Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas.

Banyak perusahaan mapan yang kebingungan untuk melakukan perubahan ketika mereka menyadari era digital sudah terus melaju namun pada saat yang sama mereka terjebak pada bisnis konvensional. Bisnis lama masih dipeluk karena secara finansial masih besar namun pada kenyataannya kecenderungan bisnis harus bertransformasi ke lingkungan digital.

Bagaimana harus menghentikan dilema seperti ini?

Beberapa tahun lalu tidak sedikit kalangan eksekutif di perusahaan mapan masih menentang atau melawan tren digital. Tidak sedikit mereka menganggap prakarsa tranformasi hanyalah membuang-buang uang dan tenaga karena bisnis lama masih bernilai besar.

Akan tetapi, belakangan orang seperti ini di perusahaan mulai berkurang. Sekarang tidak sedikit yang mengakui ancaman disrupsi digital terhadap bisnis mereka namun mereka bingung mau melangkah.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Susana di gerai digital banking Jenius BTPN di pusat perbelanjaan Kota Kasablanka, Jakarta, Jumat (26/1/2018). Bank terus berinovasi untuk meningkatkan layanan bagi nasabah. Digital banking serupa banyak diterapkan oleh industri perbankan di pusat-pusat perbelanjaan untuk memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada nasabah.

Pertanyaan seperti ini banyak mengemuka di kalangan pemimpin perusahaan. Disrupsi terus terjadi di berbagai sektor industri dari mulai media, perbankan, penerbangan, perhotelan, kesehatan, dan lain-lain.

Guru manajemen Rhenald Kasali dalam buku Tomorrow is Today telah mengingatkan, pimpinan perusahaan harus segara bereaksi ketika ada sinyal lemah perubahan itu. Sinyal lemah menjadi pertanda bakal datangnya gelombang disrupsi yang akan datang berikutnya. Untuk itulah pimpinan perusahan harus menjemput, bukan malah menyepelekannya.

Secara umum, pemimpin yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan ini adalah mereka yang menyadari bahwa telah terjadi perubahan di dunia bisnis dengan kemunculan bahasa, sikap, dan kerangka pikir yang berbeda untuk memasuki dunia baru.

Ada berbagai cara untuk mengetahui sinyal lemah itu. Akan tetapi sedikit CEO yang mulai menyadarinya. Majalah MIT Sloan Management Review dalam edisi terbarunya mengatakan, CEO terlalu tinggi untuk mengetahui perubahan-perubahan awal di dalam bisnisnya. Mereka perlu mendengarkan staf-staf di bawah yang berhadapan langsung dengan operasional bisnisnya. Mereka pulalah yang mendengar dan mulai mengetahui dampak dari bisnis mereka.

Sudah jamak ketika CEO berhadapan dengan situasi itu maka mereka cenderung tidak mau turun ke bawah. Mereka tidak mau meluangkan waktu untuk bertemu dengan tenaga pemasar, perancang promosi, staf teknologi informasi, dan lain-lain. Tidak sedikit di antara mereka yang masih menyombongkan diri bisa mengatasi situasi sementara lawan-lawan baru mereka yang berbasis digital telah membesar dan mulai menguasai pasar.

Secara umum, pemimpin yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan ini adalah mereka yang menyadari bahwa telah terjadi perubahan di dunia bisnis dengan kemunculan bahasa, sikap, dan kerangka pikir yang berbeda untuk memasuki dunia baru. Di salah satu artikel di laman Forbes disebutkan, tidak ada pilihan lain selain para pemimpin perusahaan harus memasuki dunia digital untuk memahami perubahan itu.

Kemudian mereka harus membangun kemampuan baru, selalu siap untuk melakukan eksperimen, memahami bahwa teknologi telah mengubah masyarakat, dan menejermahkan perubahan di masyarakat ke dalam bisnis mereka.

Para CEO juga diingatkan untuk melakukan langkah-langkah kolaboratif. Intinya pada bisnis lama mereka bisa melakukan dominasi secara mutlak namun dunia baru mengharuskan mereka membangun iklim kerjasama dengan berbagai kalangan. Secara eksternal mereka harus memperbanyak partner sementara cecara internal, sebagai contoh,  pada masa lalu divisi teknologi informasi adalah divisi yang berada di dunianya sendiri namun kini mereka harus memahami soal penjualan, pemasaran, pengeloaan sumber daya manusia, dan lain-lain.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA

Suasana diskusi "Millenials on the Move: How We Face the Digital Revolution", di Jakarta, (31/3/2018). Acara tersebut diselenggarakan oleh Youth Initiative for Political Participation (YIPP).

Pertanyaan selanjutnya adalah, saat melakukan perubahan, apakah yang menjadi impian mereka? Lalu mereka harus membawa perusahaan kemana? Di dalam buku terbaru Rhenald Kasali berjudul The Great Shifting kita bisa mengetahui bentuk awal dunia baru ini, seperti model bisnis yang berubah dari produk ke platform, digitalisasi di berbagai kegiatan manusia, namun pada saat yang sama tampak penyalahgunaan teknologi digital.

Dunia baru itu memang belum berbentuk utuh namun sudah mulai terlihat bentuk awalnya. Masih banyak peluang bisnis yang bisa diambil ketika dunia baru itu hendak menemukan bentuknya.