Bahwa pendidikan nasional Indonesia mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang pascakemerdekaan kiranya tidak perlu dipungkiri. Semakin banyaknya wanita terdidik dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi perlu kita apresiasi. Ini salah satu contoh kemajuan pendidikan yang berhasil kita raih.

Apakah itu berarti kualitas pendidikan nasional Indonesia sudah tinggi dan memuaskan? Tidak, sama sekali tidak! Kalau kita mendasarkan ukuran pada indikator pendidikan yang disepakati masyarakat internasional, sama sekali tidak bisa dinyatakan bahwa kualitas pendidikan nasional Indonesia sudah tinggi dan memuaskan.

Pencapaian peringkat Indonesia dalam Human Development Index (HDI), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Programme for International Student Assessment (PISA), misalnya, umumnya menengah bawah, rendah dan sangat rendah.

Kuncinya guru

Bagaimana cara meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang masih rendah tersebut? Cara yang paling strategis tidak lain adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru.

Pada 83 tahun silam, tepatnya Juni 1935, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara menulis di majalah Wasita tentang peran guru dalam judul "Sistem Trisentra". Ki Hadjar menyatakan ada tiga pusat pendidikan yang sangat menentukan perkembangan anak didik, yaitu keluarga, perguruan, dan pergerakan pemuda. Di dalam perguruan (sekolah, madrasah, dsb) inilah peran guru sangat menentukan.

Apakah guru kita sudah profesional dalam pengertian yang sebenarnya? Sebagian kecil barangkali sudah, tetapi umumnya belum profesional. Mengapa guru kita belum? Karena mereka memiliki beban administratif yang sangat berat sehingga tidak mampu menjalankan tugas utama secara memadai. Sesuai amanat UU, tugas utama guru ialah mendidik, mengajar, memfasilitasi, melayani, merancang, mengelola dan menilai berkait dengan proses pembelajaran.

Pebingkatan mutu guru tak sebatas sertifikasi. Guru harus terus dimotivasi dengan pelatihan sesuai kebutuhan dan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Di foto terliht para guru di Kabupaten Mimika, Papua, bernyanyi menyambut kunjungan mendikbid muhadjir Effendy yang memantau pelaksanaan Ujian nasional SMP Tahun 2018.

Beban administratif guru tersebut dapat diklasifikasi dalam tiga kategori, yaitu: (1) beban administratif pembelajaran yang berkait langsung dengan pembelajaran; beban administratif semi- (2) pembelajaran yang tidak langsung berkait dengan pembelajaran; serta (3) beban administratif non-pembelajaran yang berkait langsung dengan kepentingan pribadi guru.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI melantik pengurus Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis PGRI. Asosiasi ini untuk meningkatkan kompetensi guru.

Contoh beban administratif pembelajaran adalah penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Penyusunan RPP memerlukan kompetensi, kecermatan dan waktu. RPP dianggap "beres" kalau  sudah mendapat persetujuan pejabat dinas pendidikan yang sering kali sulit diperoleh. Selain RPP, guru juga diminta menentukan kriteria ketuntasan minimal (KKM), menyusun silabus, membedah kisi-kisi soal ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS), melakukan analisis hasil ulangan (AHU), penilaian akhlak siswa (PAS), dan hal-hal lain yang serba administratif.

Contoh beban administratif semi-pembelajaran adalah mengikuti uji kompetensi guru (UKG). Kegiatan ini tak secara langsung berkait dengan pembelajaran. Contoh lain adalah menjalankan tugas pada gerakan literasi sekolah, pendalaman Kurikulum 2013, program tahunan guru, program tahunan semesteran, pendampingan kegiatan ekstra kurikuler, wali kelas. Juga serba administratif pula.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Several Grade 1 students at SD YPPK Don Bosco Ewer elementary school, Asmat regency, Papua, wave hands as they are photographed while attending class on Monday (22/1). About 10 teachers teach 200 students at the school.

Contoh beban administratif non-pembelajaran adalah pemberkasan tunjangan profesi. Bahwa kegiatan ini langsung berpengaruh pada nasib guru dan (terkesan) tidak langsung berkait dengan pembelajaran kiranya tak dapat dibantah. Padahal, ketika proses pemberkasan yang menyita banyak konsentrasi dimulai maka banyak guru yang mengabaikan tugas utamanya.

Masih banyak contoh beban administratif non-pembelajaran yang bisa membuat sesak napas. Belum lagi bagi guru yang ditugasi mengelola Daftar Pokok Pendidikan (Dapodik), Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian, yang menguras tenaga dan konsentrasi.

Memangkas beban

Dengan beban administratif yang "seabrek" tersebut sudah pasti guru kita tidak dapat menjalankan tugas utamanya secara memadai. Tanpa dapat menjalankan tugas utama secara memadai maka sulit kita mengharapkan hasil belajar yang memadai.

Bagaimana cara memotong "rantai kekusutan" pendidikan tersebut? Tak ada jalan lain dengan cara meringankan beban administratif guru. Bahwa guru memerlukan pencairan tunjangan profesi dipersilakan, mengikuti UKG dipersilakan, menentukan KKM, dan sebagainya. Namun, beban administratif yang mengiringi kegiatan itu harus dikurangi secara signifikan, kalau perlu dipangkas habis.