Mereka sama-sama menunjukkan aspek kebersamaan atau inklusivitas dari praktik ekonomi di Indonesia, baik pada tingkat pasar maupun perilaku ekonomi akar rumput. Meskipun demikian, moralitas tersebut atau paradigma EPP belum menjelma ke dalam struktur pasar ekonomi makro pada aras negara.

Aspek kebersamaan atau inklusivitas secara konstitusional, telah kita ketahui terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945. Konstitusi tersebut masih mempertahankan aspek "kebersamaan" sebagai paradigma Ekonomi Pasar Pancasila (EPP).

Oleh karena itu, izinkan saya untuk membahas aspek inklusivitas dalam EPP. Lebih dari itu yang juga belum di bahas oleh Didin S Damanhuri dan Fachry Ali adalah menjadikan kebersamaan sebagai paradigma ekonomi pertahanan (EP) dalam EPP guna mencapai kesejahteraan rakyat dan kedaulatan ekonomi secara semesta.

Ekonomi kebersamaan

Praktik kebersamaan dalam ekonomi pasar telah tergerus oleh paradigma pasar liberal maupun neoliberal yang penuh kompetisi atau persaingan. Dalam persaingan, yang lemah dan kecil cenderung gugur melawan yang kuat dan besar.

Aspek "kecil itu indah" dari Schumacher penting untuk diperhatikan dalam konteks pasar yang penuh dengan kompetisi. Si kecil di tingkat akar rumput, seperti yang telah dijelaskan oleh Fachry Ali melalui fenomena perilaku ekonomi Abun dan Andi dan "Nusantaranomic" dari Didin dengan contoh kewirausahaan kolektif di Bengkulu dan Jawa Barat, menunjukkan pentingnya praktik kebersamaan.

Sebagai tambahan, fenomena baretoang yang pernah dilakukan oleh wirausaha Minang dengan warung makannya di masa lalu juga bentuk kebersamaan.

Secara harfiah baretoang artinya berhitung yang bermakna "bagi hasil" berdasarkan kesepakatan. Dalam sistem ini pemilik kedai menyepakati hasil perjanjian dengan tenaga kerjanya tentang bagi hasil antara 50:50 bahkan 40:60 untuk pemodal dan pekerja dari penghasilan bersih. Misalnya,  penghasilan bersih sebesar Rp 68 juta per hari pertama-tama dikurangi zakat dari penghasilan sebesar 2,5 persen (Rp 1.700.000). Sisanya, Rp 66,3 juta dibagi dua, yaitu untuk pemodal 50 persen (Rp 33.150.000 kemudian 50 persen sisanya diberikan kepada tenaga kerjanya sesuai hierarki kerja. Misal juru masak memiliki nilai sebesar 6 mato, asisten juru masak 5 mato, kasir 4 mato, pelayan merangkap cuci piring 3 mato. Maka, untuk posisi tertinggi memperoleh gaji pokok sebesar 6/50 x Rp 33.150.000= Rp 3.978.000 dan terendah sebesar 3/50 x 33.150.000= Rp 1.989.000. Sisa setelah pembagian juga dibagikan kepada tenaga kerja sesuai hierarki.

Prinsip baretoang menunjukkan prinsip ekonomi kebersamaan karena jika usaha tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi, hasil dari pertumbuhan tersebut juga meningkatkan daya beli dan kesejahteraan bukan hanya pemilik modal, juga karyawannya. Prinsip bagi hasil tersebut, dalam praktiknya mendorong solidaritas kerja dan kinerja keseluruhan tim jadi lebih produktif untuk memperoleh bagi hasil yang tinggi.

Prinsip ekonomi tersebut berjalan tanpa kehadiran negara untuk menentukan bagi hasil, tetapi lebih merupakan kesepakatan antara pemilik modal dengan karyawannya. Meski demikian, prinsip baretoang kalah dengan sistem penggajian mingguan atau bulanan kepada pekerjanya.

Hal ini dapat terjadi karena tingginya persaingan pasar, terutama persaingan antarpemilik kedai. Di sini pemilik modal perlu menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu dan memungkinkan memberhentikan tenaga kerja jika kalah bersaing di pasar bebas.

Dalam konteks pasar yang kempetitif, upaya untuk meletakkan kebersamaan ke dalam struktur pasar memerlukan kehadiran negara meskipun tidak harus instrumental. Negara memiliki kekuatan untuk meletakkan paradigma kebersamaan dalam praktik EPP merupakan keniscayaan yang perlu dilakukan sebagai wujud dari EP.

EPP sebagai EP

Sementara ini, ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia masih menggunakan instrumen pertumbuhan ekonomi berbasis data produk domestik bruto (PDB). Ini adalah angka agregat dari semua sektor ekonomi yang menyumbang negara.

Instrumen tersebut sering digunakan sebagai janji politik bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan meningkat, tetapi tidak menjanjikan distribusi ekonomi dan menurunkan rasio gini yang merefleksikan kesenjangan sosial ekonomi masyarakatnya.

Penggunaan PDB telah dikritik oleh Joseph Stiglitz dan Amartya Sen, bahwa instrumen tersebut tidaklah berpihak pada kesejahteraan sosial yang merata. Akibatnya, konsentrasi pada pertumbuhan ekonomi saja cenderung menghasilkan pelebaran kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menjadikan paradigma kebersamaan dalam instrumen PDB dengan pertumbuhan yang inklusif.

Dalam konteks inilah saya sepakat dengan Didin bahwa "energi agama dalam  kenegaraan" perlu hadir untuk mengatasi masalah kesenjangan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Energi agama dalam EPP ini menjadikan cara pandang Didin berbeda dengan Stiglitz dan Sen, meski mungkin Didin secara tersirat masih menggunakan PDB sebagai instrumen untuk mengukur pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, EPP yang dibayangkan oleh Fachry sebagai CMEs (Coordinated Market Economies) atau ekonomi pasar sosial (EPS) diperlukan sebagai struktur yang membingkai perilaku ekonomi di tingkat mikro sebagai inspirasi struktural di tingkat makro. Fachry juga meyakini energi agama penting dalam EPP, tetapi bagaimana implementasinya masih belum terjelaskan. Selain itu, Didin dan Fachry tidak meletakkan prinsip EPP sebagai EP yang mestinya juga menjadi bagian dari paradigma EPP.

Sistem pertahanan Indonesia pada dasarnya menggunakan "pertahanan semesta" dengan melibatkan seluruh warga negara dalam mempertahankan negara dari ancaman, baik perang maupun selain perang. Dalam konteks ekonomi, persaingan ekonomi pada dasarnya adalah perang ekonomi. Ekonomi pertahanan semesta memerlukan solidaritas dan kebersamaan di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. EPP dengan demikian perlu menganut prinsip EP semesta untuk menjaga ketahanan ekonomi, baik di tingkat mikro maupun makro.

Energi agama dalam EPP perlu dipahami sebagai energi yang bersifat generik untuk mengedepankan solidaritas dan kebersamaan dalam berekonomi.  Oleh karena itu, paradigma ekonomi pertahanan semesta dalam EPP perlu memperlakukan pasar bukan sebagai tempat persaingan ekonomi, seperti halnya ekonomi liberal maupun neoliberal, melainkan sebagai ruang untuk berbagi pasar dengan membangun coordinated supply and market chains (mata rantai pengadaan dan pasar yang terkoordinasi) bersifat semesta agar dapat berbagi pasar.  Prinsip berbagi pasar tersebut perlu diikuti dengan penerapan pertumbuhan ekonomi yang inklusif guna mencapai kesejahteraan bersama pada tingkat negara dan masyarakatnya.

Peran negara diperlukan untuk mengoordinasi prinsip berbagi pasar secara terintegrasi. Namun, setiap agensi pengadaan dan pasar bergerak bebas dalam kebersamaan. Misalnya, inti industri bertugas hanya menghasilkan produk yang jadi kompetensinya, sementara mata rantai pengadaan bahan dasar, bahan pendukung, tenaga kerja, dan pemasaran domestik atau internasional dijalankan oleh agensi yang berbeda dalam mata rantai pasar yang berbagi. Mata rantai pengadaan dan pasar berbagi secara teoretis dapat menurunkan gini rasio karena melibatkan pelaku pasar secara semesta dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara inklusif.

EPP sebagai EP dirancang untuk mengelola perilaku ekonomi guna menghindari pemusatan kekayaan pada sedikit orang yang berhasrat memengaruhi sistem politik. Desain EPP sebagai EP perlu dirumuskan sebagai paradigma nasional, sekaligus sebagai pengetahuan berekonomi untuk mencapai kesejahteraan secara bersama (inklusif).