Penyakit Masyarakat
Ditemukannya kembali beberapa koper penumpang yang raib di Bandara Soekarno-Hatta dan sejumlah KTP-el yang tercecer di Bogor sebetulnya adalah peristiwa yang sering terjadi di Indonesia. Ia menjadi heboh karena diunggah di media sosial.
Kedua kasus di atas merupakan potret manusia Indonesia yang sering bekerja tidak dengan sepenuh hati, bagai robot dari rangkaian pekerjaan yang rutin, monoton, dan pengawasan lemah. Masa kerja yang cukup lama ditambah gaji kecil acap membuat para pekerja di unit tertentu bekerja asal-asalan, sembrono, dan tidak bertanggung jawab.
Kalau petugas di tempat pengambilan bagasi di bandara bekerja dengan sepenuh hati, mencocokkan kupon bagasi yang dipegang penumpang dengan stiker yang tertempel di setiap bagasi penumpang, risiko kehilangan bagasi di bandara bisa diminimalkan.
Begitu pula pengiriman sejumlah KTP-el, barang, surat-surat, dan dokumen berharga. Kalau dilakukan dengan cermat, dikemas kuat dan rapat, serta ditangani dengan hati-hati, tidak mungkin pecah berhamburan.
Oleh karena itu, diperlukan langkah nyata untuk memperbaiki "penyakit masyarakat Indonesia" kalau ingin menjadi bangsa yang teruji dan unggul. Mari mengubah budaya dan mentalitas kita yang malas, tidak tertib, santai, dan sembrono menjadi sepenuh hati, cerdas, bertanggung jawab, berdedikasi, disiplin, dan jujur.
Kecenderungan netizen yang latah mengunggah video di media sosial tentang hal-hal yang dapat menimbulkan kerawanan sebaiknya juga dieliminasi.
Rasanya lebih elok jika sejumlah KTP-el yang ditemukan diserahkan kepada aparat kepolisian guna ditindaklanjuti daripada cari simpati di media sosial.
FX Wibisono
Jalan Kumudasmoro Utara, Semarang
Perilaku Rente
Tiga belas perusahaan pembiayaan (PP) mendapat sanksi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Umumnya kesalahan PP adalah tidak mampu memenuhi ketentuan OJK, antara lain, keterlambatan informasi, gagal bayar, dan permodalan (Kompas, 22/5/2018).
Tindakan OJK ini perlu diapresiasi dalam membina pelbagai lembaga keuangan, termasuk perusahaan teknologi finansial (tekfin). Namun, masih banyak persoalan tekfin dalam menyalurkan pinjaman.
Anak saya tanpa saya ketahui terjerat utang di tiga perusahaan tekfin: PT KP Rp 500.000, PT DR Rp 400.000, dan PT KT Rp 1 juta. Ketiganya mengaku sudah terdaftar di OJK.
PT KP akhir Maret 2018 menyalurkan pinjaman Rp 500.000 kepada anak saya. Setelah dipotong biaya persetujuan dan administrasi, yang diterima sekitar Rp 350.000.
Dua bulan kemudian datang tagihan PT KP diantar penagih utang sebesar Rp 1.190.000. Artinya, bunga 65 persen sebulan atau 780 persen setahun. Jika dihitung dari nominal yang diterima Rp 350.000, maka bunganya menjadi 1.800 persen setahun.
Di situs OJK, toleransi bunga untuk perusahaan tekfin adalah 0,74-1,67 persen sebulan atau 9-20 persen setahun.
Kasus ini terlihat sepele karena nominalnya kecil, tetapi saya yakin praktik rente ini sudah merasuk ke lapisan besar masyarakat bawah yang tak berdaya, mengingat sulitnya rakyat kecil mendapatkan kredit melalui jalur resmi.
Perusahaan tekfin jor-joran beriklan di media sosial bahwa meminjam uang via tekfin sangat mudah, cukup ber-WA-ria, tanpa tatap muka, tak perlu ke kantor mana pun, supercepat. Uang langsung cair.
Rente ini memakai penagih utang bersuara serak dan kasar. Padahal, peraturan Bank Indonesia Nomor 13/25/PBI/2011 tidak mengenal penagih utang.
Jika hal ini dibiarkan, pemerintah semakin sulit melindungi rakyat kecil dari jeratan rentenir dan teror penagih utang. Apalagi, tekfin resmi pun ditengarai berpraktik rente.
Zulkifly
Pondok Pekayon Indah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar