Usul Istilah Vulkanologi
Dalam letusan gunung, ada istilah-istilah teknis. Misalnya, ada letusan freatik dan magmatik. Kita tahu, dalam bahasa Indonesia, benda atau sesuatu sering diumpamakan sebagai manusia. Mungkin gunung juga dapat dianggap seperti manusia.
Dengan demikian, istilah erupsi atau letusan untuk gunung dapat juga diistilahkan gunungnya batuk atau muntah. Menurut Anton M Moeliono (almarhum), ahli bahasa Indonesia, kata yang sudah diterima sebagai kata Indonesia dapat menggunakan kaidah bahasa Indonesia.
Misalnya, magma untuk membentuk kata sifat tidak perlu lagi disebut magmatik. Cukup, misalnya, gunung itu muntah magma.
Untuk istilah freatik, mari kita susuri, kata itu berasal dari bahasa apa? Saya cari dalam kamus bahasa Inggris dan Latin tidak ada yang mirip. Maka, pertanyaannya, padanannya dalam bahasa Indonesia apa?
Karena arti letusan freatik adalah letusan yang mengeluarkan campuran air, debu, dan magma, mungkin kalau letusan freatik ini diistilahkan dengan batuk akan lebih mengena.
Ini sekadar usul pada redaksi Kompas atau siapa saja yang menulis untuk Kompas.
V Sutarmo Setiadji
Utan Kayu Utara, Matraman,
Jakarta Timur
Solo-Ngawi
Berkendara dari Solo ke Ngawi melalui jalur lama yang bukan jalan tol, maka selepas Jurug, Solo, kita akan melewati kawasan Palur, Kebak Kramat, Masaran, Sragen, Banaran, dan Mantingan.
Dalam perjalanan kita harus waspada terhadap laju kendaraan lain, terutama bus pengangkut umum yang terasa selalu minta prioritas jalan, baik dari belakang maupun waktu berpapasan dari depan.
Kita harus menjaga jarak dan siap dengan rem karena bus yang baru saja mendesak dan mendahului bisa mendadak berhenti tanpa mengarah ke pinggir untuk mengambil atau menurunkan penumpang. Sekarang kewaspadaan perlu ditingkatkan seiring dengan naiknya pengendara sepeda motor.
Enaknya, lewat jalur ini, dengan mudah ditemukan warung berbagai jenis makanan setempat: soto, bakso, sate, gulai, tongseng, dan pecel. Jasa pijat atau pijat saraf untuk penyembuhan juga ditawarkan.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, bisa kita jumpai pula papan bertuliskan jasa kursus bahasa Korea. Di luar dugaan saya, ada juga yang menyediakan jasa terapi autisme.
Lewat jalur itu di sisi lain, kita dapat melihat sawah dengan hamparan padi menghijau, kadang menguning siap dituai, atau tanaman tebu dan jagung. Ada hutan jati, kebun karet, dan mahoni. Pemandangan yang menimbulkan rasa syukur, alangkah kaya dan suburnya Tanah Air kita.
Namun, rasa prihatin juga timbul saat melihat banyak sawah subur mulai dipagari atau ditimbun. Pemandangan ini menimbulkan pertanyaan, apakah ini merupakan pertanda kemajuan ataukah gambaran ketidakpedulian atas segala yang kita miliki dan warisi? Seingat saya, dengan pengetahuan yang sepintas, persawahan di daerah itu mempunyai jaringan dan sistem pengairan yang bagus.
Kembali ke perjalanan dari Solo ke Ngawi, kalau kita melewati jalan tol—saya pernah mencoba waktu jalan masih berstatus fungsional—pemandangan dan pengalaman khas, seperti di jalur lama tidak akan kita jumpai.
Bahkan, ketika melihat gerombol pepohonan, kuburan, atau atap rumah, kita tidak tahu berada di mana sesungguhnya kita kala itu. Pemandangan seperti ini tentu dapat menimbulkan kejenuhan.
Barangkali akan sedikit memecah kejenuhan dan kelesuan, apabila di punggung desa atau kampung yang dapat dibaca dari jalan tol, nama desa atau kampung bersangkutan. Selain memberi informasi, hal itu dapat menambah warna pemandangan di jalan tol. Sekaligus pengetahuan dan kecintaan terhadap lingkungan dan eksistensi negeri ini.
Mudah-mudahan, hal ini juga menimbulkan gairah untuk berwisata.
Suwarso
Jalan H Zaini, Cipete,
Jakarta Selatan
Kompas, 7 Juni 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar