Begitulah pesan melalui layanan Whatsapp (WA) saya terima tiga hari sebelum Lebaran. Setelah perintah klik diikuti, terbacalah seuntai ucapan selamat hari raya. Bentuknya berupa  gambar animasi yang dikombinasi dengan teks ucapan dan foto pengirim.

Pesan Lebaran dalam wujud visual demikian bisa dibilang baru, setidaknya buat saya. Bentuk- bentuk lain tentu sudah banyak.  Sebagaimana diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, ucapan selamat hari raya daring sangat marak. Ucapan-ucapan tersebut berseliweran melalui berbagai akun: Facebook, Twitter, Instagram, WA, dan lain-lain. Ia menggeser fungsi kartu lebaran, ucapan langsung via telepon, dan bentuk-bentuk konvensional  lain.

Demikian cara penduduk dunia maya merayakan Idul Fitri di dunianya, yakni di dalam internet dan telepon pintar. Ini yang ingin saya sebut sebagai lebaran digital, yaitu aktivitas silaturahim lebaran yang dilakukan secara daring. Komputer jaringan dan telepon pintar menjadi super sibuk melayani aktivitas ini.

Ekspresi kegembiraan

Dalam lebaran digital sedemikian, kesalahan lahir batin sejatinya diasumsikan sebagai kealpaan yang diakibatkan oleh kesalahan mengeklik  pikiran dan perasaan melalui keyboard komputer atau telepon pintar sehingga permohonan maafnya juga dilakukan melalui cara mengeklik perangkat yang sama. Tekanlah tuts komputer atau klik sekarang, dengan itu dosa terhapus.  Kita pun kembali fitri.

Namun, faktanya ternyata tak selalu begitu. Lebaran digital tak hanya menyangkut dosa digital, tetapi juga melingkupi  persoalan dalam realitas fisik. Seseorang yang telah berpuluh tahun tidak pernah bertemu, baik di dunia nyata maupun maya, misalnya, sekonyong-konyong muncul di layar telepon pintar, mengucapkan selamat hari raya dan memohon maaf lahir dan batin.

Hal yang menarik, lebaran digital tersebut ternyata tidak menggeser aktivitas fisik. Silaturahim konvensional, yakni pertemuan secara fisik, tetap dilakukan. Indikatornya, para perantau masih merasa perlu pulang kampung (mudik). Lalu lintas kendaraan tidak berkurang. Kemacetan lalu lintas tetap terjadi di mana-mana. Padahal, jalur-jalur baru (jalan tol) telah ditambah. Walhasil, silaturahim pun dilakukan dalam dua dunia sekaligus:  maya dan nyata.

Pertanyaannya, apakah silaturahim ganda itu telah meningkatkan kualitasnya? Mula-mula harus dilihat "genealogi" lebaran itu sendiri. Lebaran adalah ekspresi kegembiraan setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan. Meskipun "subject matters" ekspresinya ritual keagamaan, basis dan bentuk ekspresinya adalah kebudayaan. Sebagai ekspresi kebudayaan, lebaran adalah sebuah perayaan, bukan pengkhidmatan. Segala yang tersangkut di dalamnya, seperti menyiapkan penganan (kue lebaran), membeli pakaian (baju lebaran), hingga ritual mudik, adalah bagian dari perayaan.

Ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf  tentu termasuk di dalam pesta perayaan juga. Seseorang yang meminta maaf pada saat lebaran mungkin memang memiliki kesalahan terhadap orang yang dimintai maaf tersebut. Namun, kecenderungan umumnya tidak demikian. Permohonan maaf lebaran tidak identik dengan kesalahan yang dilakukan sebelumnya, tapi seolah-olah merupakan sebuah keharusan dan kelumrahan.

Pada tataran praktik beragama, dorongan keharusan tersebut memang berelasi dengan keyakinan agama, yakni barang siapa telah melaksanakan shaum pada bulan Ramadhan, ia akan diampuni segala dosanya. Ia akan kembali pada fitrahnya sebagai bayi tanpa dosa. Namun, secara teoretis sebenarnya hubungan itu tidak kuat. Shaum—sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari—adalah ibadah personal yang istimewa, yakni ibadah yang diminta khusus oleh Allah, untuk Allah, dan akan dibalas langsung oleh Allah. Jadi, ibadah ini tidak terkait hubungan horizontal.

Berdasarkan pemahaman tersebut, dorongan keharusan mengucapkan selamat dan permohonan maaf cenderung  dimotivasi oleh aspek kebudayaan. Sejarah kebudayaan mencatat bahwa masyarakat kita di masa lalu memiliki karakter yang ramah.

Bangsa yang ramah dapat dipastikan sebagai bangsa pemaaf. Dan, bangsa pemaaf memiliki kerendahan hati mengakui bahwa di dalam dirinya selalu terdapat kesalahan. Berdasarkan fakta ini,  sekali lagi, ucapan selamat hari raya dan permohonan maaf merupakan salah satu  unsur dari sistem kebudayaan. Lebaran sebagai sistem kebudayaan.

Mitos tuturan

Sistem budaya adalah konotasi yang telah meningkat menjadi mitos. Mitos itu sendiri, sebagaimana dikatakan Barthes (1976), adalah sebuah  model pengucapan. Dalam mekanisme pemitosan, realitas berpindah ke dalam bahasa (tuturan). Dalam mekanisme ini, keyakinan agama dan kebudayaan terkait lebaran berpindah dari realitas riil ke dalam bahasa. Dengan kata lain, realitas silaturahim saling bermaaf-maafan menjadi realitas bahasa. Dan, realitas bahasa ini terus-menerus dituturkan, setidaknya dalam setiap lebaran.

Dalam perkembangannya, sesuatu yang kokoh di dalam bahasa sebagai mitos tak selamanya identik dengan fakta yang terjadi di dalam realitas awal sebagai pembentuknya. Alih-alih terkoneksi, realitas riil yang sudah berpindah ke dalam bahasa justru sering tidak terdeteksi lagi. Dengan kata lain,  tidak ada urusan lagi apa yang terjadi dalam realitas riil. Berbanding lurus dengan hal ini, mitos tentang bangsa pemaaf  yang tetap melekat  atau dilekatkan melalui berbagai tuturan dalam lebaran tak ada kaitannya dengan realitas riilnya, masyarakat yang faktanya kini telah berubah dari karakteristik awal sebagai pemaaf tadi.

Lantas, apakah lebaran digital telah membentuk mitos baru lebaran? Di atas telah disinggung bahwa silaturahim lebaran kini dilakukan dalam dua dunia sekaligus. Otomatis tuturan yang berisi ucapan hari raya dan permohonan maaf pun jadi berlipat. Pertama, melalui lisan digital dalam dunia maya. Kedua, melalui lisan biologis dalam dunia nyata.

Tampak di situ bahwa yang berlipat adalah frekuensi pengucapannya. Dengan ini, yang sedang terbangun bukanlah mitos baru, melainkan justru penguatan mitos lama. Berbeda dengan zikir sebagai cara berhubungan dengan Tuhan yang akan kian berkualitas jika kian sering dilafalkan, dalam relasi horizontal antarmanusia, semakin sering sesuatu diucapkan, semakin luntur makna dan substansinya.

Fenomena di dunia digital itu menunjukkan tengah tumbuh karakteristik masyarakat yang cenderung anti pada kebermaafan dan rasa kebersalahan. Berbagai diskusi cenderung mengarah pada perdebatan hingga tingkat "emosional-subyektif" yang  saling menyerang antarpersonal/kelompok. Media sosial sebagai produk utama teknologi digital, yang secara teoretis mempertemukan antar-pikiran, dalam praktiknya justru mempertentangkan "antar-tubuh" tanpa pikiran. Ini bukan hanya soal polarisasi yang terjadi di dalam ranah politik, tetapi nyaris dalam seluruh bidang kehidupan.

Di sisi lain, lebaran digital juga melahirkan kecemasan dan rasa kebersalahan. Pengirim ucapan digital pada mulanya mungkin tak mengharap dibalas, tetapi merasa cemas juga jika pada akhirnya tak berbalas: "jangan- jangan yang dikirimi tidak mau memaafkan".  Sementara itu, di samping cemas, penerimanya cenderung dihantui rasa bersalah: "jika tidak membalas, nanti dianggap sombong dan tidak beretika". Pada titik ini, sebagaimana dikatakan Mauss (1992), ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf terkategori pada pemberian yang membebani penerima. Namun, beban penerima ini rupanya memang diharapkan pengusaha pulsa. Darinya, bukankah mereka bisa meraup laba berganda? Selamat Lebaran!