Dawam mewariskan begitu banyak karya intelektual. Para kolega umumnya mengenalnya sebagai seorang yang sangat ensiklopedis. Hal itu karena dia menulis banyak persoalan di luar disiplin ilmu ekonomi, bidang yang ditekuninya. Kehebatan Dawam juga tampak dalam tulisan tentang penafsiran kontemporer atas Al Quran berjudul Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (2002).
Sebagai aktivis sosial, Dawam pernah menjabat Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ketua Tim Penasihat Presiden Habibie, dan
ketua yang membidangi ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dawam juga dikenal sebagai pendiri Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF),
pemimpin redaksi Jurnal Ulumul Qur'an, dan Rektor Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi. Dengan rekam jejak sebagai cendekiawan yang andal, tak berlebihan Dawam meraih penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden RI (1999).
Dawam dikenal sangat dekat dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Hubungan Dawam dengan tokoh-tokoh Muslim dan non-Muslim juga sangat baik. Interaksinya dengan intelektual lintas agama menjadikan posisi kecendekiawanan Dawam makin mapan. Dawam sangat konsisten menekuni dunia keilmuan hingga akhir hayatnya. Tidak sekalipun Dawam tergoda pada dunia politik. Dengan menekuni dunia keilmuan, posisi Dawam menjadi independen. Pandangan Dawam tampak bebas dalam melihat berbagai persoalan keumatan.
Pluralisme: keniscayaan
Salah satu persoalan yang jadi keprihatinan Dawam adalah hubungan antarumat beragama. Keberpihakannya terhadap kelompok Ahmadiyah yang sering kali mengalami kekerasan di berbagai daerah merupakan salah satu contoh kegigihan Dawam dalam membela kelompok minoritas. Dawam menyadari persoalan pluralisme masih jadi tantangan dalam kehidupan antarumat beragama. Padahal, pengalaman sejarah menunjukkan teladan betapa Nabi Muhammad dan para sahabat sangat toleran pada masyarakat Madinah yang pluralistik.
Senada dengan Cak Nur, Dawam juga memahami pluralisme merupakan kelanjutan dari model keberagamaan yang
bercorak inklusif. Inklusivisme meniscayakan adanya pemahaman bahwa agama lain memiliki kesamaan-kesamaan sehingga ada keinginan untuk mencari titik temu (kalimah sawa'). Pluralisme juga memandang bahwa setiap agama memiliki realitas yang unik. Dengan argumentasi itu, Dawam berpandangan bahwa pluralisme dibutuhkan dalam rangka membangun kehidupan keberagamaan yang koeksisten di tengah perbedaan agama dan paham keagamaan.
Untuk memperkuat pandangannya, Dawam mengutip tulisan Diana L Eck, What is Pluralism (1993). Bahwa, pluralisme bukan sekadar toleransi pasif. Pluralisme merupakan paham yang mengajarkan agar setiap pemeluk agama mengakui keberadaan agama lain dan paham keagamaan yang berbeda. Pluralisme juga meniscayakan agar setiap orang terlibat aktif dalam memahami perbedaan dan berkomitmen menemukan kesamaan.
Dawam juga menjadikan pemikiran Kuntowijoyo sebagai rujukan dalam memahami persoalan pluralisme. Dalam Muslim Tanpa Masjid (2001), Kuntowijoyo menegaskan bahwa secara konseptual pluralisme dapat dimaknai dalam pengertian positif dan negatif. Dikatakan pluralisme positif jika paham ini dimaknai secara terbuka, toleran, dan optimistik sehingga mampu menghadirkan komitmen yang tulus untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan lintas budaya dan agama.
Sebaliknya, sebutan pluralisme negatif merujuk pemaknaan pluralisme dalam pengertian yang terbatas dan tertutup pada relativisme. Dampak pemaknaan pluralisme secara negatif adalah tiadanya komitmen individu dan kelompok untuk terlibat aktif dalam dialog-dialog kemanusiaan yang seharusnya menjadi keprihatinan semua agama dan paham keagamaan. Pada konteks inilah Dawam menegaskan pluralisme merupakan sebuah keniscayaan.
Dengan kecendekiawanannya, Dawam terus berusaha
untuk menegakkan nilai-nilai pluralisme dan melawan eksklusivisme. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa pluralisme bukan sesuatu yang bersifat pemberian (given), melainkan merupakan capaian (achievement) sehingga harus terus diusahakan. Menurut Dawam, pemaknaan pluralisme dalam pengertian positif penting disemai agar terlahir pribadi yang terbuka, toleran, optimistik, dan pluralis. Ikhtiar Dawam jelas relevan dengan tantangan pluralitas agama dan paham keagamaan di negeri tercinta ini.
Pembela minoritas
Sepanjang hidupnya, Dawam telah melakukan pembelaan terhadap banyak kelompok minoritas. Salah satunya adalah komunitas Ahmadiyah yang tersebar di berbagai daerah. Akibat pembelaan terhadap Ahmadiyah dan kelompok minoritas lainnya, Dawam bersitegang dengan sejumlah elite Muhammadiyah. Begitu kerasnya ketegangan itu, Dawam sempat berpikir untuk keluar dari Muhammadiyah. Pengakuan itu dikemukakan Dawam saat menghadiri temu intelektual Muhammadiyah di Jakarta, 2015.
Dalam temu intelektual yang dirancang Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, Din Syamsuddin, Dawam berpesan agar Muhammadiyah lebih terbuka pada kelompok minoritas. Jika kelompok minoritas mengalami kekerasan, mereka tak tahu ke mana harus mengadu. Sebab, dalam banyak insiden kekerasan bernuansa perbedaan agama dan paham keagamaan, negara sering tak hadir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar