Seperti umumnya berlaku dan terjadi di negara-negara di kawasan Asia, bagi Indonesia beras bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga politik.
Apa pun bisa dikemas menjadi isu terkait komoditas yang satu ini, baik isu positif maupun negatif. Ketika membiarkan harga beras tidak terkendali, terus naik dari hari ke hari atau di level tinggi, pemerintah dianggap tidak peduli kepada rakyat. Sebaliknya, ketika mengambil langkah untuk mengendalikannya, pemerintah dianggap tidak berpihak pada petani.
Dalam konteks seperti ini bisa dipahami bila impor beras 0,5 juta ton awal 2018, yang kemudian ditambah izin impor dalam jumlah yang sama, medio Mei ini, jadi pelik dan rumit. Pemerintah, seperti dijelaskan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tak ingin mengambil risiko harga beras terus naik lantaran pasokan terbatas.
Seperti umumnya di Asia, di Indonesia beras merupakan komoditas pendorong utama inflasi. Inflasi yang tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, bakal tergerus. Inflasi yang tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah.
Tambahan izin impor beras 0,5 juta ton kepada Bulog diberikan atas sejumlah pertimbangan. Pertama, saat ini harga beras masih tinggi, di atas harga eceran tertinggi (HET). Ini tanda stok beras di masyarakat tipis. Harga beras akan lebih tinggi lagi karena kini memasuki musim gadu.
Kedua, penyerapan beras Bulog saat panen raya (Februari-Mei) rendah, hanya 0,8 juta ton dari target 2,2 juta ton. Penyerapan beras di musim gadu ditaksir tidak bertambah signifikan. Memang di gudang Bulog kini ada 1,2 juta ton beras, termasuk dari impor. Namun, jumlah ini tidak cukup untuk kebutuhan hingga akhir tahun. Apalagi pemerintah harus menghitung kebutuhan saat paceklik: Januari-Februari 2019.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian yakin tambahan impor beras masih belum diperlukan. Pada Ramadhan ini, misalnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim menyuplai beras 30 persen lebih besar daripada kebutuhan normal.
Soal harga beras yang masih bertahan di level tinggi, Amran mengaku bingung apa penyebabnya. Ia memastikan itu bukan karena ada masalah di pasokan. Percaya dengan uraian ini, Dirut Bulog Budi Waseso pun berjanji tidak segera mengeksekusi izin impor. Ia akan mempelajari dahulu.
Impor beras akhirnya kembali memantik pro-kontra. Ironisnya itu terjadi di level pengambil keputusan. Padahal, keputusan tambahan izin impor diambil di forum tertinggi: rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian. Rapat dihadiri Kemendag, Kementan, dan Bulog.
Situasi ini seperti mengulang episode pro-kontra sebelumnya, termasuk gaduh impor beras 0,5 juta ton awal tahun ini. Meski harga tinggi, saat itu Kementan yakin tak perlu impor. Sandarannya, produksi padi 2017 mencapai 81,3 juta ton gabah kering giling setara 46,3 juta ton beras. Total konsumsi beras 260 juta penduduk Indonesia setara 29,7 juta ton beras. Jadi, ada surplus 16,6 juta ton beras.
Kualitas data pangan
Masalahnya tak ada yang bisa memastikan apakah data surplus beras itu benar. Jika ini benar, tentu pasar banjir beras. Sebab, 16,6 juta ton beras itu setara setengah kebutuhan konsumsi beras nasional setahun. Banjir beras juga akan membuat harga tertekan ke bawah.
Yang terjadi justru sebaliknya. Jika kenaikan harga terjadi 2-3 hari, amat mungkin ada ulah pelaku dominan mengambil untung di air keruh. Namun, jika kenaikan terjadi berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, ini petunjuk pasokan ada masalah. Apalagi, Satgas Pangan intensif bergerak. Mustahil ada yang berani menimbun.
Penjelasan ini bermuara pada satu hal: soal kualitas data pangan. Sebetulnya ada banyak kajian yang berusaha menjawab pertanyaan: benarkah data produksi padi kita? Kajian ini dibuat untuk menjawab gugatan terhadap kualitas data produksi padi kita. Hasilnya, semua kajian itu kesimpulannya sama: data produksi padi dilaporkan lebih tinggi daripada yang sesungguhnya (overestimate). Yang berbeda hanya angka overestimate.
Pada 1998, Badan Pusat Statistik (BPS) membandingkan hasil survei rumah tangga tentang luas areal panen disandingkan dengan taksiran luas areal panen dengan metode estimasi pandangan mata (eyes estimation). Hasilnya terungkap, luas areal panen overestimate 17,1 persen. Pada 2000-2001, Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) menyurvei di level petani untuk proyek Agriculture Statistic Technology Improvement and Training. Hasilnya, overestimate produksi gabah di Jawa 13 persen. Pendekatan membandingkan angka produksi gabah kering giling (GKG) dengan jumlah GKG yang digiling penggilingan padi hasil sensus penggilingan padi 2012 (BPS, 2012) menunjukkan overestimate sebesar 36 persen.
Tidak banyak diketahui publik, sejak 2016 BPS tidak mempublikasikan data pangan, terutama padi, jagung, dan kedelai. BPS "puasa" merilis data karena meyakini ada sesuatu yang salah dalam data pangan. Karena itu, BPS bersama BPPT sejak 2015 bahu-membahu mengembangkan metode pengumpulan data baru yang lebih transparan, dan terbebas dari konflik kepentingan pengumpul data. Hasil sementara, menurut Kepala BPS Suhariyanto, produksi padi berlebih 17,5 persen.
Data adalah pangkal semua kebijakan publik di mana pun di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Jika data yang digunakan sebagai dasar membuat kebijakan publik tidak akurat, kebijakan yang dibuat potensial keliru. Jika kebijakan yang keliru itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti impor beras, tentu potensial menyengsarakan banyak orang.
Keharusan hadirnya data akurat tak bisa ditawar-tawar. Terlalu banyak tenaga, energi, dan sumber daya terbuang sia-sia karena mendebatkan kebijakan yang disandarkan pada data yang tidak akurat. Sembari menunggu rilis data baru produksi padi oleh BPS, Agustus 2018, tak ada salahnya masing-masing pihak mengompromikan data untuk mencari titik temu. Bukan sebaliknya: merasa datanya paling benar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar