Saya pernah menjadi wakil menteri hukum dan HAM (2011-2014), saat menteri hukum dan HAM-nya dijabat Amir Syamsudin. Coba tebak, siapa di antara kami yang lebih tinggi penghasilannya? Logisnya tentu Menkumham karena beliau atasan saya. Namun, faktanya tak demikian.

Penghasilan saya sebulan adalah Rp 27 juta lebih, sedangkan Menkumham hanya mendapatkan penghasilan kurang dari Rp 19 juta. Tentu tak ada penjelasan logis mengapa penghasilan bawahan bisa lebih tinggi daripada atasan.

Bingkai ketidaklogisan itulah yang semestinya kita gunakan ketika menyimak polemik soal penggajian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sayangnya, iklim kontestasi pemilu yang cenderung saling menjatuhkan menyebabkan isu utama menjadi kabur. Akhirnya, kita lagi-lagi hanya berhasil membuat daftar masalah tanpa sukses mencari solusi, apalagi mengeksekusinya menjadi kebijakan yang membawa manfaat bagi rakyat banyak.

Rumit dan tanpa standar

Sistem penggajian di republik ini memang ajaib. Kalau gaji dimaksudkan sebagai salah satu alat pencegah korupsi, maka sistem penggajian penyelenggara negara di Indonesia jelas-jelas telah gagal menjalankan fungsinya. Tegasnya, sistem penggajian kita salah desain karena justru menyuburkan korupsi.

Secara hukum, tidak ada satu acuan UU tentang bagaimana seharusnya sistem penggajian dijalankan. Inilah sistem yang rumit. Ibarat jaring laba-laba kusut tersebar di berbagai UU dan peraturan di bawahnya, hingga peraturan menteri. Akibatnya, sistem penggajian kita diterapkan tanpa standar yang jelas. Istilah yang digunakan pun relatif membingungkan. UU Nomor 7 Tahun 1978 terkait penggajian presiden menggunakan kata "hak keuangan/administratif", sedangkan Perpres No 7/2018 terkait BPIP menggunakan istilah "hak keuangan dan fasilitas".

Perbedaan istilah ini penting dipaparkan karena ketidakjelasan itu menjadi pintu masuk untuk mengaburkan berapa sebenarnya penghasilan penyelenggara negara. Contohnya, karena menaikkan gaji pejabat negara itu adalah kebijakan yang tidak populer, maka gaji pokok presiden dan pejabat negara memang sudah lama tidak naik. Namun, bukan berarti penghasilannya tidak meningkat. Sebab, kemudian muncul berbagai tambahan penghasilan, bukan lewat gaji, melainkan berbagai jenis tunjangan.

Contohnya gaji menteri, meski sudah 18 tahun masih tetap Rp 5 juta lebih, tetapi selundupan hukum telah dilakukan dengan menambahkan komponen tunjangan kinerja kepada menteri, yang besarnya rata-rata 150 persen dari tunjangan kinerja tertinggi di kementerian masing-masing. Harusnya, tegaskan saja bahwa gaji menteri naik tanpa harus melakukan berbagai akrobat hukum tersebut. Kita juga harus adil mengakui bahwa gaji pokok menteri yang Rp 5 juta jauh dari layak.

Sama halnya dengan menteri, gaji presiden yang Rp 30.240.000 per bulan juga sebaiknya dinaikkan. Pasal 2 UU No 7/1978 mengatur, gaji pokok presiden adalah enam kali gaji pokok tertinggi pejabat di Indonesia selain presiden dan wakil presiden. Tanpa gaji presiden naik, maka gaji pokok pejabat tinggi negara lainnya akan tetap Rp 5.040.000 per bulan.

Akrobatik dan koruptif

Ketaklogisan sistem penggajian ini harus segera dihentikan. Donald P Warwick dalam tulisannya, The Effectiveness of the Indonesian Civil Service,  pada 1987, lebih dari tiga dekade lalu, telah menyoal tak adanya acuan penggajian bagi PNS kita. Ini menyebabkan setiap elemen negara melakukan langkah akrobatik sendiri-sendiri untuk menambah penghasilan mereka. Akhirnya, yang kuat dapat banyak. Jangan heran kalau penghasilan pegawai Bank Indonesia atau Kementerian Keuangan melebihi lembaga negara lain.

Sistem penggajian kita harus dirombak secara mendasar. Bukan hanya soal besarannya, melainkan juga cara penghitungannya. Sudah jelas, besaran gaji yang kecil menyebabkan para penyelenggara negara kita, termasuk PNS, melakukan akrobatik birokrasi untuk mendapatkan penghasilan sampingan. Dulu ada dana non-budgeter yang dikumpulkan dengan justifikasi membiayai berbagai pengeluaran yang tidak ada mata anggarannya. Setelah dana non-budgeter diwarnai banyak kasus korupsi, muncullah dana operasional, yang kemudian juga jadi kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jenis akrobat lainnya adalah munculnya berbagai macam jenis tunjangan. Secara umum ada dua jenis tunjangan, tunjangan jabatan dan tunjangan lain. Tunjangan lainnya inilah yang kemudian beranak-cicit, sebutlah di antaranya tunjangan kinerja, kehormatan, perumahan, transportasi, komunikasi, asuransi, hari tua, beras, keluarga, dan pengamanan. Sudah jadi praktik yang lazim bahwa berbagai tunjangan itu akhirnya berubah menjadi tambahan penghasilan. Ketika jadi wamenkumham, saya dapat tunjangan untuk sewa rumah, tetapi ada saja pejabat negara yang bahkan menggunakan rumah dinasnya untuk disewakan. Atau, dengan berbagai intrik, mengubah rumah dinas menjadi rumah pribadi.

Berbagai akrobatik sistem penggajian pejabat negara itu menjadi kultur yang juga mewabah di kalangan PNS. Contohnya adalah praktik SPPD (surat perintah perjalanan dinas) dan honorarium kegiatan. Masih pengalaman sebagai wamenkumham, saya berkali-kali mengembalikan uang SPPD karena tidak sesuai dengan realitasnya. Misalnya, datang hanya beberapa jam, tetapi mendapatkan SPPD beberapa hari. Lain kesempatan saya heran kenapa kegiatan perlu diadakan di Bekasi, tidak di Jakarta. Ternyata, nilai SPPD di Bekasi lebih besar karena sudah termasuk Provinsi Jawa Barat. Inilah inovasi birokrasi yang negatif karena cenderung koruptif.

Masih terkait inovasi negatif SPPD itu, niatan Presiden Jokowi untuk menyederhanakan SPJ dari puluhan menjadi hanya dua lembar perlu diapresiasi dan konsisten dilaksanakan di lapangan. Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, akar masalahnya bukan pada banyaknya lembar SPJ, melainkan masih absurdnya sistem penggajian kita.

Sistem penggajian tunggal

Masih banyak lagi anomali dan irasionalitas sistem penggajian kita, yang tentunya harus segera diakhiri. Solusinya sudah sering dimantrakan, yaitu: single salary system (sistem penggajian tunggal).

Dengan sistem tunggal ini, penggajian pejabat negara dan PNS harus  dipastikan hanya berujung pada satu pintu. Saat ini sedang didiskusikan rancangan peraturan pemerintah tentang gaji, tunjangan, dan fasilitas PNS, yang pada dasarnya mendekati sistem penggajian tunggal. Berdasarkan rancangan itu, penghasilan PNS hanya akan ada tiga komponen, yaitu gaji, tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan.

Tidak hanya bagi PNS, sistem penggajian bagi pejabat negara juga harus diubah secara mendasar. Perlu dipertimbangkan untuk mengganti UU No 7/1978 terkait penggajian presiden, yang sudah berumur empat dekade. Perlu juga diadopsi sistem penggajian tunggal untuk diterapkan pula bagi pejabat negara di pusat dan daerah.

Dalam hal ini, pertimbangan dan hitungan politik pasti menjadi faktor penghambatnya. Apalagi pada masa-masa menjelang pemilu seperti saat ini. Di waktu inilah arti pentingnya leadership, kepemimpinan untuk memutuskan sesuatu yang sulit, untuk kemaslahatan jangka panjang.

Secara hukum tata negara, menjelang pemilihan presiden justru adalah waktu yang tepat untuk mengambil keputusan terkait perbaikan sistem dan kenaikan gaji presiden, yang akan berimbas terhadap kelayakan gaji pejabat negara lainnya. Sebab, saat pemilu itu, prinsip benturan kepentingan dapat lebih dihindari. Keputusan diambil bukan untuk dinikmati oleh presiden yang sedang menjabat karena diberlakukan untuk presiden periode selanjutnya meski selalu ada kemungkinan sang presiden petahana dapat terpilih kembali.

Di Amerika Serikat, masalah gaji presiden diatur dalam konstitusi. Terkait prinsip anti-benturan kepentingan, secara tegas dilarang pemberlakuan kenaikan gaji presiden saat sang presiden sedang menjabat. Berkaitan dengan gaji anggota parlemen, berdasarkan Amendemen Konstitusi Amerika Ke-27, yang dikenal sebagai The Madison Amendment, diatur bahwa kenaikan gaji anggota parlemen hanya akan berlaku setelah adanya pemilu baru. Artinya, yang akan menikmati kenaikan gaji adalah anggota parlemen baru hasil pemilu yang akan berlangsung.

Seharusnya, menjelang Pemilihan Presiden 2019, Indonesia mampu melakukan perombakan sistem penggajian para penyelenggara negara yang sekarang irasional dan koruptif, tentu dengan juga memegang teguh prinsip dasar anti-benturan kepentingan tersebut. Jangan sampai polemik gaji seperti BPIP terulang lagi dan kita kembali terjebak pada debat kusir, tanpa solusi. Jangan sampai sistem penggajian yang irasional dan koruptif terus abadi.