KOMPAS/WISNU WIDIANTORO (NUT)

J. Kristiadi

Benda mati pasti tidak dapat bergerak sendiri. Namun, sesekali ia dapat sangat bertenaga mengalahkan energi eksplosif yang ditengarai digerakkan oleh kekuasaan. Malahan, ia dapat memperolok kekuasaan yang bermaksud melumatkannya. Itulah makna kotak kosong yang menang pada pilkada wali kota Makassar. Kotak kosong tidak berarti hampa dan melompong hanya berisi angin. Kekosongan dalam konteks fenomena kotak kosong tidak identik dengan nihil atau lowong, tetapi lebih tepat disebut gejala suwung.

Secara harfiah, arti kata itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak punya pekerjaan pasti atau sepi. Namun, pengertian literal (verbatim) justru dapat menyesatkan dan tidak mampu menguak teka-teki kemenangan kotak kosong. Perlu dicatat, sejak pilkada serentak 2015 hingga 2018, terdapat belasan kandidat tunggal. Satu-satunya kandidat kalah di Pilkada Makassar (Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi/Appi-Cicu).

Memaknai kata suwung mungkin lebih tepat dari perspektif kearifan Nusantara serta berbagai kajian akademik lain. Dari sudut pandang lebih luas, suwung (mengosongkan diri) berarti kemampuan mengosongkan otak atau pikiran dari berbagai hiruk-pikuk dunia luar, terutama kapasitas mencegah dorongan untuk terus-menerus memutar otak bersiasat dengan akal-akalan demi interes pribadi. Apabila seseorang dapat melakukannya, ia dapat mengalami suasana keheningan (pencapaian puncak spiritual) atau peak experience (Abraham Maslow, 2001).

Melalui laku meditasi semacam itu, misteri kemenangan kotak kosong (benda mati) bisa mengalahkan manusia dapat dipahami lebih gamblang. Jelasnya, kotak memang kosong, tetapi berisi roh perlawanan bertenaga dahsyat sehingga dapat mengalahkan manusia. Secara simbolik, bahasa "hitam-putih", semangat menang-kalah dapat dikatakan sebagian besar pemilih di Makassar memilih dipimpin benda mati. Tidak berlebihan disebut tragedi politik akibat akrobat dan komidi politik para elite politik.

Sebaliknya, dalam perspektif relasi antara rakyat dan penguasa, jika ditelisik lebih mendalam, kemampuan kotak kosong mengalahkan kuasa politik adalah kekuatan dahsyat yang bersumber dari masyarakat. Peristiwa politik menjadi tontonan kocak karena menjungkirbalikkan logika akal sehat. Betapa tidak, pasangan Danny Pamanto-Indira Mulyasari Paramusti (petahana) dengan elektabilitas dan tingkat kepuasan masyarakat 80 persen ditinggal lari oleh 10 parpol (Celebes Research Centre). Lebih kocak lagi, parpol pekak terhadap getaran suara rakyat.

Mereka semula mendukung pasangan petahana, hanya kurang dari tiga bulan, karena merasa lebih nyaman, mereka berbondong-bondong mendukung kandidat yang berdasarkan pendapat umum lebih rendah elektabilitasnya. Kesan publik, elite politik, khususnya parpol, sedang main lucu-lucuan
dalam berpolitik, tetapi hal itu lebih sehat daripada main-main politik dengan jurus politik identitas.

Hampir dapat dipastikan, logika sungsang tersebut membuat banyak orang waras terpingkal-pingkal, tertawa sampai keluar air mata dan menahan sakit perut, mendengar argumentasi mereka yang mencoba membela kandidat yang kalah. Kekalahan telak pasangan Appi-Cicu, yang kabarnya kerabat petinggi negara, menurut Ferry Juliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, salah satu pendukung pasangan Appi-Cicu, merupakan metafora perlawanan rakyat terhadap penguasa (Liputan6, 5 Juni 2018).

Belajar dari misteri kemenangan kotak kosong, bagi para politisi yang bertarung berebut kursi lembaga perwakilan rakyat dan presiden tahun 2019, meskipun sangat kecil kemungkinan terulang fenomena kotak kosong, diharapkan semangat bertarung mereka dapat berhenti memutar otak demi memenangkan ambisi hasrat kuasa semata. Laku tersebut akan membawa mereka
ke tataran yang dapat menyadarkan para elite politik, pemilu bukan sekadar memperoleh kemenangan, melainkan sarana mendapatkan mandat, kuasa, dan kepercayaan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan umum.

Banyak kalangan pesimistis terhadap praktik politik karena banyak menyimpang dari pakem dan norma nilai-nilai mulia. Membiarkan hasrat kuasa mengobrak-abrik otak dan pikiran, meskipun memenangi pertarungan tetapi tanpa roh, institusi-institusi negara identik dengan benda mati.

Terlepas dari kasus tragedi dan komidi kemenangan kotak ko- song pada Pilkada Makasar, lelucon di politik, selain lazim, juga dapat dijadikan sarana kritik sosial, politik, dan kritik diri serta katarsis untuk menyalurkan ledakan-ledakan sosial, terutama bernuansa sektarian, sehingga rajutan masyarakat tidak tercerai-berai.


Kompas, 12 Juli 2018