Pada 16 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap permohonan uji materi yang diajukan oleh AMAN dan dua komunitas adat pendukungnya.

Dalam perkara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengajukan keberatan atas keberadaan beberapa pasal dalam UU Kehutanan (UU No 41/ 1999), yakni  Pasal 1 angka (6); Pasal 4 Ayat (3); Pasal 5 Ayat (1) Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4); dan Pasal 67 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3). Permohonan yang dikabulkan sebagian adalah untuk Pasal 1 angka (6); Pasal 4 Ayat (3) Pasal 5 Ayat (1) Ayat (2), dan Ayat (3). Adapun permohonan yang ditolak sama sekali adalah tuntutan terhadap Pasal 5 Ayat (4) dan Pasal 67.

Intisari Putusan MK No 35/2012 itu jika disederhanakan adalah: (1) hutan adat bukan hutan negara, (2) hutan adat adalah bagian dari wilayah adat/hak ulayat masyarakat hukum adat, dan (3) hak masyarakat akan diakui jika keberadaan masyarakat adat itu ditetapkan melalui peraturan daerah. Dua keputusan pertama bersumber dari tuntutan yang dikabulkan, sedangkan keputusan ketiga bersumber dari tuntutan yang ditolak.

Kaya kebijakan

Setidaknya, hingga saat ini ada lima putusan MK, satu peraturan pemerintah, dan dua keputusan presiden yang berkaitan dengan pengakuan hak masyarakat adat ini.

Di tingkat daerah, saat ini tak kurang dari 70 produk hukum daerah (perda) yang telah dihasilkan. Semua itu tentu atas bantuan berbagai organisasi masyarakat sipil.

Berdasarkan pengalaman, dibutuhkan sekitar Rp 500 juta untuk satu perda (baik penetapan maupun pengaturan). Itu pun masih ada yang mensyukuri. Menurut suatu publikasi sebuah lembaga donor, upaya-upaya legislasi di tingkat daerah ini dinyatakan mampu memantik gerakan yang memastikan keamanan tenurial masyarakat adat.

Namun, fakta lapangan berkata lain. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018), luasan hutan adat yang telah diakui hingga saat ini tidak lebih dari 25.000 hektar. AMAN memperkirakan hutan adat yang telah dijadikan hutan negara seluas 40 juta hektar.

Lahirnya Putusan MK No 35/2015 memang patut disyukuri. Sebagaimana dikemukakan Arizona (2013), Putusan MK No 35/PUU-IX/2012 (Putusan MK No 35) merupakan putusan penting sebab menjungkirbalikkan pemahaman klasik di Indonesia tentang hutan, kawasan hutan, dan posisi hutan adat.

Namun, merefleksi kembali manfaat putusan ini juga tidak kalah pentingnya. Sebab, banyak yang lupa bahwa belum terwujudnya amanat konstitusi sebagaimana tercantum pada Pasal 18 (sebelum amendemen) dan Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28i Ayat (3) terjadi karena putusan MK No 35/2012 justru menegaskan interupsi yang dilakukan oleh dua UU pada masa sebelumnya.

Pertama, sebagaimana diatur Pasal 3 UU No 5/1960 (UU Pokok Agraria), "pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi."

Frasa "sepanjang menurut kenyataannya masih ada" kemudian menjelma pada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat hukum adat dapat dianggap masih ada atau sudah punah. Juga frasa "sesuai dengan kepentingan nasional dan negara… serta tidak boleh bertentangan dengan undang- undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".

Interupsi kedua dilakukan oleh UU Kehutanan (UU No 41/1999) dan sebelumnya oleh UU No 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Mengikuti logika pengakuan bersyarat yang diperkenalkan oleh UU Pokok Agraria 1960, sebagaimana diatur pada pada Pasal 67, pengakuan (obyek) hak masyarakat hukum adat perlu didahului dengan penetapan keberadaan (subyek) masyarakat hukum adat itu sendiri.

Logika pengakuan bersyarat pada akhirnya telah membangun proses pengakuan yang berbelit- belit, yang dalam proses evaluasinya terlebih dahulu perlu melakukan proses identifikasi, verifikasi, validasi, dan diakhiri proses penetapan oleh suatu institusi pemerintahan yang diberi dan/atau memiliki kewenangan untuk itu. Dalam draf RUU Masyarakat Hukum Adat versi DPR Tahun 2018, penetapan ini dilakukan melalui SK Menteri!

Sayangnya, patut diduga, ketika menyusun putusannya, MK tidak sempat melakukan kajian yang serius tentang apa akibat dari interupsi yang dilakukan kedua UU ini.

Tak sesuai kapasitas

Berdasarkan beberapa kajian lapangan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa organisasi sosial yang memiliki kewenangan dan kecakapan untuk mengurus urusan publik dalam konteks masyarakat adat hari ini relatif sudah memudar, kecuali untuk beberapa daerah dalam jumlah yang terbatas.

Terkait hak atas tanah (dan hutan), urusan penguasaan berpusat pada sistem kekerabatan, seperti marga raja bersama marga boru-nya dalam etnik Batak Toba; kaum dan suku dalam kasus etnik Minangkabau; dan soa dalam kasus etnik Maluku. Dengan demikian, kapasitas masing-masing unit sosial tersebut untuk mengakses proses politik legislasi di parlemen daerah ataupun di ranah eksekutif relatif sangat terbatas.

Bahkan, dalam banyak kasus, meski sama-sama anggota kelompok etnik yang sama, para pihak yang ada di dalam institusi pemerintahan lebih banyak dilihat sebagai pihak yang justru menghambat pengakuan dan/ atau memberikan akses sumber daya kepada pihak-pihak yang telah merugikan masyarakat yang diamati. Ada tata krama adat yang sulit untuk dilangkahi oleh pejabat negara, yang bisa berdampak secara sosial-budaya dan juga dukungan politik.

Begitu pula, pengakuan obyek hak cq tanah adat/hutan adat jauh lebih mudah dilakukan ketimbang pengakuan subyek hak yang bersangkutan. Di lapangan, perubahan struktur masyarakat yang niscaya terjadi tidak berpengaruh secara langsung pada sistem penguasaan tanah.

Dengan kata lain, pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait pengakuan hak masyarakat adat mengalami hambatan dari sisi kuantitas (begitu banyaknya subyek hak yang harus diakui), dan kualitas (kemampuan/kapasitas masing-masing subyek hak itu mengakses proses politik legislasi dan eksekutif).

Jadi, sudah saatnya mencari terobosan hukum yang lebih memudahkan masyarakat adat. Sebab, pada dasarnya hak masyarakat adat adalah hak konstitusional yang harus diupayakan pelaksanaannya oleh negara cq pemerintah. Dan, itu hanya dapat dilakukan jika penghambat utamanya (baca: konstruksi hukum yang keliru) dapat disingkirkan.