KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

J Kristiadi

 

Bulan suci Ramadhan, momen sakral sebulan penuh melawan segala godaan nafsu kenikmatan ragawi dengan laku menyangkal diri (self-denial), guna menemukan jati diri sebagai manusia yang memuliakan nilai-nilai luhur, telah dilampaui dan dirayakan dengan kemenangan pada 1 Syawal 1439 Hijriah. Kemenangan kian menggetarkan karena disertai saling memaafkan sebagai manifestasi dari sikap asketik (ascetic) kontemplasi serta introspeksi atas segala perilaku yang menodai dan merugikan sesama. Suasana kebatinan publik sangat sejuk karena dipeluk oleh belaian kedamaian yang menghanyutkan.

Dalam perspektif membangsa dan menegara, merayakan kemenangan di Idul Fitri adalah kemenangan Indonesia. Sekat-sekat pekat akibat perbedaan primordial lumer karena belaian penuh kasih dan rahmat dari kemampuan menaklukkan godaan serta memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Intinya, hakikat semua manusia sama di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, Idul Fitri menjadi babak baru menjalani kehidupan yang lebih baik.

Kemenangan hari raya tahun ini amat bermakna karena bangsa Indonesia dihadapkan oleh tantangan melawan nafsu berebut kekuasaan dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Banyak kalangan mengkhawatirkan kompetisi politik serial kali ini akan sangat keras karena nuansa "kalah-menang" seakan menjadi pertaruhan antara hidup dan mati, selain politik identitas dijadikan jurus memenangi kompetisi politik yang seharusnya mengutamakan rasionalitas.

Namun, suasana kebatinan bulan suci Ramadhan serta gema merayakan kemenangan di Idul Fitri telah mampu menjadikan "pemanasan" politik justru mendinginkan suasana kontestasi.

Simtom yang secara sporadis ingin menggoda kesucian bulan puasa dengan jargon politik tidak mempan karena tekad untuk mencapai kemenangan hakiki jauh lebih besar. Bermodalkan "pemanasan yang mendinginkan" tersebut, sangat diharapkan serial kompetisi politik tidak dicederai oleh nafsu eksesif dalam memperoleh kemenangan.

Momentum politik yang sejuk harus dirawat agar kompetisi politik dapat menjadi instrumen bangsa, tidak hanya dalam memilih pemimpin, tetapi juga menjadi modalitas konsolidasi ideologi dan wawasan bangsa. Mempermainkan politik identitas sebagai alat politik hanya akan memorakporandakan bangsa.

Energi bangsa

Prinsip hidup bersama yang memuliakan nilai-nilai yang telah disepakati menjadi amat mendesak diwujudkan mengingat bangsa Indonesia telah merdeka selama lebih dari 70 tahun dan reformasi politik yang berlangsung dua dekade, tetapi bangsa ini masih mudah terjebak dalam pusaran konflik primordial akibat dorongan libido kekuasaan yang terlalu menggebu-gebu. Padahal, Indonesia mempunyai segala persyaratan menjadi bangsa besar. Oleh karena itu, yang sangat diperlukan dewasa ini adalah konsolidasi niat bersama untuk mewujudkan kepentingan nasional. Dengan begitu, energi bangsa tidak terkuras hanya untuk mengurus isu-isu sektarian yang bolak-balik disalahgunakan untuk kepentingan politik sempit. Energi bangsa harus dimanfaatkan untuk menghadapi tantangan yang lebih besar, yaitu kompetisi dan persaingan di tataran internasional.

Indonesia diakui, bahkan dipuji, sebagai bangsa yang bermartabat, toleran, demokratis, dan sebagainya. Namun, masih banyak tantangan lain yang dihadapi, terutama kemampuan daya saing ekonomi, sumber daya manusia, dan lain-lain yang masih kedodoran. Mengatasi ketertinggalan dan meningkatkan daya saing memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, sembari merancang agenda masa depan, energi bangsa sangat diperlukan untuk menyusun siasat guna mencari terobosan dalam kompetisi global yang semakin keras. Misalnya, isu-isu yang sering menjadi batu sandungan kebijakan Indonesia, antara lain perubahan iklim, politik perkelapasawitan, lingkungan hidup, dan isu-isu lain yang dijadikan alat politik dagang bagi negara-negara besar.

Melawan negara-negara super power tak cukup hanya berteriak di jalan sambil memaki-maki di depan kantor kedutaan besar negara mereka. Melawan negara besar harus disertai kemampuan membuat siasat yang cerdik dan kekuatan politik domestik.

Sekadar ilustrasi, perundingan antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump beberapa hari lalu. Terlepas dari karakter kekuasaan Kim yang despotis, bahkan dianggap brutal dewasa ini, Kim pun dinobatkan sebagai pemenang. Majalah The Economist (9-15 Juni 2018) memberi julukan Kim Jong Won, kira-kira maksudnya "Kim Si Pemenang".

Bahkan, konon tujuan utama Kim merencanakan percobaan nuklir adalah memaksa AS kembali duduk di meja perundingan.

Indonesia memang bukan Korea Utara yang dipimpin oleh seorang diktator. Namun, pelajaran yang bisa ditarik dari kemenangan Kim adalah kemampuan mengonsolidasikan kekuatan domestik disertai kepiawaian mengatur siasat sehingga dapat membuat gentar negara sebesar AS.

Indonesia sebagai negara yang bermartabat tentu mempunyai jurus lain. Namun, jurus tersebut hanya ampuh kalau energi politik domestik secara demokratis dapat dikonsolidasikan, dan kemudian digunakan untuk menyusun siasat di percaturan global demi kepentingan nasional, bukan adu cerdik saling menghancurkan sesama anak bangsa. Dengan demikian, masyarakat yang adil dan bahagia segera akan menjadi kenyataan.