KOMPAS/VINA OKTAVIA

Para ibu rumah tangga di Desa Negeri Katon, Kecamatan Negeri Katon, Pesawaran, Lampung, bersama-sama membuat kerajinan tapis di halaman rumah, Kamis (5/4/2018).

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi hangat bersama dua peneliti dari Perancis, mereka sempat bertanya tentang faktor penting apakah yang muncul sebagai energi positif dalam beberapa tahun belakangan ini di tengah meluasnya skeptisisme yang melanda Indonesia.

Penulis menjawab singkat bahwa daya kekuatan para perempuan untuk mengubah Indonesia, atau dalam bahasa populer masa kini disebut sebagai the power of emak-emak, adalah fenomena penting yang hadir dalam perkembangan politik Indonesia terkini.

Daya kekuatan kaum perempuan, bukanlah sebatas sebuah tren baru dalam perbincangan publik. Istilah ini mencatat berbagai fenomena mengesankan tentang kiprah kaum perempuan Indonesia di panggung politik sebagai kepala daerah ataupun panggung kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kemampuan daya dorong yang mengagumkan.

Sebagai sebuah fenomena politik, istilah the power of emak-emak merupakan neologisme baru, penanda dari pemberontakan terhadap corak politik kita yang sedikit banyak masih kental mewarisi karakter kekuasaan patriarkat. Sebuah pemberontakan terhadap marjinalisasi ataupun pembingkaian peran perempuan sebagai peran pembantu dan entitas pasif yang kerap tercatat dalam panggung sejarah yang didominasi struktur berpikir maskulin.

Salah seorang sejarawan feminis gelombang kedua, Joan Wallach Scott (1988), dalam karyanya, Gender and the Politics of History, menyebutkan, perjuangan kesetaraan jender butuh kerja-kerja pengetahuan untuk menghadirkan dan menulis ulang peran-peran perempuan sebagai agensi kolektif atau individual.

Hal ini berlangsung di tengah hilang dan terpinggirkannya peran mereka baik dalam penulisan arus utama sejarah maupun pemberitaan aktual.

Absen dan marjinalisasi atas posisi dan peran kaum perempuan dalam peristiwa dunia pada hakikatnya merupakan bukti dari jejak kuat corak politik maskulinitas yang menegaskan bahwa urusan politik dan hidup bersama sebagai urusan yang seharusnya menjadi dominasi dari kaum laki-laki.

Historiografi maskulin

Perjalanan sejarah negeri ini sebenarnya menampilkan kisah-kisah yang kaya tentang kepeloporan kaum perempuan, tetapi arus utama penulisan sejarah meletakkannya dalam peran pembantu atau catatan kaki dari langkah-langkah raksasa kaum laki-laki. Tak heran, kita lebih mengenal istilah para bapak pendiri bangsa (founding fathers), tetapi tak pernah menyebutnya sebagai para pendiri republik (the founders of republic).

Sebagai sebuah ilustrasi, bangsa ini sudah memberikan penghargaan sebagai pahlawan kepada Kartini dan memperingati hari lahirnya sebagai salah satu hari bersejarah. Meski demikian, dalam perayaan tersebut, hal-hal yang kita kenang tidak lebih dari sebatas selebritas baju-baju daerah dan penobatan formal Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan.

Di manakah dalam buku sejarah arus utama kita menemukan kiprah Kartini dalam surat-suratnya yang menuliskan dampak merugikan dari kekuasaan kolonial, gugatan atas budaya feodalisme, seruan atas pendidikan yang setara, atau peningkatan kualitas hidup para petani Jawa. Isu-isu strategis utama yang dituliskan Kartini inilah yang kemudian menginspirasi tokoh pergerakan nasional selanjutnya generasi Soekarno-Hatta. Absennya kiprah dan pemikiran Kartini, Roehanna Kudus, Rasuna Said, dan Dewi Sartika dalam historiografi formal Indonesia telah membentuk struktur kesadaran politik Indonesia yang masih bercorak patriarki.

Panggung kontestasi politik Indonesia yang masih penuh penguasaan sumber daya negara oleh segelintir elite oligarki, praktik politik uang yang menyebar ke masyarakat, stigma emosional terhadap perempuan pemimpin ataupun penyiasatan atas kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif yang kerap dimanipulasi sejatinya adalah manifestasi politik machoisme.

Namun, saat ini, kita tengah melihat bahwa kekuasaan tidaklah statis. Politik Indonesia memperlihatkan tampilnya agensi politik perempuan yang tengah memberontak terhadap kondisi sosial-politik yang tidak begitu ramah terhadap mereka. Dalam prosesi pilkada serentak 2018 yang baru saja selesai, kita menyaksikan peran kekuatan organisasi masyarakat sipil Islam, seperti Muslimat NU, yang berhasil menyumbangkan lima kader terbaiknya sebagai kepala daerah, di antaranya Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur.

Dalam panggung politik pemerintahan nasional, kita menyaksikan kinerja dari beberapa perempuan menteri dengan kualitas prima. Ilustrasi berikut ini dapat menjadi bukti torehan tinta emas kerja para perempuan menteri di kabinet Jokowi.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berhasil membuktikan keberanian menjaga kekayaan ikan dan sumber daya bahari dari pencurian kapal-kapal asing setelah lebih dari puluhan tahun begitu besar pengisapan sumber daya bahari kita yang menyejahterakan pihak luar dibandingkan nelayan Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, figur teknokrat tahan banting, dengan kalkulasi ekonominya mendukung kebijakan infrastruktur sampai ke Indonesia timur yang selama ini minim tersentuh pembangunan.

Yang patut pula kita apresiasi adalah kiprah diplomatik Kementerian Luar Negeri di bawah Retno Marsudi yang berhasil mengawal Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020. Juga apabila kesejahteraan menjadi salah satu ukuran keberhasilan sebuah negara, saat menjadi Menteri Sosial, Khofifah dengan Program Keluarga Harapan pada 2016 berhasil menurunkan angka kemiskinan 500.000 jiwa dan rasio gini dari 0,41 menjadi 0,39.

Berbagai kiprah yang ditorehkan para elite perempuan itu adalah langkah pembuka untuk memajukan kesetaraan jender. Perjuangan masih belum selesai, pengakuan terhadap kepentingan kaum perempuan dalam proses politik dan kehidupan sosial masih banyak yang belum terpenuhi dalam kehidupan bernegara.

Langkah-langkah para perempuan pemberani ini berpotensi membalikkan cara pandang kita dalam melihat peran mereka, dari pemeran pinggiran menjadi penentu utama dalam kehidupan bernegara.