Mampukah bidang kelautan dan perikanan ambil bagian dalam revolusi 4.0? Kita sadari bahwa revolusi 4.0 tidak hanya menyentuh bidang pemasaran, tetapi semua bidang mulai produksi, pengolahan, konservasi, pengawasan, manajemen, dan pemasaran.
Ketika program studi kopi dianggap mewakili entitas negara agraris, maka program studi pemindangan ikan harus muncul sebagai entitas negara maritim. Apa yang spesial pada perikanan dan kelautan jika dibandingkan dengan kopi? Pertama, potensi perikanan dan kelautan yang besar. Kedua, konsumsi ikan yang lebih dari 30 kilogram per kapita per tahun. Ketiga, struktur negara kepulauan yang sangat potensial. Beberapa uraian berikut mungkin dapat memberikan sedikit gambaran pada kita seperti apa dan bagaimana perikanan dan kelautan dikembangkan dalam arus revolusi 4.0.
Pertama-tama kita harus menyadari dulu bahwa negara kita memiliki keragaman sumber daya ikan laut yang luar biasa. Dalam beberapa catatan disebutkan kita punya lebih 2.000 spesies ikan, 1.500 jenis krustase, 2.500-an moluska, 1.000-an karang, 850 sponge, 500-an ekinodermata, dan 30-an mamalia laut. Belum banyak yang mendalami keberadaan spesies-spesies ini secara khusus, baik perannya dalam ekosistem, kandungan, dan khasiat maupun potensi bioaktifnya. Kekayaan yang sangat besar terabaikan dan belum dapat sentuhan memadai.
Ikan pelagis besar memiliki potensi ekonomi sangat tinggi yaitu tuna, cakalang, hiu, tenggiri, lemadang, dan layaran. Dalam perspektif bisnis, saat ini industrialisasi ikan tuna bisa dikembang mulai dari budidaya, manajemen lingkungan, teknologi penangkapan, pengolahan sampai pada bisnis. Sebuah rantai bisnis yang tentunya akan mampu menyerap tenaga kerja vokasi dan profesional yang luar biasa banyaknya.
Pelagis kecil dan demersal dikembangkan karena menyerap paling banyak tenaga kerja: industri penangkapan kapal, industri pengolahan, dan konservasi. Kapal cantrang bisa mempekerjakan lebih dari 10 anak buah kapal (ABK) per kapal. Jika ada 1.000 cantrang, maka setidaknya ada 1.000 nakhoda dengan 9.000 ABK. Penangkapan dan pengolah ikan memerlukan keahlian vokasional dan manajerial. Pelagis dengan kualitas premium bisa masuk dalam industri pengalengan yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Potensi ikan 12,5 juta ton per tahun sesungguhnya sebuah peluang dalam menyediakan tenaga kerja berkeahlian yang sesuai perkembangan revolusi 4.0.
Perikanan karang merupakan fenomena tersendiri karena bernilai ekonomi dan seni. Komoditas ikan target, seperti kakap dan kerapu, jadi target penangkapan dan permintaannya tinggi. Untuk itu, penting dikembangkan budidaya mulai dari pembenihan sampai pemasaran dari jenis ikan karang target. Hatchery yang bisa tumbuh memerlukan tenaga kerja, teknologi pembuatan keramba jaring apung (KJA) untuk pembesaran, serta industri pengolahan filet dan susi. Sementara ikan karang hias punya daya tarik lain, yaitu sebagai obyek wisata. Banyak orang memanfaatkan ikan karang hias sebagai inspirasi seni serta obyek "selfie" bagi penikmat fotografi.
Potensi serapan tenaga kerja ini belum terhitung komoditas ikan budidaya. Jika dikembangkan secara bersama-sama, maka potensi serapan tenaga di bagian pembenihan, pembesaran, teknologi budidaya, keahlian panen, dan pemasaran akan lebih banyak lagi. Aktualisasi revolusi 4.0 dalam perikanan dan kelautan bukanlah sebuah keniscayaan.
Adaptasikan teknologi
Forum Rektor Indonesia dan Konferensi Kampus, 16-18 Februari 2018, di Universitas Hasanuddin, Makassar, menyisakan pemikiran kepada seluruh rektor untuk mengurai revolusi 4.0. Presiden meminta semua kampus segera mengadaptasikan program studi sesuai kebutuhan pasar. Era disrupsi harus disikapi dengan fleksibilitas program studi, sebut saja program studi kopi (Forum Rektor 2018), program studi penggilingan padi (Dies Natalis IPB, September 2017), program studi meme dan animasi (Dies Natalis Unpad, 2017), dan fakultas ekonomi digital (Dies Natalis Undip, 2017). Keberadaan media komunikasi saat ini telah mengubah dunia pendidikan sehingga pendidikan harus adaptif terhadap teknologi.
Menghadapi revolusi 4.0, maka pendidikan vokasi, interdisiplin, dan transdisiplin tidak akan terhindarkan. Dalam sektor perikanan yang paling tepat dikembangkan lebih awal adalah program marikultur. Lahan perairan sangat luas, teknologi juga sudah berkembang, komoditas sangat kompetitif, terutama budidaya kerapu, kakap, napoleon, dan tuna. Sebagian besar teknologi pembenihan, teknologi keramba, teknologi perbesaran, pengendalian penyakit, dan pengolahan sudah dikuasai dengan baik. Hanya perlu sentuhan keberpihakan kebijakan kepada pelaku usaha dan masyarakat.
Marikultur dalam Buku Putih Kementerian Kelautan dan Perikanan (hal 65) disajikan paling tidak ada 12 jenis ikan kerapu, di mana 6 jenis sudah bisa dipersiapkan benihnya, yaitu kerapu tikus, kertang, macan, batik, lumpur, dan kerapu muara.
Namun, buku tersebut tidak menjelaskan proses adaptasi marikultur dalam revolusi 4.0. Marikultur dalam buku tersebut mengungkapkan bahwa teknologi keramba, KJA pantai (offshore) direncanakan akan mempekerjakan 1.450 orang dalam kondisi normal tanpa gangguan bencana alam. Pada halaman 71, KKP juga menargetkan revitalisasi 250 unit KJA (1.000 lubang) yang diharapkan mampu mempekerjakan 500 orang. Perlu disadari, saat ini jumlah tenaga kerja yang berhenti di KJA karena disrupsi kebijakan selama ini juga tinggi, lantaran banyak usaha KJA yang gulung tikar.
Rencana bantuan KJA baru dari pemerintah, 202 unit di 22 provinsi dan 48 kabupaten/kota, perlu juga dievaluasi. Kunci kesuksesan berbudidaya jika paradigma usaha menerapkan sistem berbasis masyarakat. Sebagai usaha yang berisiko besar dalam investasi, maka sebaiknya pengembangan marikultur melibatkan pengusaha lokal. Pemerintah cukup memberikan insentif kebijakan agar pergerakan marikultur berjalan baik.
Selain bagian produksi, dalam tata kelola perikanan dan kelautan, seharusnya sudah mampu mengadaptasikan sistem informasi dalam big data. Mekanisme pengumpulan data terpusat saat ini berpotensi menimbulkan error yang lebih besar. Bahkan ide verifikasi ke dinas perikanan provinsi dan kabupaten juga tidak efektif karena provinsi dan kabupaten kota tidak lagi mengumpulkan data perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar