Bolehkah kepala daerah mendepositokan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah? Adakah deviasi dan risiko korupsi dalam pengelolaan dana deposito? Apa implikasi mendepositokan dana APBD terhadap penyediaan dan pelayanan layanan publik?
Lalu, bagaimana relasi kepala daerah, yang pada saat bersamaan berperan ganda sebagai pemegang saham dan juga sebagai deposan, dengan bank umum tempat ia mendepositokan dana APBD- nya ? Bagaimana memperkuat efektivitas kontrol publik dalam pengelolaan deposito?
Itulah rangkaian pertanyaan yang ingin dijawab dalam riset kolaboratif antara Beyond Anti Corruption dan Perkumpulan Inisiatif bertajuk "Penelusuran Deposito Pemprov Jabar dan Kota Bandung (2016-2017)".
Kerangka kelembagaan
Landasan hukum/normatif tentang penempatan uang negara pada bank umum cukup jelas, lengkap , dan kokoh. Dimulai dari undang-undang (tentang pemerintahan daerah dan keuangan negara), peraturan menteri, peraturan dirjen, sampai pada peraturan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota). Secara spesifik penempatan uang negara pada bank umum diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan No 3/PMK.05/2014 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum.
Oleh karena itu, kepala daerah yang ingin mendepositokan sebagian dana APBD-nya pada bank umum tidak perlu ragu. Pendapatan dari bunga deposito merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang penting. Sebagian besar, kalau tak semua, pemda mempraktikkan penempatan uang negara pada deposito durasi sebulan, maksimum tiga bulan.
Mekanisme penempatan uang negara di daerah (pemerintah provinsi/kabupaten/ kota) dalam bentuk deposito diawali dengan langkah Bendahara Umum Daerah (BUD) yang membuat usulan kepada kepala daerah mengenai besaran nominal deposito, jangka waktu deposito, beserta bank yang ditunjuk. Sebelumnya BUD membuat perjanjian kerja sama antara BUD dan bank umum dengan persetujuan kepala daerah. Jangka waktu dan besaran uang daerah yang akan diinvestasikan dalam bentuk deposito pada bank umum disesuaikan dengan kemampuan dan likuiditas keuangan daerah.
Kalau usulan BUD disetujui oleh kepala daerah, BUD membuat surat pemindahbukuan dana ke Bank Penatausahaan selaku Kas Daerah untuk memindahbukukan Uang Daerah dalam bentuk deposito ke bank umum yang ditunjuk. Penerimaan bunga atas investasi uang daerah dalam bentuk deposito langsung dipindahbukukan ke Rekening Kas Umum Daerah. Setiap awal bulan BUD menyampaikan laporan atas pengelolaan deposito kepada kepala daerah.
Jadi, ada dua aktor penting dalam pendepositoan dana APBD, yaitu kepala daerah dan kepala BUD yang juga merangkap sebagai kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Secara tidak langsung sekretaris daerah (sekda), sebagai manajer APBD, tentu juga terlibat. Pertanggungjawaban BUD kepada kepala daerah di bawah koordinasi sekda.
Deposito gubernur dan wali kota
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Kang Aher), yang sepintas lalu mengesankan antiriba, ternyata gemar mendepositokan dana APBD-nya. Sepanjang tahun fiskal 2016-2017, dana yang Kang Aher depositokan berdurasi sebulan, secara kumulatif meningkat dari Rp 44,95 triliun menjadi Rp 47,60 triliun. Kedua angka nilai deposito itu melampau nilai APBD-nya sendiri. Nilai APBD Jabar tahun fiskal 2018 sebesar Rp 34,21 triliun. Jumlah dana yang didepositokan Kang Aher bervariasi dari bulan ke bulan, dari yang terkecil sampai yang terbesar.
Pada Juni 2017, ia mendepositokan dana APBD-nya senilai Rp 600 miliar. Sebulan sebelumnya Rp 6,8 triliun. Perolehan pendapatan dari bunga deposito, seperti yang dilaporkan pada Kemenkeu, mencapai Rp 1,035 triliun. Ini berarti Kang Aher mendapatkan tingkat bunga yang paling bagus: 2,75 persen per bulan! Jauh banget di atas tingkat bunga deposito pasar uang yang berada di kisaran 0,5 persen per bulan.
Sebelum terbitnya Permenkeu No 53/PMK.05/2017, tingkat bunga pasar itu jadi patokan (benchmark) remunerasi bunga bagi lembaga pemerintah yang menempatkan uang negara pada bank umum. Sekarang referensi tingkat bunga remunerasi penempatan uang negara pada bank umum itu tak diatur. Yang masih diatur adalah remunerasi minimal. Beleid permenkeu terbaru itu mengatur, remunerasi dari uang negara yang ditempatkan di bank umum minimal 87 persen dari BI Rate. Permenkeu sebelumnya remunerasi minimal itu 70 persen dari BI Rate. Barangkali Kemendagri atau Kemenkeu berminat memberikan penghargaan kepada Kang Aher sebagai gubernur "paling demen deposito".
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (Kang Emil) juga berdeposito ria. Selama kurun waktu 2016-2017, Kang Emil mendepositokan dana APBD-nya, secara kumulatif, menurun dari Rp 4,78 triliun menjadi Rp 2,62 triliun. Pada Januari 2016, Kang Emil mendepositokan dana APBD-nya, paling rendah senilai Rp 6,00 miliar. Paling tinggi Rp 1,01 triliun pada Oktober 2016. Tahun fiskal 2018, magnitudo APBD Kota Bandung mencapai Rp 6,93 triliun. Pendapatan dari bunga deposito pada 2016 mencapai Rp 25,01 miliar. Mirip Kang Aher, Kang Emil juga menikmati tingkat bunga deposito yang lebih tinggi daripada tingkat bunga deposito pasar uang.
Risiko korupsi
Ditengarai ada risiko korupsi dan deviasi yang tinggi dalam pengelolaan dana deposito pemda. Risiko korupsi atau deviasi itu berupa kemungkinan terjadinya suap, gratifikasi, atau kick back yang melibatkan aparat pemda atau manajer/pegawai Bank Umum Mitra Penempatan Uang Negara (Bumpun).
Ada tiga faktor yang memengaruhi tingginya risiko korupsi dalam pengelolaan deposito, yaitu: 1) dari sisi Bumpun, ada kerahasiaan perbankan, 2) dari sisi pemda, pengelolaan deposito yang memang tertutup, dan 3) padat konflik kepentingan.
Kombinasi faktor 1 dan 2 membuat pengelolaan dana deposito tertutup secara sempurna. Jangankan warga, atau publik, anggota DPRD pun banyak yang tidak tahu jumlah dan rincian dana yang didepositokan, tingkat bunga dan pendapatan dari bunga deposito riil yang diperoleh oleh pemda.
Ada dua cara bagi warga atau aktivis LSM mendapatkan data tersebut. Akan tetapi, kedua cara itu sama, berakhir buntu. Pertama, warga/LSM berusaha mendapatkan data rincian deposito pemda dari Bumpun, tapi terbentur pada kerahasiaan perbankan/nasabah. Kedua, memohon data ke pemda melalui Komisi Informasi Publik/KIP (Provinsi). Kalaupun menang dalam sengketa informasi, belum tentu sukses mendapatkan data tersebut.
Banyak contoh yang menunjukkan, lembaga publik mengabaikan/membangkang perintah keputusan pengadilan untuk memberikan informasi yang dimohon warga/LSM. Dalam keadaan seperti itu kontrol publik (dari warga, media, LSM, dan lain-lain) serta kontrol politik dari DPRD dipastikan tidak akan efektif. Lalu, bagaimana metode riset ini sampai bisa mendapatkan rincian data deposito Pemprov Jabar dan Kota Bandung?
Masifnya konflik kepentingan dalam pengelolaan deposito pemda karena gubernur/wali kota/bupati berperan ganda, selain sebagai deposan mereka juga adalah pemegang saham pada Bumpun tempat dana APBD didepositokan.
Gubernur Jabar itu pemegang saham terbesar dan deposan terbesar sebuah Bumpun. Meski lebih kecil, Wali Kota Bandung juga deposan sekaligus pemegang saham pada Bumpun tersebut. Bisakah dewan direksi Bumpun bersikap bebas dan mandiri ketika bertransaksi dengan pemegang saham terbesar?
Narasi praktik pendepositoan dana APBD yang terjadi di Pemprov Jabar dan Kota Bandung menyadarkan kita bahwa: 1) keterlambatan pembayaran honor guru honorer—yang kerap terjadi—bukan karena tidak ada dana, melainkan karena dananya didepositokan, 2) lambatnya daya serap APBD per kuartal bukan disebabkan oleh pejabat yang takut dikriminalisasi, melainkan dananya didepositokan, demikian juga, 3) kebiasaan menghabiskan anggaran di ujung tahun fiskal karena dananya didepositokan. Mungkin karena hal ini belanja pemerintah daerah kurang berefek dalam mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Tiga problem utama yang harus dipecahkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Perlu investigasi KPK dan Ombudsman
KPK dan Ombudsman perlu menindaklanjuti narasi praktik pengelolaan deposito yang dilakukan Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung tersebut dengan investigasi yang menyeluruh. KPK menangani unsur korupsinya. Ombudsman menangani praktik malaadministrasi pembangunan. Keterlambatan pembayaran honor guru honorer bisa jadi merupakan malaadministrasi. Demikian juga mengakhirkan pelaksanaan kegiatan pembangunan di ujung kuartal tahun fiskal.
KPK punya peluang besar menemukan adanya unsur tindak pidana korupsi dalam praktik pengelolaan deposito. Ada presedennya. Akhir Maret tahun ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Pinang memvonis Teungku Mukhtarudin (TM), mantan Bupati Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, 17 bulan penjara dan denda Rp 50 juta. Ia terbukti bersalah menerima gratifikasi berupa dana hasil penjualan 18 sepeda motor dan 1 mobil Fortuner senilai Rp 851 juta. Kasus yang membelit TM terkait dengan keputusannya mendepositokan dana APBD Anambas tahun fiskal 2011-2012 senilai Rp 120 miliar di Bank Syariah Mandiri Cabang Tanjung Pinang.
Untuk penempatan dana APBD sebesar itu, pihak bank memberikan hadiah berupa 25 sepeda motor dan 1 mobil Fortuner. Seharusnya semua hadiah tersebut menjadi milik Pemkab Anambas, tetapi justru dimiliki dan dinikmati para terdakwa. Terdakwa lain dalam kasus ini adalah Ivan, mantan pegawai bagian keuangan Pemkab Anambas. Ia dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Mendepositokan dana APBD miliaran rupiah sudah sebanyak itu hadiahnya, apalagi kalau triliunan? Siapa yang menikmati hadiah-hadiah deposito Pemprov Jabar dan Kota Bandung? Boleh jadi di balik tingkat bunga deposito yang tinggi yang dinikmati Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung ada dana kick back. Beberapa warga aktif sudah melaporkan kasus "Depositogate" yang terjadi di Pemprov Jabar dan Kota Bandung ini ke KPK. Dari situlah KPK bisa memulai menyelidik.
Temuan studi ini bisa jadi muatan dan amunisi penting bagi warga aktif dan aktivis organisasi masyarakat sipil untuk, pertama, mendesak KPK dan Ombudsman menginvestigasi dan membuka tabir praktik pengelolaan deposito di Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung. Bisa jadi praktik seperti ini terjadi juga di pemerintah daerah yang lain. Jadikan investigasi dan intervensi praktik pengelolaan di kedua pemda ini sebagai titik berangkat, secara khusus perbaikan pengelolaan deposito dan secara umum perbaikan pengelolaan APBD.
Kedua, mendesak Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung mengembangkan tata kelola deposito yang lebih transparan, akuntabel, dan partisipatoris. Ketiga, mendesak Kemenkeu dan Otoritas Jasa keuangan (OJK) untuk meningkatkan efektivitas fungsi kontrolnya. Fungsi kontrol yang efektif dari Kemenkeu dan OJK akan menekan risiko korupsi dan deviasi dalam pengelolaan deposito pemda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar