). Jika ini dibiarkan, lembaga pelaksana bisa membuat  policy yang sebenarnya bukan wewenangnya, maka tata kelola administrasi dan manajemen pemerintahan ini menjadi kacau-balau.

Manajemen kekuasaan

Dalam organisasi pemerintahan ataupun non-pemerintahan, kekuasaan atau kata lain wewenang merupakan identitas atau nyawa dari organisasi tersebut.  Organisasi disusun berdasarkan hierarki kekuasaan ini yang membujur dari  posisi atas sampai ke bawah. Hierarki posisi atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada hierarki di bawahnya. Atau, kalau dilihat dari perspektif ilmu kebijakan, posisi hierarki atas adalah pemegang kekuasaan membuat kebijakan dan hierarki posisi bawah adalah pemegang pelaksana kebijakan.

Praktik kekuasaan itu bisa dilakukan bernada keras, seperti ancaman, paksaan, hukuman, denda, dan teguran jika aturan atau kebijakan tidak dilaksanakan atau dilanggar. Ada juga yang bernada sejuk, seperti bimbingan, arahan, dialog, musyawarah, FGD, dan sejenisnya. Jenis praktik kekuasaan itu sangat bergantung pada kualitas dan mentalitas , termasuk pendidikan dari pribadi pemegang posisi kekuasaan.

Nada praktik kekuasaan yang keras sudah banyak disarankan untuk ditinggalkan dan dianjurkan banyak diterapkan nada kekuasaan yang lembut. Pendekatan lembut ini banyak dikenal dengan sebutan human being management approach,  pendekatan manajemen dengan menitikberatkan hubungan kemanusiaan. Walaupun pemegang posisi hierarki bawah adalah bawahan atau subordinasi yang bisa dijatuhi sanksi, hukuman, dan sejenisnya, mereka itu adalah manusia. Maka, unsur manusia harus diletakkan lebih lembut.

ASN adalah aparatur negara sipil yang jumlahnya cukup banyak untuk diperebutkan oleh politik, apalagi di tahun politik seperti sekarang ini. Ketika calon diangkat sebagai aparatur negara, mereka telah disumpah untuk mempertahankan dan melaksanakan Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan setia kepada pemerintah. Apalagi, sistem merit dilaksanakan dengan konsekuen, lalu  apa gunanya edaran BKN itu kalau tidak bermaksud  mempraktikkan  gaya manajemen kekuasaan yang otoriter?

Gaya manajemen kekuasaan yang keras dan otoriter ini sudah banyak dikecam oleh  para ahli, terutama Dr Mario Baggini, Menteri Administrasi Negara Italia. Menteri Mario, tahun 2005, menulis buku yang menjelaskan budaya baru dalam manajemen pemerintahan yang dikenal dengan sebutan manajemen kemanusiaan tersebut. ASN dengan sistem merit amat cocok dengan pendekatan manajemen kemanusiaan ini. Semua proses aktivitas manajemen ASN, mulai dari proses perekrutan sampai pensiun, dilakukan dengan cara-cara yang profesional, berdasarkan kejujuran, kompetensi, keahlian, kedisiplinan, dan loyalitas pada peraturan dan kebijakan pemerintah.

Lazimnya di negara demokratis, semua parpol yang ikut terlibat merebutkan kemenangan mendapatkan kekuasaan dalam pemerintah. Dengan demikian, di dalam negara yang demokratis suatu pemerintahan itu pasti dipimpin dan dilaksanakan oleh partai politik yang memenangi pemilu. Di sinilah perlu dijaga sistem merit agar hubungan ASN dengan partai politik pemegang kekuasaan pemerintah bisa sesuai dengan yang diharapkan oleh sistem merit dan bukan lalu menjadi patron-klien atau onderbow parpol.

Sistem merit

Hakikat sistem merit itu adalah menjaga agar setiap aktivitas proses manajemen personalia, mulai dari aktivitas perekrutan sampai pensiun, adalah netral. Arti netral ialah tidak memihak salah satu atau banyak hal pada kekuatan penekan, seperti politik, ekonomi,  agama, etnis, dan famili atau keluarga. Netral menjaga jarak dalam proses pengelolaan personalia dengan kekuatan-kekuatan yang disebutkan itu. Penjaga dan pelaksana  jarak yang netral itu adalah penguasa pemerintah pemegang kekuasaan dalam proses pengelolaan personalia tersebut.

Kalau dalam hal ini pemerintah adalah penguasa pemegang dan pelaksana, maka pejabat pemerintah harus berjiwa netral dan tak mudah diintervensi oleh kekuatan penekan ekonomi, semisal gratifikasi dan suap yang banyak menggoda. Tidak juga boleh dan mudah ditekan oleh kepentingan politik dari partai politik tertentu, semisal mempromosikan kader partainya. Juga tidak boleh karena pertimbangan mengangkat famili atau sukunya karena kedekatan agama. Hal inilah definisi netral dalam ASN, yang kalau kita ikuti secara mendasar, ia dibangun dari prinsip kejujuran, loyalitas, kedisiplinan, profesionalitas, dan keahlian dalam netralitas itu.

Dengan demikian, sistem merit atau prinsip netralitas ASN itu ingin membangun kekuatan sumber daya manusia  aparatur yang baik untuk memperkuat pelaksanaan manajemen good government. Sistem merit ini dahulu, sebelum pemerintahan era reformasi, sudah dikenal tetapi dijalankan tidak semestinya. Sistem merit dijalankan sangat  berdasarkan kedekatan  dengan  politik yang berkuasa. Banyak proses pengangkatan dan promosi jabatan dilakukan berdekatan dengan politik yang mengangkat. Sekarang, UU ASN meluruskan cara-cara yang bengkok tersebut.

Kedudukan ASN sebagai aparatur negara sebenarnya sama dengan kedudukan TNI dan kepolisian yang menjunjung prinsip netralitas dari intervensi kekuatan  penekan tersebut. Seharusnya, dalam proses politik seperti pemilu dan pilkada, ASN dan keluarganya tidak punya hak memilih dan dipilih seperti  TNI  dan Polri bersama keluarganya. Dengan begitu baru netralitas bisa dirasakan oleh ASN dan warganya. Sistem merit itu adalah suatu sistem yang melembaga dalam proses pengelolaan personalia. Sistem yang melembaga itu adalah suatu sistem yang harus dijalankan sehari-hari  setiap waktu.

Selain prinsip netralitas dan kejujuran tersebut, ada ketentuan yang konsekuen dalam sistem merit yang tidak boleh dilupakan. Ketentuan itu adalah (seperti di AS) bahwa partai politik yang memerintah pemerintah atau negara harus melepaskan identitas kepentingan partainya. Adapun yang harus diwujudkan dalam jabatannya itu  adalah untuk mewujudkan cita-cita negara. Pejabat yang memegang jabatan kekuasaan pemerintah atau negara disebut pejabat negara, bukan pejabat politik. Jika ketentuan dalam sistem merit ini dipahami semua partai yang memerintah atau yang akan memerintah, proses pengelolaan ASN akan dijalankan dengan baik dan tidak akan menghadapi banyak persoalan.

Sebenarnya prinsip seperti ini jika pemilihan umum yang akan diadakan itu akan melahirkan pemerintahan dan kabinet presidensial, maka keahlian dan kebijakan presiden dalam membentuk jabatan kekuasaan di kabinetnya dilakukan dengan prinsip merit ini. Artinya, janganlah banyak diisi oleh orang-orang partai pendukung yang tidak mau meninggalkan identitas partainya, tetapi diisi oleh pejabat-pejabat yang bisa melepaskan identitas partainya menjadi pejabat negara yang profesional.

Dua masa kabinet presidensial hasil pemilu yang menghasilkan kabinet SBY dan Jokowi sarat dengan identitas partai. Tidak heran  jika kita melihat warna dasi yang dipergunakan menteri, bahkan presiden, menggunakan warna dan simbol warna partai politiknya. Oleh karena itu, presiden yang akan datang—walaupun berasal dan dicalonkan oleh partai politik—bisa memegang prinsip sistem merit ini dan tidak membawa identitas partainya, melainkan identitas profesionalisme dan kualitas keahlian untuk kepentingan negara dan bangsanya.

ASN di tahun politik

Jumlah keberadaan dan kehidupan partai politik di negara kita  sekarang ini sangat banyak. Ada kurang lebih 10-14 partai politik yang bertarung merebutkan kekuasaan di pemerintahan.

Jika sistem merit tidak dilaksanakan dengan jujur dan konsekuen, ASN akan menghadapi banyak persoalan. Apalagi ketika parpol tersebut memenangi pemilihan umum dan memimpin pemerintahan, di sinilah ASN jadi subordinasi partai yang memerintah: ke mana dan bagaimana ASN akan berjalan sangat bergantung pada aspirasi dan kepentingan partai yang memerintah.

Contoh praktik intervensi politik dari partai politik banyak terjadi di pemerintahan daerah. Apabila bupati atau wali kota yang dicalonkan partai politik memenangi pilkada, ASN menjadi  dan berada dalam kekuasaan bupati dan wali kota tersebut, terlebih karena kepala daerah dijadikan pembina karier ASN. Jika pemegang kekuasaan partai yang memerintah mempergunakan gaya pendekatan kekuasaan yang keras, edaran BKN itulah contoh yang  akan kita jumpai dan ASN menjadi alat politik dari partai politik yang memerintah.

Oleh karena itu, menghadapi tahun politik yang rutin setiap lima tahun sekali, perlu dipikirkan dan dirancang upaya untuk merevisi UU ASN yang masih banyak menimbulkan pertanyaan tentang hakikat netralitas. Pasal dalam UU ASN yang membicarakan tentang pejabat pembina karier ASN dipegang oleh pejabat politik (presiden, menteri, dan kepala daerah) kiranya dipikirkan kembali selama pejabat-pejabat tersebut masih lazim disebut pejabat politik yang membawa identitas partainya. Demikian pula calon yang diseleksi oleh tim seleksi yang netral dan profesional sebaiknya tim seleksi jangan mengajukan tiga calon yang disampaikan kepada pembina yang berhak mengangkatnya, tetapi hanya mengajukan satu calon yang sesuai dengan sistem merit sehingga pejabat pembina tidak ada pilihannya.

Selain itu, di masa depan hubungan antara Kementerian PAN-RB dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam kewenangannya mengatur, mengelola, dan melaksanakan kebijakan seluruh aktivitas ASN perlu diperjelas. Kementerian PAN-RB karena masih ditempati oleh menteri dari partai politik sebaiknya bukan menangani ASN lagi. Kementerian PAN-RB nantinya seperti di Italia dinamakan Kementerian Administrasi Negara, yang hanya menangani masalah-masalah yang berkaitan untuk menciptakan sistem manajemen pemerintahan yang baik dan melahirkan tata kelola manajemen pemerintahan yang baik. Sementara masalah-masalah seluruh aktivitas ASN kekuasaannya menjadi kewenangan KASN  yang kedudukannya diletakkan langsung di bawah presiden. Adapun BKN dan Lembaga Administrasi Negara sebagai lembaga pelaksana kebijakan yang ditetapkan oleh KASN.